Kini, semua mata tertuju pada seorang pria berjas hitam yang berdiri dengan santai usai menerobos masuk begitu saja. Kedatangan pria itu bahkan membuat pemimpin dari para preman bangkit berdiri.
"Siapa kau?" tanya sang bos preman dengan nada ketus, sambil menunjukkan wajah tak suka lantaran kesenangannya di usik.Namun bukannya segera menjawab, pria yang ditanya justru menoleh ke sekeliling seolah tidak tahu siapa yang dimaksud, "Kau bertanya padaku?"Tindakan pria asing yang bahkan tidak dikenal oleh Kara itu, tentu saja membuat emosi para preman tersulut. Tanpa basa basi, bos dari para preman langsung menyuruh anak buahnya untuk menyerbu.Setidaknya ada lima orang yang menyerbu dalam waktu bersamaan. Beberapa pukulan dilayangkan, tetapi tidak ada satupun yang mengenai pria itu. Sampai akhirnya, dua orang yang memegangi kaki Kara pun ikut bertarung."Hei, hei! Satu lawan tujuh, itu tidak adil!" teriak seorang pria sambil berjalan masuk dengan santainya di tengah pergulatan.Kedatangan pria itu langsung disambut oleh bogem mentah dari seorang preman. Namun, dengan cepat bogem mentah ditahan dengan satu tangan, kemudian dipelintir dan didorong dengan mudah, hingga preman itu jatuh tersungkur.Dari kedua pria yang datang, manik mata Kara langsung tertuju pada pria berkemeja putih yang datang belakangan. Dia bahkan sempat ternganga tak percaya dengan apa yang dia lihat."Tuan Bara? Bagaimana dia bisa ada disini?" Meski banyak sekali pertanyaan yang terlintas di benak Kara tentang hal itu, namun dia memilih untuk mengabaikannya dan fokus memikirkan cara keluar dari tempat itu.Pertarungan dua pria dengan beberapa preman semakin sengit, bahkan bos dari para preman itu pun ikut bertarung dengan Bara dan asistennya itu.Tidak hanya itu, dua orang yang memegangi tangan Kara pun juga akhirnyaikut turun untuk membantu teman mereka. Namun kekuatan Bara dan sang asisten rupanya cukup tangka, hingga sepuluh orang itu dibuat kewalahan hanya dalam beberapa menit.Dan tentu saja hal itu tidak membuat para preman itu tidak senang. Pria dengan bekas luka di kening terlihat mengambil sebuah kursi kayu dan hendak melemparkannya ke arah Bara.Kara yang menyaksikan hal itu jelas tentu saja tinggal diam. Dia mengambil pisau dari dalam tas, lalu melemparkan pisaunya hingga mendarat di bahu belakang pria itu.BRAK!Bunyi kursi yang jatuh seketika membuat Bara menoleh ke belakang. Tepat pada saat itu, pria dengan bekas luka mencoba mencabut pisau yang menancap di bahu belakangnya dan bersiap melemparkannya kembali pada Kara.Beruntung, Bara dengan cekatan menahan pisau itu dengan tangannya, lalu berjalan mendekat agar bisa menatap pria itu."Berhentilah, sebelum pisau ini berakhir di lehermu!"Sorot mata yang tajam bak elang dan rahang tegas yang tampak mengeras, membuat preman itu terhenyak dan refleks melepaskan cengkraman pisaunya.Bara membuang pisau itu, kemudian mengedarkan pandangan matanya. Pada saat itu, sembilan preman termasuk dengan pemimpin mereka sudah terkapar di lantai. Sedangkan Kara masih berdiri di tempatnya, dengan tubuh gemetar."Siapa pemimpin disini?" tanya Bara yang mengalihkan tatapannya ke beberapa preman sambil merogoh saku, mencari sapu tangan."Dalam dua menit, siapkan bukti tanda lunas!" lanjut Bara dengan memasang raut wajah kesal lantaran tidak menemukan sapu tangannya.Namun raut wajah Bara berubah seketika, kala tangan dengan jemari lentik itu terulur di depannya dan menyodorkan