Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.
Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”
“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”
“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”
“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.
Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.
Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.
“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.
“Sudah, Lopek. Kata beliau, saya harus ke pondok bambu selama 3 bulan.” Sambil berkata begitu, ia membuat mimik muka yang lucu. Nampaknya hukuman seperti ini lumayan menyenangkan juga bagi Cio San.
“Haha, kau senang ya disuruh menyendiri 3 bulan? Tak ada orang yang mengganggumu disana ‘kan?”
“Iya, Lopek, haha…”
“Kalau bukan orang yang mengganggumu, bisa saja setan gunung yang mengganggumu,” goda Liang-lopek sambil membuat mimik muka seram.
“Asal saya tidak disuruh berlatih silat, nampaknya diganggu setan gunung juga lebih baik,” tawa Cio San.
“Hus..! Jika didengar gurumu, hukumanmu bisa-bisa diganti disuruh belajar silat terus, tidak boleh makan dan tidak boleh tidur.”
Mereka berdua tertawa lagi.
Tiba-tiba Liang-lopek berkata, “Eh, aku punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menemanimu disana.”
“Apa itu, Lopek?”
“Tunggu sebentar.”
Liang-lopek lalu pergi ke biliknya. Tak berapa lama, ia keluar membawa beberapa barang.
“Ini ada sebuah panci kecil. Supaya kau bisa memasak sendiri disana. Memang aku tahu biasanya setiap beberapa hari sekali, ada murid yang mengantarkan makanan bagimu kesana. Tapi kupikir, kau mungkin ingin memasak sendiri sambil mencoba-coba resep yang kuajarkan tadi.”
“Ah, terima kasih, Lopek.” Cio San tertawa senang.
“Ngomong-ngomong tentang resep, ini kukasih juga buku resep khusus. Di dalamnya selain ada resep-resep masakan kuno, juga ada penjelasan tentang bahan-bahan dan tanaman-tanaman khusus.”
“Terima kasih, Lopek. Saya pasti mempelajari buku itu.”
“Nah, ini yang terakhir. Kubawakan juga sebuah khim (sejenis kecapi) kecil untuk menemanimu bernyanyi dengan setan gunung. Hahahaha…”
“Hahaha…, Lopek jangan bergurau. Saya ‘kan tidak bisa bermain khim. Walaupun ayah saya mahir sekali bermain, saya sama sekali belum pernah mencobanya.”
“Kalau ayahmu mahir bermain, pastilah juga itu menurun kepadamu. Coba-coba saja lah...”
“Huh, bisa-bisa nanti waktuku habis kupakai belajar khim dan belajar masak. Pelajaran silat bisa terlupa semua. Bahaya...” Wajah Cio San membuat mimik lucu lagi.
Tiba-tiba ia melanjutkan, “Aha, saya tahu. Lopek sengaja memberikanku barang-barang ini, supaya saya sama sekali tidak belajar silat ‘kan? Supaya jika saya kalah dengan A Pao, saya dipindahkan ke bagian dapur dan jadi anak buah Lopek?”
“Hahahahah….”
Mereka berdua tertawa berbarengan. Ada rasa hangat yang timbul di hati mereka saat bergurau. Memang tidak ada perasaan yang lebih menyenangkan selain berkumpul bersama temanmu dan bergurau bersama. Rasanya seperti semua beban dalam hatimu terlupakan untuk beberapa saat.
“Eh, kau cepatlah berangkat, nanti kemalaman di jalan. Aku akan sering-sering mengunjungimu jika diijinkan oleh gurumu.”
“Kata guru, siapapun boleh mengunjungi saya diatas sana. Tapi saya yang tidak boleh meninggalkan tempat itu.”
“Hmmm, baguslah. Kalau ada waktu senggang, aku akan sering-sering naik kesana. Kau jaga diri baik-baik yah. Belajar masak yang rajin, biar nanti kalau aku kesana, kau yang memasak untukku.”
“Baik, Lopek, terima kasih. Mohon doa restu agar saya berhasil.”
“Baik.. baik..”
Cio San memberi hormat dengan membungkuk serendah mungkin. Ada perasaan haru dalam hati Liang-lopek ketika menerima penghormatan seperti itu. Selama ini, tidak ada murid Bu Tong-pay yang memberi hormat seperti itu kepadanya. Hanya Cio San yang memperlakukannya seperti guru. Itulah kenapa ia sangat menyukai anak kecil yang polos ini.
Setelah memberi salam, Cio San bergegas pergi. Tidak ada wajah ketakutan di dalam hatinya. Mungkin karena ia tidak tahu bagaimana keadaan puncak tertinggi Bu Tong-san yang sebenarnya. Cio San pergi dengan riang tanpa rasa berat dihatinya.
Memandangi punggung anak kecil yang bersemangat itu, Liang-lopek membatin,
“Mudah-mudahan Bu Tong-pay menjadi lebih jaya karena anak ini.”
Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada C
Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.Tan Hoat rupanya
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.Saat ilmu Bu Tong-
Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jik
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Bu Tong-pay.Hanya 2 bulan dia di puncak Bu Tong-san, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan.Telah pula pandai
“Wah, apa lagi, Lopek? Kalau dihitung-hitung, dengan barang-barang pemberian Lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi…,” canda Cio San.“Ah, bisa saja kau. Aku membawa ini.” Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya.“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San.“Hey, kau tahu juga tentang arak, Cio San?”“Kalau perkara arak, sejak kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu.”“Heh? Wah, hebat juga kau,” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Tapi memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menu
Setelah selesai minum arak, mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu silat, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar, karena ia telah puluhan tahun hidup di Bu Tong-pay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia Kang Ouw tentu menjadi bahan pembicaraan di Bu Tong-pay.“Lopek, menurut Lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya kehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-tayhiap, Yo-tayhiap. Di jamanku dulu, yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama ...., ah.., kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi m