“Luas sekali pandangan Thay Suhu.” Cio San berkata begitu sambil menjatuhkan diri ke lantai, dan bersoja 3 kali di hadapan tulisan itu.Setelah bangkit, ia berkata kepada Cukat Tong, ”Kau dipersilahkan melihat dan mempelajari gambar-gambar ini. Kata Thay Suhu, siapapun yang berjodoh melihatnya, dipersilahkan unuk mempelajarinya.”“Aku tidak tertarik,” kata Cukat Tong menggeleng.“Kenapa?” tanya Cio San.“Memangnya, kau pikir aku tukang berkelahi seperti kau?”“Ilmu itu akan berguna suatu saat nanti.”“Memangnya, kau pikir diriku ini tidak berguna?”“Hahaha…” Cio San cuma bisa tertawa. Dalam hati ia mengerti. Cukat Tong merasa dirinya bukan murid Bu Tong-pay, sehingga merasa tidak pantas untuk mencuri belajar ilmu-ilmu Bu Tong-pay.“Untuk ukuran maling, kau adalah maling paling terhormat yang pernah kukenal.”“Maling juga punya harga diri.” Cukat Tong tersenyum. Ia kini duduk santai di lantai, setengah berbaring sambil menatap lukisan-lukisan di dinding goa.Cio San menatap dan mempela
“Kita harus memberitahukan Beng Liong perkara ini,” kata Cukat Tong.“Liong-ko (Kakak Liong) adalah orang yang lurus dan agak sedikit kaku. Kau pikir, dia mau begitu saja percaya, bahwa ketua partai yang sangat dicintainya itu adalah seorang bajingan?” jawab Cio San.“Kalau kau yang bicara, tentu dia percaya.”“Di dunia ini, manusia yang kata-katanya adalah emas, adalah Liong-ko sendiri. Omongan bau kentut dari mulutku ini, masa mau disamakan dengan dirinya?”“Tapi aku percaya omonganmu.”“Sayangnya, Liong-ko tidak sebodoh kau.”Mereka berdua tertawa mengikik. Heran. Di saat menyusup ke sarang macan seperti ini, mereka masih bisa bercanda.“Ayo kita kembali,” ajak Cukat Tong.“Ah, tapi aku malas mendaki goa sempit tadi itu.”“Terus bagaimana?”“Tidak bisakah kau memanggil burungmu kesini saja?”“Kau pikir Bu Tong-pay rumah bordil? Seenak perut saja keluar masuk?”Mereka cekikikan lagi.Tiba-tiba mereka terdiam.“Kaudengar langkah-langkah itu?” tanya Cio San.“Ayo kembali ke goa!”“Tid
Jurus ini sangat hebat dan cepat. Jarang ada orang yang sanggup menghindar dari kepungan ini.Cio San pun terpana. Seumur hidup, inilah barisan pedang yang paling dahsyat yang dihadapinya! Tiada celah untuk menghindar. Tak ada ruang baginya untuk mundur!Untungnya, tadi Cio San masih memeluk puluhan pedang dengan tangan kirinya.Kini, tujuh dari puluhan pedang itu sudah melayang, mengarah kepada tujuh orang penyerangnya.Walaupun jaraknya sangat dekat, Cio San masih sanggup melontarkan pedang-pedang itu. Ini suatu keuntungan baginya, karena Cio San sendiri meragukan kemampuannya dalam melempar senjata untuk jarak jauh.Ternyata ia sudah memikirkannya sejak tadi.Itulah kenapa ia mengumpulkan pedang-pedang itu dari belasan orang yang pertama kali menyerangnya.Karena ia sudah tahu ia akan berhadapan dengan Barisan 7 Bintang.Dan ia pun sudah tahu cara menaklukkannya.Mengalahkan Barisan 7 Bintang harus dengan cara tiba-tiba, dan dengan jarak sangat dekat. Juga harus secara bersamaan. D
Begitu suasana di sana sudah sepi, Cio San baru berbicara,“Para Totiang, maafkan kelancangan cayhe. Sesungguhnya cayhe tidak bermaksud melakukan ini semua.”Ia lalu melepaskan totokan kedua Tianglo yang tadi, dan menurunkan pedangnya dari tenggorokan dua Tianglo lainnya.“Pangeran Maling, tolong totok titik pendengaran beberapa murid terluka yang berada di sini, supaya mereka tidak mendengar ucapanku,” pinta Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong pun melakukannya.“Para Totiang, maafkan cayhe tidak bisa memberitahukan jati diri cayhe sebenarnya. Tapi cayhe datang kemari untuk menyampaikan sebuah rahasia.”Cio San diam sebentar, lalu berkata,“Di balik kamar ketua, terdapat jalan rahasia menuju ke puncak gunung.”Sambil berkata begitu, ia ingin melihat reaksi para Tianglo. Cio San lalu tersenyum puas setelah melihat reaksi wajah dan tubuh mereka sesuai dengan keinginannya.“Jalan rahasia ini berhubungan dengan kisah pembunuhan Tan Hoat di atas gunung, dan beberapa rahasia lain yang har
“Halah… Saya mana punya kemampuan untuk ikut bertanding? Walaupun bisa silat sedikit-sedikit, saya kesini hanya untuk menonton keramaian. Lumayan, bisa banyak ilmu yang didapat jika kita melihat pertandingan orang,” kata Lie Sat. Lanjutnya, “Siauya sendiri, apakah ikut bertanding?”“Iya. Sekedar untuk menguji kemampuan,” jawab Kao Ceng Lun sambil tersenyum.Lie Sat tersenyum juga. Ia suka melihat pemuda yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Hampir seperti dirinya sendiri. Umur mereka sendiri mungkin sebaya.Mereka mengobrol panjang lebar menceritakan pengalaman masing-masing. Tak berapa lama kemudian, masuk sebuah rombongan kecil ke kedai itu.Suma Sun, Ang Lin Hua, dan Luk Ping Hoo mantan Pangcu Kay Pang. Mereka duduk di sebuah meja kosong, yang tak jauh dari meja tempat Cio San dan sahabat barunya itu berada.Cio San ingin sekali menyapa mereka, tapi ia tahu ia sedang dalam penyamaran. Karena itu, ia bersikap biasa saja dan melanjutkan mengobrol dengan Kao Ceng Lun.Rombongan Suma Su
Tentu saja, pedangnya Suma Sun telah menancap di dahi Bu Seng Ti.Tanpa suara.Tanpa darah.Yang ada hanya kematian.Suma Sun menatap mayat itu dengan penuh penyesalan.“Kau punya bakat besar, tapi kenapa memilih kematian.” Kalimatnya terdengar seperti pertanyaan. Tapi juga terdengar seperti penyesalan.Bahkan juga terbayang sebuah perasaan sepi yang aneh.Karena Suma Sun tahu, di masa depan nanti, tak ada seorang pun yang mampu menandingi pedangnya. Di manakah lagi ia akan menemukan lawan sebanding?Pemuda penuh bakat selalu menyenangkan hatinya. Karena baginya, ada sedikit harapan di masa depan bagi pedangnya untuk menemukan lawan.Mungkin karena inilah, ia merasa begitu kesepian.Jika orang lain kesepian karena tak punya kawan, ia kesepian karena tidak punya lawan.Rasa sepi yang hanya dimengerti oleh orang-orang seperti Suma Sun.Orang-orang yang telah menyerahkan hidupnya kepada ketajaman pedangnya.Suma Sun sendiri telah mengangkat mayat pemuda itu dan menggendongnya keluar. Ke
“Nona siapa?” tanya Ang Lin Hua.“Di mana Ti-ko (Kakak Ti)?” si nona malah balas bertanya.“Maksudmu Bu Seng Ti?” tanya Ang Lin Hua.“Ya.”“Dia…” Ang Lin Hua tidak berani menjawab. Matanya hanya menatap ke kuburan yang baru saja dibuat itu.“Ti-ko….” Nona itu berlari menghambur dan menjatuhkan dirinya di atas kuburan.“Ti-ko… Kenapa kau tidak mendengarkan aku.. Oh.. Ti-ko.. Bagaimana dengan calon bayi di perutku ini Ti-ko?” Ia menangis lama sekali. Menimbulkan keharuan orang yang menonton.Orang-orang semakin banyak berkumpul melihat kejadian ini. Sebagian dari mereka berharap akan ada keramaian lagi.Si nona, yang ternyata adalah seorang nyonya muda itu lalu bangkit berdiri.“Kau pasti Suma Sun.”Sudah dua kali Suma Sun mendengar orang berkata seperti ini. Dan yang pertama sudah menuju alam baka.“Benar.”“Kenapa kau membunuhnya?”“Karena ia ingin membunuhku,” jawab Suma Sun datar dan dingin.“Ciiihh…!! Pendekar besar membunuh seorang pemuda ingusan,” kata nyonya muda itu dingin.Di
Matahari sore memerah. Langit mulai menghitam. Rembulan pun sudah mulai terlihat jelas. Suma Sun masih terpaku duduk menatap kaki langit. Walaupun daerah situ masih ramai, setidaknya ia sudah tidak menjadi pusat perhatian lagi.Ia duduk di bawah pohon. Luk Ping Hoo dan Ang Lin Hua membiarkannya sendirian. Mereka berdua kini malah kembali ke warung tadi dan memesan arak.Kao Ceng Lun berkata kepada Lie Sat, “Hari sudah gelap, kau ingin kita melanjutkan perjalanan atau menginap saja?”Cio San melirik Suma Sun sebentar, lalu berkata, “Kita menginap saja, Siauya. Toh hari sudah gelap. Lebih baik beristirahat mengumpulkan tenaga,” kata Cio San alias Lie Sat.“Usul yang bagus,” kata Kao Ceng Lun sambil tersenyum. Ia memang hampir selalu tersenyum. Senyumnya pun menyenangkan. Seperti senyuman anak-anak.Setelah membayar, mereka keluar dan menuju rimbunan pohon yang berada di samping warung tadi. Suma Sun duduk tidak jauh dari situ.“Eh, Lie-ko. Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Suma-tayhi