Melihat tangan Bara yang siap menarik pelatuk dan membuat timah panas itu melesat menembus kepalanya, tentu saja membuat pria bertubuh kurus itu ketakutan. "Ba-baik. Sa-saya akan membuatkan tanda lunasnya!"
Tidak sampai dua menit. Dia yang sejak tadi sibuk menulis tanda bukti lunas, kini berjalan menghampiri Bara dengan gugup dan menyerahkan tanda buktinya.Bara menarik secarik kertas dari tangan pria itu, kemudian mengajak Kara pergi dari sana. Namun belum sempat ia keluar dari pintu, Bara sempat berpesan."Jika aku menemukan salah satu dari kalian mengacau lagi. Maka jangan menyesal jika tangan ini melewati batasnya!"Mereka bertiga pun pergi meninggalkan bangunan tiga lantai yang sangat pengap dan tidak bersahabat itu, menuju mobil. Bara terlihat berjalan lebih dulu, disusul oleh Kara dan Zee yang berjalan beriringan.Ketika masuk ke dalam mobil pun begitu. Bara sengaja masuk lebih dulu dengan membiarkan pintu mobilnya terbuka, berharap Kara cukup peka. Namun gadis itu justru membantu tuannya menutup pintu, sebelum akhirnya dia berjalan ke depan hendak duduk di samping kursi kemudi.Namun Zee yang memahami keinginan tuannya langsung menahan pintu, "Duduklah di belakang, Nona Kara!" Kara sempat tertegun sejenak dan memikirkan hal yang membuatnya harus duduk di belakang, tepat di samping Bara. "Nona, silahkan duduk di belakang!" tegas Zee membuat lamunan singkat Kara buyar."Oh, baik!"Mobil sedan hitam itu pun melaju usai Kara masuk dan duduk di samping Bara. Sejauh setengah perjalanan, tidak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut keduanya.Bara terlihat bersedekap tangan sambil bersandar. Sedangkan Kara, justru terlihat sangat tegang sambil menundukkan kepalanya. Entah mengapa, dia merasa Bara lebih menakutkan dibanding sepuluh orang preman tadi.Namun meski begitu, dia berusaha mengumpulkan sisa keberaniannya untuk mengucapkan terima kasih pada tuannya."Eem, itu—" Perkataan Kara tertahan untuk beberapa saat, lantaran bingung harus berterima kasih lebih dulu, atau bertanya.Namun sebelum ia melanjutkan kalimatnya, Kara justru meminta Zee untuk berhenti di sebuah apotik yang kebetulan mereka lewati. Dia buru-buru turun untuk membeli beberapa obat dan kembali ke dalam mobil."Tolong ulurkan tangan Anda," pinta Kara dengan sopan.Bara lantas menoleh dan menatap wajah Kara untuk sesaat, lalu kembali menatap lurus ke depan. "Untuk apa?" tanyanya ketus."Pisau tadi saya ambil dari pedagang buah. Setidaknya, luka Anda perlu dioles antiseptik untuk mencegah infeksi," jelas Kara masih dengan nada sopan.Pria yang sejak tadi memasang wajah ketus itupun akhirnya mengulurkan tangannya yang terluka. Kara mulai membuka ikatan sapu tangannya, lalu mulai mengoles antiseptik dengan lembut.Sorot matanya terfokus pada luka Bara yang masih mengeluarkan darah meski sudah tidak terlalu banyak. Namun pandangan Bara, justru tertuju pada wajah serius Kara."Tentang hal itu ... saya ingin berterima kasih sekaligus meminta maaf pada anda." Ucapan Kara yang tiba-tiba berhasil membuat Bara tersadar dari lamunan singkatnya, terutama ketika Kara tiba-tiba menengadahkan kepalanya dan membuat tatapan mereka bertemu. "Tapi, bagaimana Anda bisa ada disana?"Pertanyaan Kara tentu saja membuat Bara berada dalam kebingungan. Ego yang tinggi, membuatnya enggan mengakui jika dia membuntuti Kara sejak gadis itu menaiki taxi."Bukankah harusnya aku yang bertanya, kenapa kau ada di tempat seperti itu?"Kara terdiam karena tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan hal itu pada Bara. Namun jika dia berbohong dan berkelit, itu lebih tidak mungkin lagi. Lantaran Bara sudah membawa bukti tanda lunas dari mereka."Ayahku ..." Kara mencoba menjelaskan, tetapi perkataannya tertahan sesaat. Dia sendiri bingung harus memulai dari bagian mana. "Ayahku terlilit hutang. Mereka memberikan waktu seminggu untuk membawa 200 ribu, karena tahu saya bekerja di keluarga Alexandrio."Bara diam membisu dan tidak merespon cerita Kara sama sekali. Dia hanya menatap gadis yang sedang memasangkan perban di tangannya sambil bercerita itu."Saya harap, Anda tidak marah atau memecat saya," mohon Kara dengan suara lirih yang hampir tidak bisa didengar oleh Bara.Sebenarnya, Bara bukan tidak mengerti keadaan Kara. Lantaran saat di perjalanan, dia sempat meminta beberapa orangnya untuk mencari tahu tentang maid yang terikat kontrak dengannya itu.Mengetahui kerja keras Kara demi melunasi hutang judi sang ayah, hati pria itu sedikit tersentuh. Gadis muda yang saat itu baru saja lulus sekolah, dipaksa bekerja siang dan malam hanya untuk keegoisan orang tuanya."Lupakan hal itu. Lain kali jika kau terjebak dalam situasi seperti ini, beritahu pada Helena atau padaku."Kara yang mendengar ucapan Bara langsung mengangkat kepalanya dan mengucapkan banyak terima kasih pada Bara. Seulas senyum manis yang terukir di wajah gadis cantik itu, berhasil membuat degup jantung Bara berdetak tak karuan."Jangan salah sangka!" Bara mengalihkan pandangan matanya dan kembali bersikap angkuh. "Aku hanya tidak ingin nama keluarga Alexandrio terseret hanya karena masalah sepele."Kara mengangguk. Tentu saja dia tau hal itu, "Saya mengerti. Terima kasih banyak, Tuan Bara.""Uang sudah diterima, bahkan sudah kau bayarkan pada mereka. Jadi ...." Bara tiba-tiba menoleh, menatap Kara dengan tatapan mengintimidasi. "Berikan hal yang sudah aku bayar lebih dulu!"DEGH!!Otak Kara langsung bekerja kerasa saat mendengar ucapan sang majikan. 'Maksudnya ciuman? Dia membicarakan itu, dan menginginkannya sekarang? Di dalam mobil yang sedang berjalan?!' batinnya panik."Se-sekarang? Disini?" tanya Kara yang sudah pasti terkejut dengan permintaan tiba-tiba dari Bara. Tentu saja Kara sangat canggung jika harus memberikan service pertamanya saat itu, karena tak hanya ada mereka berdua di dalam mobil.Bara menatap Kara dan mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa? Bukankah di dalam kontrak tidak tertulis tempat dan waktu dimana kau harus melakukan tugasmu?" GLEK!Kara menelan kasar salivanya. Memang benar tidak ada penjelasan tentang tempat dan waktu di dalam perjanjian itu. Kapan dan dimana, semua terserah pada Bara. Hanya saja, dia tidak menyangka jika Bara akan meminta hal itu pada keadaan yang menurutnya kurang memungkinkan.Kara mengalihkan pandangannya ke depan, dan melihat Zer yang tengah mengubah posisi kaca tengahnya. Sepertinya, pria muda itu sangat ahli dalam memahami situasi. Terutama jika hal itu menyangkut urusan Bara."Ba-baiklah. Tapi sebelumnya, saya meminta maaf jika pelayanan pertama saya kurang memuaskan."Ketika Kara sibuk berbicara, t