selembar sapu tangan."Tangan Anda berdarah."Suara yang terdengar sendu dan sedikit bergetar itu membuat Bara menatap lekat wajah Kara. Ketakutan yang mendalam jelas tergambar di wajah gadis belia itu, bahkan kedua netranya sudah dipenuhi dengan air mata.Melihat Bara yang tak kunjung menerima sapu tangan pemberiannya, Kara meraih tangan Bara dengan lembut dan membalut telapak tangan sang majikan yang berdarah dengan sapu tangan itu"Maaf, maaf telah membuat Anda terluka. Saya minta maaf!"Speechless. Bara terdiam tanpa bisa berkata-kata. Pria itu hanya menatap Kara yang tertunduk sambil berusaha menahan air matanya. Namun pada akhirnya, bendungan pertahanannya jebol ketika ia meminta maaf.Gadis yang sempat ia curigai gila harta dan bahkan ingin melarikan diri setelah mendapatkan keuntungan, nyatanya sedang berada di dalam situasi yang tidak pernah dia duga."Tidak perlu minta maaf. Kamu hanya perlu memberiku penjelasan!" ucap Bara masih dengan nada ketus, seakan ia tidak mau mengakui jika dia sudah salah sangka dan membuntuti Kara.Bara dan Kara masih berdiri di posisi yang sama, saling memandang tanpa mengucapkan sepatah kata. Namun Bara yang teringat situasinya lebih dulu, langsung berdehem dan mengalihkan tatapannya.Dia berjalan ke arah Zee dan meminta pria itu membukakan jasnya. Lalu ia kembali ke sisi Kara dan membantunya menutupi tubuhnya dengan jas milik sang asisten."Pengancaman, pemerasan, penipuan, juga tindakan kekerasaan." Bara meraih tangan Kara yang memar, lalu mengangkatnya sesaat agar semua preman melihat lukanya. "Zee, berapa tahun yang harus mereka jalani dipenjara?" tanya Bara pada asistennya."15 hingga 30 tahun dengan pasal berlapis, Tuan." Mendengar jawaban Zee, Bara merasa kurang puas. Sambil berjalan, Bara mencoba memikirkan cara ampuh agar para preman tidak mengganggu Kara lagi.Tiba-tiba saja, Bara menoleh ke arah Zee dan meminta sesuatu pada pria itu. Zee langsung merogoh saku bagian dalam jasnya, mengambil sebuah pistol dan memberikannya pada Bara.Bara mengangkat dan mengarahkan pistolnya ke kepala pemimpin para preman itu, "Sekarang, kita buat kesepakatan. Berikan tanda lunasnya dan masalah kita selesai. Atau ... biarkan dia yang menyelesaikannya!"Melihat tangan Bara yang siap menarik pelatuk dan membuat timah panas itu melesat menembus kepalanya, tentu saja membuat pria bertubuh kurus itu ketakutan. "Ba-baik. Sa-saya akan membuatkan tanda lunasnya!" Tidak sampai dua menit. Dia yang sejak tadi sibuk menulis tanda bukti lunas, kini berjalan menghampiri Bara dengan gugup dan menyerahkan tanda buktinya.Bara menarik secarik kertas dari tangan pria itu, kemudian mengajak Kara pergi dari sana. Namun belum sempat ia keluar dari pintu, Bara sempat berpesan."Jika aku menemukan salah satu dari kalian mengacau lagi. Maka jangan menyesal jika tangan ini melewati batasnya!"Mereka bertiga pun pergi meninggalkan bangunan tiga lantai yang sangat pengap dan tidak bersahabat itu, menuju mobil. Bara terlihat berjalan lebih dulu, disusul oleh Kara dan Zee yang berjalan beriringan. Ketika masuk ke dalam mobil pun begitu. Bara sengaja masuk lebih dulu dengan membiarkan pintu mobilnya terbuka, berharap Kara cukup peka. Namun gadis itu justru mem
"Se-sekarang? Disini?" tanya Kara yang sudah pasti terkejut dengan permintaan tiba-tiba dari Bara. Tentu saja Kara sangat canggung jika harus memberikan service pertamanya saat itu, karena tak hanya ada mereka berdua di dalam mobil.Bara menatap Kara dan mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa? Bukankah di dalam kontrak tidak tertulis tempat dan waktu dimana kau harus melakukan tugasmu?" GLEK!Kara menelan kasar salivanya. Memang benar tidak ada penjelasan tentang tempat dan waktu di dalam perjanjian itu. Kapan dan dimana, semua terserah pada Bara. Hanya saja, dia tidak menyangka jika Bara akan meminta hal itu pada keadaan yang menurutnya kurang memungkinkan.Kara mengalihkan pandangannya ke depan, dan melihat Zer yang tengah mengubah posisi kaca tengahnya. Sepertinya, pria muda itu sangat ahli dalam memahami situasi. Terutama jika hal itu menyangkut urusan Bara."Ba-baiklah. Tapi sebelumnya, saya meminta maaf jika pelayanan pertama saya kurang memuaskan."Ketika Kara sibuk berbicara, t
Napas Bara perlahan menjadi sedikit cepat, pendek, dan berantakan. Tubuh yang semula hangat, langsung menjadi dingin dalam hitungan detik.Usahanya untuk bisa mencium sang kekasih, pada akhirnya harus kandas di jarak yang masih jauh. Dia pun langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Alexa tanpa sepatah katapun.Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih itu, langsung berlari masuk ke dalam toilet. Rasa mual di perut yang sudah tidak bisa ditahan, akhirnya ia keluarkan. Suara Bara yang sedang muntah secara tidak sengaja terdengar samar di telinga Alexa, membuat gadis itu semakin jengkel dengan respon sang kekasih.Padahal sebelum datang menemui sang kekasih, dia sudah memastikan mulutnya tidak bau. Dia bahkan menyemprotkan banyak pewangi mulut. Namun tetap saja hal itu tidak bisa membuat sang kekasih memberinya sebuah kecupan."Sial! Kenapa masih belum bisa? Dimana letak kesalahannya?"Bara langsung keluar setelah perutnya merasa lebih baik. Niat hati ingin meminta maaf pada Alexa,
Derap langkah kaki terdengar nyaring di dalam rumah. Tidak ada suara atau kegaduhan sedikitpun, padahal beberapa menit yang lalu Bara baru saja mendapatkan informasi tentang kedatangan orang tuanya.Setengah jam ia tempuh perjalanan dengan mengebut, bahkan sempat menerobos lampu merah. Namun ketika datang, dia justru tidak melihat ada seorangpun yang menyambutnya.Bara hanya menghela napas kasar. Ada ekspresi lega yang tergambar di wajahnya, saat mendapati rumahnya dalam kondisi sepi. Yah, setidaknya dia tidak perlu mendengar ocehan dari sang ibu.Namun kegembiraan itu langsung buyar, ketika ia melihat Alfred sedang duduk di sofa. Pria tua yang rambutnya masih hitam karena disemir itu, langsung menaruh jari telunjuknya di bibir untuk memberi Bara sebuah kode agar tidak berisik.Ketika ia berjalan mendekat, barulah ia melihat sosok Evelyn yang sedang tidur sambil bersandar di pundak Alfred.Melihat sang ibu tertidur, Bara baru mengerti kenapa keadaan rumahnya begitu hening. Hal ini seo
Selesai menikmati makan malam dan bercengkrama sejenak, Alfred dan Evelyn pun memutuskan untuk menginap semalam. Bara tentu keberatan pada awalnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain setuju.Bara langsung mengutus Kara untuk membersihkan kamar yang ada di lantai pertama, setelah Evelyn memutuskan bermalam dengan mendadak. Awalnya Eve tidak berencana untuk menginap di rumah Bara, namun entah karena hal apa keinginannya berubah setelah makan malam.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi senyap, lampu-lampu utama pun sudah padam sejak satu jam lalu. Evelyn dan Alfred juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.Bara yang sejak tadi berada di ruang baca setelah mengobrol, tiba-tiba merasa sedikit sesak. Dia pun berjalan menuju rooftop untuk menghirup udara segar. Namun ketika ia membuka pintu rooftop yang terbuat dari kaca, sosok wanita dengan piyama berwarna emerald terlihat duduk di kursi. Suara pintu yang terbuka pun, membuat wanita itu menoleh."Tuan Bar
Sejak perbincangan malam hari itu, mereka berdua menjadi semakin dekat. Tapi meski begitu, keduanya tetap berada dalam batas masing-masing. Kara sendiri masih berbicara dengan sopan ketika berhadapan dengan Bara.Satu minggu berlalu tanpa terasa. Entah mengapa, bagi keduanya, waktu seakan berjalan begitu cepat. Pagi datang dalam beberapa jam, lalu dengan cepatnya berubah menjadi malam.Bara baru saja pulang bekerja, setelah melakukan pekerjaan ekstra yang tiba-tiba jadwalnya dimajukan. Dalam keadaan lelah dan mata sayu yang setengah mengantuk, pria itu berjalan masuk ke dalam rumah sambil melepaskan dasinya.Namun tiba-tiba saja manik mata Bara dikejutkan oleh sosok wanita berpakaian maid yang menyapanya dengan suara lembut. Suara yang terdengar tidak asing di telinga itu, membuat kedua mata Bara membelalak."Selamat malam, Tuan. Apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Kara yang kebetulan berada di lantai pertama, pada saat Bara datang.Entah hal apa yang membuat Bara tiba-tiba kehilanga
Mentari perlahan merangkak keluar dari peradabannya. Sinarnya yang menerangi setengah bagian dari bumi disambut oleh kicau merdu burung-burung.Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Bara turun dari lantai 2 menuju meja makan. Hari ini dia bersiap satu jam lebih awal dari biasanya, mungkin karena ia masih harus menyelesaikan proyek."Selamat pagi, Tuan!" sapa dua maid yang sudah rapi, berdiri di dekat meja makan.Bara mengangguk sambil mengedarkan manik mata kecoklatan miliknya ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu. Siapa lagi jika bukan Kara? Namun Bara tidak menanyakan apapun tentang Kara pada para maid. Dia hanya menikmati sarapan seperti biasanya, kemudian berangkat bekerja seperti biasanya. Seakan tidak ada yang terjadi semalam.Hal itu jelas berbeda dengan Kara. Gadis itu rupanya masih menyimpan rasa malu, ketika teringat bagaimana cara dia memberikan service pada sang majikan. Sehingga, ia sengaja menghindar agar tidak bertemu dengan Bara.Beberapa hari berlalu, Bara
Kilatan cahaya melintas dengan cepat di depan mata Kara, bersamaan dengan perasaan aneh yang membuat hatinya merasa tidak nyaman setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Alexa.Apa itu sebuah pengakuan?Tentu saja tidak sesederhana itu. Namun perkenalan singkat itu, berhasil membuat Kara diam dan tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Beruntung, Bara datang di waktu yang tepat."Alexa!" panggilnya sedikit lantang usai berlari masuk ke dalam rumahnya, hingga berhasil membuat seluruh mata tertuju padanya."Oh, Sayang! Kamu sudah pulang?" Alexa pun langsung memeluk Bara dengan seulas senyum menyeringai.Namun Bara yang merasa sedikit risih, buru-buru mendorong tubuh Alexa agar melepaskan pelukannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya pria itu."Aku hanya merindukanmu. Kebetulan lokasi pemotretan dekat, jadi aku mampir sebentar."Alexa mencoba untuk bergelayut manja di lengan Bara, bermaksud memamerkan kemesraan pada Kara. Namun Kara hanya memasang wajah datar dengan senyum