“Bahkan urusan masuk ke dalam lubang pun, aku harus mempercayakannya kepadamu,” Cio San tertawa lebar.“Ikuti semua langkahku. Di mana aku menginjakkan kaki, disitulah kau injakkan kaki. Ruangan rahasia ini mungkin memiliki banyak jebakan.”Cio San mengangguk.Bahkan jika Cukat Tong menyuruhnya buka baju, buka celana, dan berlarian telanjang bulat pun, dia akan mengangguk menurut.Urusan menyusup begini, memang Cukat Tong ahlinya. Para pemula sebaiknya menurut saja.Mereka menuruni lubang gelap di dasar lantai. Setelah melihat sekeliling, baru Cukat Tong melangkah dengan penuh hati-hati.“Kau perlu obor?” tanya Cukat Tong lirih sekali.“Tidak. Aku sudah terbiasa dalam gelap.”Cukat Tong mengangguk.Setelah memastikan bahwa ia bisa membuka pintu dari dalam lubang, Cukat Tong lalu menutup pintunya.“Ayo,” katanya. “Semua masih aman.”Mereka berjalan menyusuri goa itu. Ternyata arahnya menurun. Panjang dan sangat berliku-liku.“Darimana kau tahu, kalau diatas ada pintu rahasia,” bisik Cu
“Luas sekali pandangan Thay Suhu.” Cio San berkata begitu sambil menjatuhkan diri ke lantai, dan bersoja 3 kali di hadapan tulisan itu.Setelah bangkit, ia berkata kepada Cukat Tong, ”Kau dipersilahkan melihat dan mempelajari gambar-gambar ini. Kata Thay Suhu, siapapun yang berjodoh melihatnya, dipersilahkan unuk mempelajarinya.”“Aku tidak tertarik,” kata Cukat Tong menggeleng.“Kenapa?” tanya Cio San.“Memangnya, kau pikir aku tukang berkelahi seperti kau?”“Ilmu itu akan berguna suatu saat nanti.”“Memangnya, kau pikir diriku ini tidak berguna?”“Hahaha…” Cio San cuma bisa tertawa. Dalam hati ia mengerti. Cukat Tong merasa dirinya bukan murid Bu Tong-pay, sehingga merasa tidak pantas untuk mencuri belajar ilmu-ilmu Bu Tong-pay.“Untuk ukuran maling, kau adalah maling paling terhormat yang pernah kukenal.”“Maling juga punya harga diri.” Cukat Tong tersenyum. Ia kini duduk santai di lantai, setengah berbaring sambil menatap lukisan-lukisan di dinding goa.Cio San menatap dan mempela
“Kita harus memberitahukan Beng Liong perkara ini,” kata Cukat Tong.“Liong-ko (Kakak Liong) adalah orang yang lurus dan agak sedikit kaku. Kau pikir, dia mau begitu saja percaya, bahwa ketua partai yang sangat dicintainya itu adalah seorang bajingan?” jawab Cio San.“Kalau kau yang bicara, tentu dia percaya.”“Di dunia ini, manusia yang kata-katanya adalah emas, adalah Liong-ko sendiri. Omongan bau kentut dari mulutku ini, masa mau disamakan dengan dirinya?”“Tapi aku percaya omonganmu.”“Sayangnya, Liong-ko tidak sebodoh kau.”Mereka berdua tertawa mengikik. Heran. Di saat menyusup ke sarang macan seperti ini, mereka masih bisa bercanda.“Ayo kita kembali,” ajak Cukat Tong.“Ah, tapi aku malas mendaki goa sempit tadi itu.”“Terus bagaimana?”“Tidak bisakah kau memanggil burungmu kesini saja?”“Kau pikir Bu Tong-pay rumah bordil? Seenak perut saja keluar masuk?”Mereka cekikikan lagi.Tiba-tiba mereka terdiam.“Kaudengar langkah-langkah itu?” tanya Cio San.“Ayo kembali ke goa!”“Tid
Jurus ini sangat hebat dan cepat. Jarang ada orang yang sanggup menghindar dari kepungan ini.Cio San pun terpana. Seumur hidup, inilah barisan pedang yang paling dahsyat yang dihadapinya! Tiada celah untuk menghindar. Tak ada ruang baginya untuk mundur!Untungnya, tadi Cio San masih memeluk puluhan pedang dengan tangan kirinya.Kini, tujuh dari puluhan pedang itu sudah melayang, mengarah kepada tujuh orang penyerangnya.Walaupun jaraknya sangat dekat, Cio San masih sanggup melontarkan pedang-pedang itu. Ini suatu keuntungan baginya, karena Cio San sendiri meragukan kemampuannya dalam melempar senjata untuk jarak jauh.Ternyata ia sudah memikirkannya sejak tadi.Itulah kenapa ia mengumpulkan pedang-pedang itu dari belasan orang yang pertama kali menyerangnya.Karena ia sudah tahu ia akan berhadapan dengan Barisan 7 Bintang.Dan ia pun sudah tahu cara menaklukkannya.Mengalahkan Barisan 7 Bintang harus dengan cara tiba-tiba, dan dengan jarak sangat dekat. Juga harus secara bersamaan. D