Napas Bara perlahan menjadi sedikit cepat, pendek, dan berantakan. Tubuh yang semula hangat, langsung menjadi dingin dalam hitungan detik.Usahanya untuk bisa mencium sang kekasih, pada akhirnya harus kandas di jarak yang masih jauh. Dia pun langsung bangkit berdiri dan pergi meninggalkan Alexa tanpa sepatah katapun.Pria bertubuh kekar dengan kemeja putih itu, langsung berlari masuk ke dalam toilet. Rasa mual di perut yang sudah tidak bisa ditahan, akhirnya ia keluarkan. Suara Bara yang sedang muntah secara tidak sengaja terdengar samar di telinga Alexa, membuat gadis itu semakin jengkel dengan respon sang kekasih.Padahal sebelum datang menemui sang kekasih, dia sudah memastikan mulutnya tidak bau. Dia bahkan menyemprotkan banyak pewangi mulut. Namun tetap saja hal itu tidak bisa membuat sang kekasih memberinya sebuah kecupan."Sial! Kenapa masih belum bisa? Dimana letak kesalahannya?"Bara langsung keluar setelah perutnya merasa lebih baik. Niat hati ingin meminta maaf pada Alexa,
Derap langkah kaki terdengar nyaring di dalam rumah. Tidak ada suara atau kegaduhan sedikitpun, padahal beberapa menit yang lalu Bara baru saja mendapatkan informasi tentang kedatangan orang tuanya.Setengah jam ia tempuh perjalanan dengan mengebut, bahkan sempat menerobos lampu merah. Namun ketika datang, dia justru tidak melihat ada seorangpun yang menyambutnya.Bara hanya menghela napas kasar. Ada ekspresi lega yang tergambar di wajahnya, saat mendapati rumahnya dalam kondisi sepi. Yah, setidaknya dia tidak perlu mendengar ocehan dari sang ibu.Namun kegembiraan itu langsung buyar, ketika ia melihat Alfred sedang duduk di sofa. Pria tua yang rambutnya masih hitam karena disemir itu, langsung menaruh jari telunjuknya di bibir untuk memberi Bara sebuah kode agar tidak berisik.Ketika ia berjalan mendekat, barulah ia melihat sosok Evelyn yang sedang tidur sambil bersandar di pundak Alfred.Melihat sang ibu tertidur, Bara baru mengerti kenapa keadaan rumahnya begitu hening. Hal ini seo
Selesai menikmati makan malam dan bercengkrama sejenak, Alfred dan Evelyn pun memutuskan untuk menginap semalam. Bara tentu keberatan pada awalnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain setuju.Bara langsung mengutus Kara untuk membersihkan kamar yang ada di lantai pertama, setelah Evelyn memutuskan bermalam dengan mendadak. Awalnya Eve tidak berencana untuk menginap di rumah Bara, namun entah karena hal apa keinginannya berubah setelah makan malam.Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rumah sudah sunyi senyap, lampu-lampu utama pun sudah padam sejak satu jam lalu. Evelyn dan Alfred juga sudah masuk ke dalam kamar mereka.Bara yang sejak tadi berada di ruang baca setelah mengobrol, tiba-tiba merasa sedikit sesak. Dia pun berjalan menuju rooftop untuk menghirup udara segar. Namun ketika ia membuka pintu rooftop yang terbuat dari kaca, sosok wanita dengan piyama berwarna emerald terlihat duduk di kursi. Suara pintu yang terbuka pun, membuat wanita itu menoleh."Tuan Bar
Sejak perbincangan malam hari itu, mereka berdua menjadi semakin dekat. Tapi meski begitu, keduanya tetap berada dalam batas masing-masing. Kara sendiri masih berbicara dengan sopan ketika berhadapan dengan Bara.Satu minggu berlalu tanpa terasa. Entah mengapa, bagi keduanya, waktu seakan berjalan begitu cepat. Pagi datang dalam beberapa jam, lalu dengan cepatnya berubah menjadi malam.Bara baru saja pulang bekerja, setelah melakukan pekerjaan ekstra yang tiba-tiba jadwalnya dimajukan. Dalam keadaan lelah dan mata sayu yang setengah mengantuk, pria itu berjalan masuk ke dalam rumah sambil melepaskan dasinya.Namun tiba-tiba saja manik mata Bara dikejutkan oleh sosok wanita berpakaian maid yang menyapanya dengan suara lembut. Suara yang terdengar tidak asing di telinga itu, membuat kedua mata Bara membelalak."Selamat malam, Tuan. Apa Anda membutuhkan sesuatu?" tanya Kara yang kebetulan berada di lantai pertama, pada saat Bara datang.Entah hal apa yang membuat Bara tiba-tiba kehilanga
Mentari perlahan merangkak keluar dari peradabannya. Sinarnya yang menerangi setengah bagian dari bumi disambut oleh kicau merdu burung-burung.Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, ketika Bara turun dari lantai 2 menuju meja makan. Hari ini dia bersiap satu jam lebih awal dari biasanya, mungkin karena ia masih harus menyelesaikan proyek."Selamat pagi, Tuan!" sapa dua maid yang sudah rapi, berdiri di dekat meja makan.Bara mengangguk sambil mengedarkan manik mata kecoklatan miliknya ke sekitar, seperti sedang mencari sesuatu. Siapa lagi jika bukan Kara? Namun Bara tidak menanyakan apapun tentang Kara pada para maid. Dia hanya menikmati sarapan seperti biasanya, kemudian berangkat bekerja seperti biasanya. Seakan tidak ada yang terjadi semalam.Hal itu jelas berbeda dengan Kara. Gadis itu rupanya masih menyimpan rasa malu, ketika teringat bagaimana cara dia memberikan service pada sang majikan. Sehingga, ia sengaja menghindar agar tidak bertemu dengan Bara.Beberapa hari berlalu, Bara
Kilatan cahaya melintas dengan cepat di depan mata Kara, bersamaan dengan perasaan aneh yang membuat hatinya merasa tidak nyaman setelah mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Alexa.Apa itu sebuah pengakuan?Tentu saja tidak sesederhana itu. Namun perkenalan singkat itu, berhasil membuat Kara diam dan tidak tahu harus memberikan respon seperti apa. Beruntung, Bara datang di waktu yang tepat."Alexa!" panggilnya sedikit lantang usai berlari masuk ke dalam rumahnya, hingga berhasil membuat seluruh mata tertuju padanya."Oh, Sayang! Kamu sudah pulang?" Alexa pun langsung memeluk Bara dengan seulas senyum menyeringai.Namun Bara yang merasa sedikit risih, buru-buru mendorong tubuh Alexa agar melepaskan pelukannya."Apa yang kamu lakukan?" tanya pria itu."Aku hanya merindukanmu. Kebetulan lokasi pemotretan dekat, jadi aku mampir sebentar."Alexa mencoba untuk bergelayut manja di lengan Bara, bermaksud memamerkan kemesraan pada Kara. Namun Kara hanya memasang wajah datar dengan senyum
Evelyn mengerutkan keningnya dan kembali bertanya,, "Kau bilang kekasih siapa?" "Tuan Bara, Nyonya."Evelyn menaruh gunting tanaman yang sejak tadi dipegangnya ke atas meja. Lalu, ia menegakkan kepalanya dan menatap maid yang masih berdiri menunggu perintah."Suruh dia masuk!"Maid muda itu segera pergi setelah mendapat perintah dari Evelyn, dia mempersilahkan Alexa untuk masuk ke dalam dan bertemu dengan Evelyn."Halo, Tante," sapa Alexa sambil menaruh paper bag di samping meja, yang hanya di balas Evelyn dengan senyum singkat, sambil melirik dan menatap wajah wanita yang mengaku sebagai kekasih putra pertamanya itu. "Anda terlihat sangat sibuk. Maaf jika saya mengganggu anda dengan kedatangan yang mendadak," ucap Alexa ketika Evelyn hanya tersenyum samar."Aku juga minta maaf, sudah membuatmu melihat kekacauan ini," tegas Evelyn tanpa menatap Alexa yang duduk di depannya. "Kamu bisa langsung mengatakan keperluanmu, nona muda."Dua sudut bibir Alexa sedikit meninggi sesaat. Lalu ia