Selesai menikmati makan malam dan bercengkrama sejenak, Alfred dan Evelyn pun memutuskan untuk menginap semalam. Bara tentu keberatan pada awalnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain setuju.Bara langsung mengutus Kara untuk membersihkan kamar yang ada di lantai pertama, setelah Evelyn memutuskan bermalam dengan mendadak. Awalnya Eve tidak berencana untuk menginap di rumah Bara, namun entah karena hal apa keinginannya berubah setelah makan malam.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi senyap, lampu-lampu utama pun sudah padam sejak satu jam lalu. Evelyn dan Alfred juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.Bara yang sejak tadi berada di ruang baca setelah mengobrol, tiba-tiba merasa sedikit sesak. Dia pun berjalan menuju rooftop untuk menghirup udara segar. Namun ketika ia membuka pintu rooftop yang terbuat dari kaca, sosok wanita dengan piyama berwarna emerald terlihat duduk di kursi. Suara pintu yang terbuka pun, membuat wanita itu menoleh."Tuan Bar
Sejak perbincangan malam hari itu, mereka berdua menjadi semakin dekat. Tapi meski begitu, keduanya tetap berada dalam batas masing-masing. Kara sendiri masih berbicara dengan sopan ketika berhadapan dengan Bara.Satu minggu berlalu tanpa terasa. Entah mengapa, bagi keduanya, waktu seakan berjalan begitu cepat. Pagi datang dalam beberapa jam, lalu dengan cepatnya berubah menjadi malam.Bara baru saja pulang bekerja, setelah melakukan pekerjaan ekstra yang tiba-tiba jadwalnya dimajukan. Dalam keadaan lelah dan mata sayu yang setengah mengantuk, pria itu berjalan masuk ke dalam rumah sambil melepaskan dasinya.Namun tiba-tiba saja manik mata Bara dikejutkan oleh sosok wanita berpakaian maid yang menyapanya dengan suara lembut. Suara yang terdengar tidak asing di telinga itu, membuat kedua mata Bara membelalak."Selamat malam, Tuan. Apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Kara yang kebetulan berada di lantai pertama, pada saat Bara datang.Entah hal apa yang membuat Bara tiba-tiba kehilanga
Mentari perlahan merangkak keluar dari peradabannya. Sinarnya yang menerangi setengah bagian dari bumi disambut oleh kicau merdu burung-burung.Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Bara turun dari lantai 2 menuju meja makan. Hari ini dia bersiap satu jam lebih awal dari biasanya, mungkin karena ia masih harus menyelesaikan proyek."Selamat pagi, Tuan!" sapa dua maid yang sudah rapi, berdiri di dekat meja makan.Bara mengangguk sambil mengedarkan manik mata kecoklatan miliknya ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu. Siapa lagi jika bukan Kara? Namun Bara tidak menanyakan apapun tentang Kara pada para maid. Dia hanya menikmati sarapan seperti biasanya, kemudian berangkat bekerja seperti biasanya. Seakan tidak ada yang terjadi semalam.Hal itu jelas berbeda dengan Kara. Gadis itu rupanya masih menyimpan rasa malu, ketika teringat bagaimana cara dia memberikan service pada sang majikan. Sehingga, ia sengaja menghindar agar tidak bertemu dengan Bara.Beberapa hari berlalu, Bara
Kilatan cahaya melintas dengan cepat di depan mata Kara, bersamaan dengan perasaan aneh yang membuat hatinya merasa tidak nyaman setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Alexa.Apa itu sebuah pengakuan?Tentu saja tidak sesederhana itu. Namun perkenalan singkat itu, berhasil membuat Kara diam dan tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Beruntung, Bara datang di waktu yang tepat."Alexa!" panggilnya sedikit lantang usai berlari masuk ke dalam rumahnya, hingga berhasil membuat seluruh mata tertuju padanya."Oh, Sayang! Kamu sudah pulang?" Alexa pun langsung memeluk Bara dengan seulas senyum menyeringai.Namun Bara yang merasa sedikit risih, buru-buru mendorong tubuh Alexa agar melepaskan pelukannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya pria itu."Aku hanya merindukanmu. Kebetulan lokasi pemotretan dekat, jadi aku mampir sebentar."Alexa mencoba untuk bergelayut manja di lengan Bara, bermaksud memamerkan kemesraan pada Kara. Namun Kara hanya memasang wajah datar dengan senyum
Evelyn mengerutkan keningnya dan kembali bertanya,, "Kau bilang kekasih siapa?" "Tuan Bara, Nyonya."Evelyn menaruh gunting tanaman yang sejak tadi dipegangnya ke atas meja. Lalu, ia menegakkan kepalanya dan menatap maid yang masih berdiri menunggu perintah."Suruh dia masuk!"Maid muda itu segera pergi setelah mendapat perintah dari Evelyn, dia mempersilahkan Alexa untuk masuk ke dalam dan bertemu dengan Evelyn."Halo, Tante," sapa Alexa sambil menaruh paper bag di samping meja, yang hanya di balas Evelyn dengan senyum singkat, sambil melirik dan menatap wajah wanita yang mengaku sebagai kekasih putra pertamanya itu. "Anda terlihat sangat sibuk. Maaf jika saya mengganggu anda dengan kedatangan yang mendadak," ucap Alexa ketika Evelyn hanya tersenyum samar."Aku juga minta maaf, sudah membuatmu melihat kekacauan ini," tegas Evelyn tanpa menatap Alexa yang duduk di depannya. "Kamu bisa langsung mengatakan keperluanmu, nona muda."Dua sudut bibir Alexa sedikit meninggi sesaat. Lalu ia
Alexa yang melihat Bara datang, buru-buru bangkit berdiri. Gadis itu terlihat panik, ia menoleh mengawasi sekitar seperti sedang mencari sesuatu. Sampai akhirnya ia melihat anak tangga yang tak jauh darinya.Dia pun berlari secepat mungkin menaiki anak tangga. Sedangkan Bara yang melihat aksi itu, langsung menyusulnya meski sempat menatap kemarahan di wajah Evelyn."Eve, ada apa ini?"Suara Emily yang datang menyapa membuat Evelyn menghela napas kasar. Dia menoleh, menatap wajah kakak iparnya dengan lesu. Sedangkan Emily yang baru datang dari Inggris, hanya bisa menatap heran."Kau tahu kisah cinta anak muda bukan? Itu mirip kamu dan kakak," jawab Evelyn datang menghampiri Emily, lalu memeluknya untuk sesaat."Apa dia kekasihnya Bara?" tebak Emily asal.Evelyn hanya menggedikkan bahunya, sebelumia mengajak Emily untuk duduk. Namun sebelum mereka berhasil duduk dengan nyaman, teriakan lantang Gabby terdengar dari luar."Sepertinya kita perlu melihat drama ini, Eve!" ucap Emily sambil me
Hela napas Evelyn terdengar jelas ditelinga Alfred. "Apa yang membuatmu panik? Mereka hanya bertunangan," jawab Evelyn dengan santai.Tidak ada respon dari Alfred setelah mendengar jawaban ambigu dari sang istri. Namun ekspresi kekecewaan Alfred terlihat jelas di mata Evelyn, melihat wajah suami yang menemaninya selama 30 tahun itu membuatnya merasa iba.Tak tega melihat wajah Alfred, Evelyn pun berbalik menghadap ke sebuah cermin. "Keadaan perusahaan sedang tidak stabil," jelasnya sambil melepas resleting bajunya. "Jika ada berita buruk sedikit saja, maka harga saham kita akan semakin menurun."Penjelasan Evelyn membuat Alfred menarik napas panjang. Tatapan mata pria tua itu masih tertuju pada sang istri yang sedang sibuk mengganti baju. Perlahan, kakinya melangkah dan membantu Evelyn menaikkan resleting baju yang baru saja dia kenakan."Sudah bertahun-tahun, Sayang. Kamu masih ragu? Aku akan mengatasinya sendiri, tidak perlu melibatkan anak-anak.""Aku tidak meragukan kinerjamu, Al.
Pesan dari sang ayah langsung membuat pria itu berlari masuk ke dalam kamar, sedangkan Xavier dan Gabby masih berdiri dengan wajah heran menatap sang ayah. Berharap, pria tua itu akan memberikan jawaban kepada mereka."Kenapa dengan wajah kalian?" tanya Alfred yang sebenarnya sudah bisa menebak rasa ingin tahu anak-anak mereka. "Kalian meragukan keputusan ibu kalian?" lanjutnya."Tentu saja! Ayah, katakan jika itu hanya kebohongan semata. Aku tidak ingin punya kakak ipar sepertinya!" keluh Gabby meluapkan keseganan dirinya menerima Alexa.Alfred tidak langsung memberi Gabby jawaban. Pria itu justru menoleh dan menatap wajah Xavier yang terlihat santai meski ada raut wajah penasaran yang tergambar samar-samar."Aku hanya punya satu pertanyaan. Ayah hanya perlu mengangguk atau menggelengkan kepala, maka aku sudah puas!" tegas Xavier. "Apa ini hanya sebuah negosiasi kosong yang ditawarkan ibu?"Mendengar pertanyaan Xavier, Alfred sontak tercengang. Dua bola matanya membulat, tetapi hanya