Wajah sang Dewa Pedang itu jauh lebih pucat, ketimbang saat Cio San melihatnya tadi di depan tenda.Ia baru mau akan bertanya, tapi si nona cantik sudah keduluan berkata,“Apa yang Tuan lakukan tadi kepada korban-korban di depan, sudah kami lakukan pula kepada ayahanda. Tapi mengapa sakitnya bertambah parah?”Cio San hanya bisa mengangguk dan mulai memeriksa Kam Sin Kiam.“Maaf, Tayhiap,” katanya sambil meletakkan jari-jarinya di pergelangan tangan si Dewa Pedang.Tak berapa lama ia memeriksa, Cio San bertanya,“Apakah Tayhiap merasa, ketika mengerahkan tenaga dalam, seluruh tenaga itu malah buyar dan menyerang diri sendiri?”“Benar,” jawab Kam Sin Kiam pendek.Cio San mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam sakunya.“Silahkan minum, Tayhiap. Dan jangan kerahkan tenaga dalam sama sekali.”“Obat apa itu?” kali ini si nona yang bertanya sangsi.Cio San hanya bisa tersenyum kecut dan mengangkat bahu.“Ayah, jangan di…”Terlambat. Si Dewa Pedang sudah meminumnya.“Rasakan hawa hangat y
Cio San kemudian duduk di sana. Sekedar berkenalan dan mengobrol dengan mereka yang terluka. Ternyata mereka ini terdiri dari golongan putih dan golongan hitam. Lucunya, saat sehat kedua golongan ini bertarung terus, tapi saat sakit mereka ini malah terlihat akrab.Mungkin itulah alasan ‘langit’ menurunkan sakit. Agar manusia berhenti sejenak dalam peperangan, lalu duduk merenungi bahwa sesungguhnya mereka adalah makhluk lemah yang saling membutuhkan.Cio San memberi beberapa petunjuk kepada mereka tentang cara menghimpun tenaga dalam setelah tadi terserang racun 7 Raja Ular. Saat orang-orang ini mencoba melakukannya, terasa tenaga mereka menjadi bebas dan semakin menguat. Dapat dibayangkan, betapa berterima kasihnya mereka kepada si ‘Lie Sat’ ini.Sebenarnya, Cio San sudah ingin cepat-cepat pergi. Tapi ia masih menunggu, jangan sampai ada serangan kedua, atau timbul kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan. Oleh sebab itu, ia bertahan sampai pagi di sana. Orang-orang lain sudah pergi
Lim Gak Bun melakukannya. “Masih terasa sakit sedikit, Siansing.”Cio San mengangguk. Ia lalu bertanya kepada Mey Lan, “Nyonya sudah mencoba ke berapa tabib?”“Ada beberapa, Siansing. Cuma, kata mereka, luka dalam ini hanya bisa disembuhkan oleh orang yang mempunyai tenaga dalam tinggi, dan memiliki pengetahuan pengobatan yang tinggi pula.”Pukulan maut 18 Tapak Naga ini memang tidak boleh dibuat main-main. Hasilnya kalau tidak mati, orang bisa cacat seumur hidup. Cio San merasa sangat bersalah sekali. Dia kini bertekad untuk menyembuhkan Lim Gak Bun sepenuhnya.“Tuan sudah diberi obat apa saja?” tanyanya.“Ini, ada beberapa,” jawab Mey Lan. Ia lalu mencari-cari di dalam rak yang ada di dalam kereta itu. Setelah ketemu, ia menunjukkan sebuah kotak kayu berwarna hitam kepada Cio San.Cio San membukanya, dan melihat isi kotak itu. Berbagai macam obat yang berupa akar-akaran, dedaunan, dan biji-bijian. Ada pula yang sudah berupa pil. Ia mengangguk-angguk. Pengobatannya memang sudah benar
Kini ia berjalan kembali ke tempat rombongan Suma Sun berada. Matahari sudah meninggi dan udara masih tetap sejuk. Sepanjang jalan, ia bertemu dengan orang-orang Kang Ouw yang mendaki untuk sampai ke puncak Thay San. Tak lama, sampai lah ia di tempat rombongan Suma Sun. Mereka ternyata belum pergi dari situ.“Aih, Lie-ko. Kau kah yang melakukan perbuatan itu?” tanya Kao Ceng Lun begitu melihat kedatangan Lie Sat.“Perbuatan apa?”“Menyembuhkan banyak orang dari serangan racun.”Ia hanya tertawa dan mengangkat pundak.“Hebat. Ternyata Lie-ko adalah seorang Siansing. Wah, di tempat ini memang banyak sekali naga sembunyi, harimau mendekam,” kata Kao Ceng Lun.“Bagaimana keadaaan Suma-tayhiap?” tanya Cio San.“Beliau sedang tidur. Itu di bawah pohon sana,” katanya sambil menunjuk.“Kao-enghiong mau ke mana?” tanya Cio San.“Mandi, biar segar,” katanya sambil tersenyum lebar.Cio San tersenyum dan berjalan ke tempat Suma Sun tidur. Saat berjalan ke sana, ia bertemu Ang Lin Hua yang baru ke
“Pernah,” jawab Cio San.“Bagaimana menurut Siansing?”“Harap jangan panggil aku Siansing. Aku merasa seperti orang tua,” katanya sambil tertawa. “Panggil aku koko saja.”“Baiklah, Lie-ko. Nah, bagaimana ilmu silat Beng-enghiong menurut Lie-ko?”“Menurutku, Beng Liong adalah salah seorang pendekar muda paling hebat pada jamannya.”“Jika diadu dengan Cio San, Kauwcu dari Ma Kauw, kira-kira siapa yang lebih unggul?”Keempat orang itu tertawa.“Kenapa Tuan-tuan tertawa?” tanya Kao Ceng Lun bingung.“Kalau perkara silat sih, aku kurang tahu,” kata Suma Sun “Tapi kalau perkara minum arak, aku yakin Cio San yang menang. Bahkan jika air laut menjadi arak, aku yakin keparat satu itu akan sanggup menghabiskannya.” Ia tertawa terbahak-bahak. Lie Sat pun tertawa.Hanya Ang Lin Hua yang tidak senang.“Menurutku, tentu saja Kauwcu kami yang lebih unggul. Ilmu beliau bermacam-macam. Pemahaman beliau pun mendalam. Sedangkan Beng-enghiong itu hanya paham ilmu-ilmu Bu Tong-pay.”“Menurutku malah Ang-s
“Aku harus segera berlatih,” kata Suma Sun.“Berlatih?”“Ya.” Ia pergi sambil tersenyum. Menenteng pedangnya dan hilang di balik kegelapan malam.Heran. Saat posisinya dulu ‘kalah’daripada Kam-tayhiap, ia malah mabuk-mabukan. Kini saat posisinya lebih ‘unggul’, ia malah berlatih.Karena tak tahu apa yang harus ia lakukan, Cio San pergi tidur.Saat terang tanah, ia bangun. Sejak tadi telinganya sudah mendengar suara pertempuran. Ia tahu itu hanya berupa latihan biasa. Luk Ping Hoo, Ang Lin Hua, dan Kao Ceng Lung sedang berlatih bersama-sama. Memang, jika ahli silat berkumpul, hal yang paling menarik bagi mereka adalah adu jotos.Melihat latihan ini, Cio San kagum juga. Luk Ping Hoo yang sudah tua, tidak kehilangan tenaga dan kelincahannya. Ang Lin Hua mengalami banyak sekali kemajuan. Kao Ceng Lun pun memiliki bakat yang sangat besar. Mereka bertiga saling menyerang satu sama lain, sehingga pertempuran ini terasa lucu. Kadang Ang Lin Hua bahu-membahu dengan Kao Ceng Lun menyerang Luk P
“Wah, jurus apa itu?” tanya Suma Sun. Padahal tidak ada satu pun gerakan yang mereka buat.Cio San tidak berkata apa-apa. Ia sedang memusatkan pikirannya. Dari sini bisa dilihat, bahwa dalam ilmu pedang, Suma Sun masih setingkat lebih tinggi.“Hebat,” Suma Sun bergumam.Cio San masih diam. Ia merasa sangat terganggu dengan ucapan-ucapan Suma Sun. Maka ia kemudian menutup jalan pendengarannya. Dunia kini sunyi baginya. Justru dengan begitu, ia mampu mengatur lagi serangan-serangannya.Entah kata-kata apa yang diucapkan Suma Sun. Tapi si pendekar pedang ini rupanya sadar bahwa Cio San telah mengunci jalan pendengarannya, sehingga Suma Sun akhirnya memilih diam.Sesungguhnya jurus yang Cio San gunakan adalah jurus pedang dari Pendekar Pedang Kelana Can Liu Hoa yang dipelajarinya di hutan bambu. Jurus-jurus yang amat dahsyat jika diperagakan. Tapi justru menjadi lebih dahsyat ketika hanya dibayangkan.Suma Sun mulai kesulitan. Jurus pedang ini aneh dan tak masuk akal baginya.Walaupun mem
“Aku sampai sekarang belum mengerti alasanmu mabuk-mabukan tempo hari,” kata Cio San.“Kau tentu paham jika aku sudah kalah pengalaman dan kalah ilmu dari Kam-tayhiap,” jelas Suma Sun, lalu melanjutkan, “Jika aku memikirkan hal untuk melawan kekuranganku itu, malah akan membuatku semakin kalah.”“Oleh sebab itu, aku memilih berbahagia dengan orang-orang terdekatku. Aku memilih menjalani masa kini, dan menghilangkan ketakutan-ketakutan akan masa depan.”“Dengan berbahagia, pikiran jadi terang. Hati jadi lapang. Dengan begitu, jiwaku menjadi lebih siap dalam menghadapi pertarungan. Apapun hasilnya, akan kuhadapi. Kalah ya kalah, mati ya mati. Tapi hasil itu baru ditentukan beberapa hari lagi. Hari ini? Hari ini aku ingin berbahagia. Ingin menjalani hidup yang lebih hidup.”“Jadi aku mengorbankan tenaga dengan minum arak. Tetapi hasilnya, aku mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan ini menjadi modal bagi jiwaku untuk menghadapi pertarungan nanti.”Orang yang bahagia, matanya menjadi terang