Begitu suasana di sana sudah sepi, Cio San baru berbicara,“Para Totiang, maafkan kelancangan cayhe. Sesungguhnya cayhe tidak bermaksud melakukan ini semua.”Ia lalu melepaskan totokan kedua Tianglo yang tadi, dan menurunkan pedangnya dari tenggorokan dua Tianglo lainnya.“Pangeran Maling, tolong totok titik pendengaran beberapa murid terluka yang berada di sini, supaya mereka tidak mendengar ucapanku,” pinta Cio San kepada Cukat Tong.Cukat Tong pun melakukannya.“Para Totiang, maafkan cayhe tidak bisa memberitahukan jati diri cayhe sebenarnya. Tapi cayhe datang kemari untuk menyampaikan sebuah rahasia.”Cio San diam sebentar, lalu berkata,“Di balik kamar ketua, terdapat jalan rahasia menuju ke puncak gunung.”Sambil berkata begitu, ia ingin melihat reaksi para Tianglo. Cio San lalu tersenyum puas setelah melihat reaksi wajah dan tubuh mereka sesuai dengan keinginannya.“Jalan rahasia ini berhubungan dengan kisah pembunuhan Tan Hoat di atas gunung, dan beberapa rahasia lain yang har
“Halah… Saya mana punya kemampuan untuk ikut bertanding? Walaupun bisa silat sedikit-sedikit, saya kesini hanya untuk menonton keramaian. Lumayan, bisa banyak ilmu yang didapat jika kita melihat pertandingan orang,” kata Lie Sat. Lanjutnya, “Siauya sendiri, apakah ikut bertanding?”“Iya. Sekedar untuk menguji kemampuan,” jawab Kao Ceng Lun sambil tersenyum.Lie Sat tersenyum juga. Ia suka melihat pemuda yang jujur, terbuka, dan apa adanya. Hampir seperti dirinya sendiri. Umur mereka sendiri mungkin sebaya.Mereka mengobrol panjang lebar menceritakan pengalaman masing-masing. Tak berapa lama kemudian, masuk sebuah rombongan kecil ke kedai itu.Suma Sun, Ang Lin Hua, dan Luk Ping Hoo mantan Pangcu Kay Pang. Mereka duduk di sebuah meja kosong, yang tak jauh dari meja tempat Cio San dan sahabat barunya itu berada.Cio San ingin sekali menyapa mereka, tapi ia tahu ia sedang dalam penyamaran. Karena itu, ia bersikap biasa saja dan melanjutkan mengobrol dengan Kao Ceng Lun.Rombongan Suma Su
Tentu saja, pedangnya Suma Sun telah menancap di dahi Bu Seng Ti.Tanpa suara.Tanpa darah.Yang ada hanya kematian.Suma Sun menatap mayat itu dengan penuh penyesalan.“Kau punya bakat besar, tapi kenapa memilih kematian.” Kalimatnya terdengar seperti pertanyaan. Tapi juga terdengar seperti penyesalan.Bahkan juga terbayang sebuah perasaan sepi yang aneh.Karena Suma Sun tahu, di masa depan nanti, tak ada seorang pun yang mampu menandingi pedangnya. Di manakah lagi ia akan menemukan lawan sebanding?Pemuda penuh bakat selalu menyenangkan hatinya. Karena baginya, ada sedikit harapan di masa depan bagi pedangnya untuk menemukan lawan.Mungkin karena inilah, ia merasa begitu kesepian.Jika orang lain kesepian karena tak punya kawan, ia kesepian karena tidak punya lawan.Rasa sepi yang hanya dimengerti oleh orang-orang seperti Suma Sun.Orang-orang yang telah menyerahkan hidupnya kepada ketajaman pedangnya.Suma Sun sendiri telah mengangkat mayat pemuda itu dan menggendongnya keluar. Ke
“Nona siapa?” tanya Ang Lin Hua.“Di mana Ti-ko (Kakak Ti)?” si nona malah balas bertanya.“Maksudmu Bu Seng Ti?” tanya Ang Lin Hua.“Ya.”“Dia…” Ang Lin Hua tidak berani menjawab. Matanya hanya menatap ke kuburan yang baru saja dibuat itu.“Ti-ko….” Nona itu berlari menghambur dan menjatuhkan dirinya di atas kuburan.“Ti-ko… Kenapa kau tidak mendengarkan aku.. Oh.. Ti-ko.. Bagaimana dengan calon bayi di perutku ini Ti-ko?” Ia menangis lama sekali. Menimbulkan keharuan orang yang menonton.Orang-orang semakin banyak berkumpul melihat kejadian ini. Sebagian dari mereka berharap akan ada keramaian lagi.Si nona, yang ternyata adalah seorang nyonya muda itu lalu bangkit berdiri.“Kau pasti Suma Sun.”Sudah dua kali Suma Sun mendengar orang berkata seperti ini. Dan yang pertama sudah menuju alam baka.“Benar.”“Kenapa kau membunuhnya?”“Karena ia ingin membunuhku,” jawab Suma Sun datar dan dingin.“Ciiihh…!! Pendekar besar membunuh seorang pemuda ingusan,” kata nyonya muda itu dingin.Di
PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per
Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora
Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit
Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin
Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag
Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding
Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad
Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir
Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge