Begitu pintu dibuka, nampaklah ruang ketua itu. Tidak terlalu besar, tapi juga tidak terlalu sempit. Ruangan ini biasanya dipakai sebagai ruang tugas Ciangbunjin. Tempat ia menerima tamu atau memberi perintah. Intinya, ruang ini dipakai sebagai ruang resmi kepala Bu Tong-pay.
“Teecu, Cio San menghadap, Ketua.” Sambil berkata begitu, Cio San mengatup tangan di depan dada.
Sambil tersenyum, Lau-ciangbunjin berkata, “Sudahlah, jangan terlalu banyak aturan.”
Cio San mengangguk hormat.
Ternyata di dalam ruangan ini, Lau-ciangbunjin tidak sendirian. Ada 4 orang disebelahnya. Dua di kiri dan dua di kanan. Keempat orang ini adalah Penasehat Utama Ketua Bu Tong-pay. Mereka dari angkatan ke 2. Wajah mereka angker. Cio San mengenal nama-nama orang ini.
Cou Leng, berdagu panjang, dengan jenggot yang semakin membuat wajahnya terlihat lebih panjang.
Yo Han, bertubuh tinggi besar, matanya selalu tertutup, dan bibirnya selalu berkomat-kamit.
Yo Ang, kakak dari Yo Han, tapi justru tubuhnya kecil. Tatapan matanya, Cio San bahkan tidak berani melihat karena khawatir ‘tertusuk’.
Oey Tang Wan, selalu tersenyum.
Usia keempat Penasehat Utama ini sekitar awal 60 tahunan. Tapi seperti Lau-ciangbunjin, wajah mereka terlihat lebih muda sepuluh atau lima belas tahun.
Ada rasa tergetar juga di hati Cio San. Ia memang jarang bertemu orang-orang ini. Tapi kewibawaan keempat orang ini memang sudah sering terdengar. Kabarnya, ilmu keempat orang ini hanya satu tingkat dibawah Lau-ciangbunjin.
Dalam hati, Cio San kagum juga. Dari cahaya pancaran wajah saja, bisa diukur kesaktian mereka.
“Cio San..,” kata Lau-ciangbunjin, suaranya tenang sekali.
“Teecu mendengar, Suhu,” jawab Cio San menghormat.
“Kejadian beberapa hari yang lalu, sudah kudengar. Bahkan seluruh Bu Tong-pay ini sudah mendengar,” lanjut Lau-ciangbunjin.
Cio San menunduk khidmat.
“Mengapa kau menangis saat diserang A Pao?” tanya sang Ciangbunjin.
Cio San terdiam beberapa detik. Ia telah memikirkan jawaban atas pertanyaan ini sejak beberapa hari. Dan mantap ia menjawab, “Teecu tidak mempunyai alasan apa-apa, Suhu. Teecu siap bertanggung jawab dan menerima hukuman atas perbuatan teecu itu, Suhu.”
“Benar kau tidak mempunya alasan apapun? Apakah saat bertarung itu kau sedang dirundung masalah? Atau kau teringat ayah-ibumu?” tanya Lau-ciangbunjin lagi.
“Sama sekali tidak, Suhu. Mungkin teecu saja yang terlalu berhati lemah, sehingga terjadi kejadian seperti kemarin.”
“Para Tianglo (Penasehat) ada pertanyaan kepada Cio San?” tanya Lau-ciangbunjin kepada keempat orang penasehatnya.
Yo Ang, yang bertubuh kecil dan bermata tajam membuka suara, “Apakah kau takut diserang oleh A Pao?”
Ternyata suaranya cempreng, cocok dengan badannya yang kecil.
Cio San jelas tidak takut. Tapi mau menjawab apa, dia bingung. Akhirnya dia diam saja. Bagi sebagian orang, diam itu berarti ‘Iya’.
“Memalukan.....” kata Yo Ang.
Oey Tang Wan, yang wajahnya selalu tersenyum, kini juga membuka suara.
“Cio San, anakku, jika ada ganjalan di hati, bicarakanlah. Seorang laki-laki sejati tidak akan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya.”
Bagaimana mungkin Cio San membuka semua masalah yang dialaminya? Hatinya terlalu berat untuk kemudian menyalahkan orang lain. Jika dia menceritakan semua perlakuan buruk yang dihadapinya, bukankah akan semakin memperlihatkan kelemahannya? Bukankah hal seperti ini malah akan menambah kemarahan orang? Cio San memilih untuk menyimpan semua itu. Apalagi jika ia mengungkapkannya, bukankah nanti akan timbul berbagai masalah baru dan pergesekan di dalam perguruan?
Bisa jadi ketika ia membuka cerita, hubungannya dengan murid-murid yang lain akan semakin buruk, dan dia akan semakin dijauhi karena dianggap sebagai pengadu. Anak-anak seusia Cio San memang tak jarang berpikiran seperti ini. Rasa kesetiakawanan mereka yang masih polos selalu membuat mereka takut kehilangan teman.
Cou Leng, Tianglo yang berwajah panjang, juga membuka suara.
“Kami sudah mendengar cerita dari A Pao. Bahwa dia mengajak kau berlatih ilmu totokan. Setelah bertanding beberapa lama, kau terdesak oleh serangannya dan mulai menangis. Apa benar?” tanyanya.
Terdiam sebentar, Cio San menjawab, “Benar, Totiang.”
“Huh...” Itu suara Yo Ang.
Kali ini Lau-ciangbunjin yang membuka suara.
“Cio San apakah kau paham arti perbuatanmu itu?” tanyanya.
“Teecu paham sekali, Suhu. Bahwa seorang laki-laki tidak pantas menangis di dalam pertarungan. Apalagi laki-laki itu mengaku sebagai murid Bu Tong-pay. Perbuatan teecu membuat malu seluruh anggota Bu Tong-pay. Dan teecu siap bertanggung jawab atas perbuatan teecu.”
“Bagus. Kau tahu hukuman apa yang harus kau hadapi?” tanya Lau-ciangbunjin lagi.
“Setahu teecu, hukuman paling ringan bagi ketidakdisipilinan di dalam peraturan Bu Tong-pay, adalah diasingkan ke atas pondok bambu di puncak tertinggi Bu Tong-san. Sedangkan hukuman terberat adalah dikeluarkan dari Bu Tong-pay.”
“Bagus jika kau tahu. Para Tianglo, menurut Tianglo sekalian, apakah Cio San melakukan pelanggaran berat atau ringan?”
“Berat!” tukas Yo Ang.
Sedangkan para Tianglo lain masih diam dan berpikir.
Oey Tang Wan berkata, “Menurut saya, kejadian itu memang pelanggaran berat. Tapi kita bisa memberi hukuman yang lebih mendidik kepada Cio San. Saya melihat masih ada kebaikan dalam diri Cio San.”
“Kebaikan macam apa?” sahut Yo Ang. “Ilmu silatnya saja tidak maju-maju. Padahal dia itu anggota ‘15 Naga Muda’. Menjadi murid ‘Biasa’ Bu Tong-pay saja, ia sudah tidak pantas. Apalagi masuk dalam kelompok unggulan seperti ‘15 Naga Muda’.” Suara cemprengnya seperti menusuk tulang.
Oey Tang Wan masih tersenyum. Sambil manggut-manggut ia berkata, “Bukankah dalam Bu Tong-pay, tidak hanya melulu belajar silat? Penguasaan sastra dan ilmu pengobatan juga sangat penting. Menurut saya, bakat sastra Cio San sangat besar. Toh kita dulu sepakat memasukkannya dalam kelompok ‘Naga Muda’ berdasarkan pertimbangan bakat sastranya?”
Yo Ang yang manggut-manggut kali ini.
Walaupun kedua orang ini sering silang pendapat, tapi sangat legawa dalam menghormati pendapat yang dianggap benar.
“Tan Hoat, guru pengawas dari Cio San, mohon ijin untuk mengutarakan pendapat.” Terdengar suara Tan Hoat dari luar pintu.
“Masuk saja, Tan Hoat,” jawab Lau-ciangbunjin.
Setelah masuk dan memberi hormat, Tan Hoat berkata, “Mohon maaf karena teecu berani lancang dalam urusan ini. Tetapi ada satu hal yang ingin teecu sampaikan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Suhu dan Tianglo sekalian.”
“Katakanlah,” sahut Lau-ciangbunjin.
“Tadi pagi, teecu tidak sengaja melihat sebuah keanehan. Cio San, yang pelajaran pernafasan dasar hanya baru tingkat ke-5, sudah bisa melakukan jurus ke-8 Thay Kek Kun.”
Terdengar suara kaget dari sekalian orang di dalam ruangan.
“Lanjutkan,” kata Lau-ciangbunjin.
“Setelah teecu tanya, dari siapa ia mempelajari jurus itu, Cio San mengaku belum pernah diajari oleh siapapun. Pada awalnya, teecu tidak percaya kepada jawabannya itu. Tapi setelah teecu berpikir, memang tidak mungkin orang yang belum menguasai seluruh tingkatan pernafasan dasar bisa melakukan jurus Thay Kek Kun, maka teecu anggap ini memang suatu kebetulan belaka.”
“Cio San, apa benar yang dikatakan gihumu itu? Coba ceritakan dari awal?” kata Lau-ciangbunjin.
Cio San pun mulai bercerita. Seluruh kejadian itu ia ceritakan tanpa ia kurangi dan tambahi.
Selesai bercerita, terdengar keempat Tianglo saling berpandang satu sama lain dan berdiskusi. Terdengar perbedaan pendapat, dan pada akhirnya Lau-ciangbunjin lah yang berkata,
“Begini saja,” kata sang Ketua.
“Kejadian ini memang aneh dan ajaib. Tapi juga bukan berarti tidak masuk akal. Ilmu Thay Kek Kun ini memang sangat dalam, sehingga semakin dalam kau pelajari, semakin juga terasa kecil dirimu di hadapan ilmu yang sangat luas.”
“Melihat bahwa ternyata Cio San sanggup melakukan hal seperti itu, menandakan bahwa ia sebenarnya mempunyai bakat dalam ilmu silat. Cuma mungkin, ketertinggalannya itu disebabkan oleh kemalasan dan kekurangpahamannya sendiri.”
“Aku memberikan 2 pilihan kepada Cio San. Pilihan pertama, kau tidak akan dihukum dalam pengasingan, namun kau harus mundur dari kelompok ‘15 Naga Muda’, dan menjadi anggota murid ‘Biasa’. Atau pilihan kedua, kau boleh tetap menjadi anggota ‘15 Naga Muda’, tetapi kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu dengan diasingkan ke pondok bambu. Selain itu, disana kau harus rajin berlatih sehingga ketika turun kembali, kau harus bisa mengalahkan A Pao. Jika kau tidak mampu mengalahkan A Pao, maka dengan sukarela kau harus keluar dari ‘15 Naga Muda’ dan menjadi murid ‘Biasa’. Bagaimana Cio San?”
Setelah berpikir sebentar, Cio San berkata, “Teecu memilih pilihan kedua, Suhu.”
Ada senyum yang tersungging di bibir Lau Tian Liong.
Ia lalu berkata, “Bagus, itulah yang ingin kudengar dari mulut seorang murid Bu Tong-pay. Berani bertanggung jawab dan menerima hukuman. Jika tadi kau memilih pilihan pertama, aku akan langsung mengeluarkanmu dari Bu Tong-pay.”
“Karena kau adalah murid termuda yang dihukum dalam pengasingan, maka aku memberi keringanan padamu. Jika biasanya hukumannya harus setahun dalam pengasingan, kau cukup menjalaninya selama 3 bulan. Siapa saja boleh menjengukmu setiap saat, tapi kau tidak diperbolehkan turun, atau keluar dari puncak. Selama disana, kau harus rajin berlatih, sehingga begitu turun, kau harus sanggup mengalahkan A Pao. Siapkah kau?”
“Teecu siap, Suhu,” kata Cio San sambil menunduk khidmat.
“Bagus. Bersiap-siaplah sekarang. Hari ini juga begitu siap, kau harus sudah berangkat ke pondok bambu.”
“Teecu siap menjalankan perintah.”
Cio San telah selesai membuntal pakaian-pakaiannya. Begitu keluar dari biliknya, Tan Hoat telah berada di depan pintu menantinya. Berbeda dengan beberapa hari akhir-akhir ini, wajah Tan Hoat sudah tidak seketus belakangan ini.Tan Hoat sambil tersenyum berkata, “Sudah siap? Aku akan mengantarmu ke pondok bambu.”“Sudah, Gihu. Tapi ‘anak’ ingin berpamitan dengan beberapa orang terlebih dahulu. Bolehkah?”“Pergilah. Aku menanti di pohon Yang Liu, dekat kolam gedung utama. Jangan lama-lama, takutnya kita telat berangkat dan kemalaman.”“Terima kasih, Gihu.” Sambil berkata begitu, ia memberi hormat dan segera bergegas.Pertama-tama, ia mencari Liang-lopek. Orang tua ini memang selalu akrab dengannya. Kesukaan baru Cio San, yaitu belajar masak, memang harus tertunda dulu. Padahal ia senang sekali mempelajari kemampuan baru ini.Cio San menemukan Liang-lopek sedang beberes di dapur belakang.“Ah kau.., bagaimana? Sudah bertemu Ciangbunjin? Apa kata beliau?” tanya Liang-lopek.“Sudah, Lopek.
Setelah dari tempat Liang-lopek, Cio San menuju ke ruang latihan utama, tempat biasanya para ‘15 Naga Muda’ berlatih. Karena saat ini memang masih jam istirahat, ruangan itu masih sepi. Namun sesuai dugaan Cio San, masih ada satu orang yang berlatih disana. Siapa lagi kalau bukan Beng Liong.Remaja tampan dan gagah ini, memang tidak pernah melewatkan waktu tanpa berlatih silat. Ia bersilat sendirian. Memainkan jurus-jurus dasar Bu Tong-pay. Namun gerakannya terlihat mantap dan lincah. Peluh mengalir di sekujur tubuhnya yang bertelanjang dada. Di umur yang baru sekitar 18an tahun, tubuh Beng Liong terlihat tegap dan gagah.Melihat keseriusan Beng Liong dalam berlatih, Cio San sungkan mengganggunya. Ia hanya berdiri di belakang Beng Liong. Melihat gerakan-gerakan silatnya. Memang sungguh hebat sekali. Pantas saja kalau Beng Liong dianggap sebagai ‘15 Naga Muda’ yang paling berbakat.Merasa ada orang di belakangnya, Beng Liong menyelesaikan gerakannya. Ia berbalik lalu tersenyum kepada C
Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.Tan Hoat rupanya
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.Saat ilmu Bu Tong-
Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jik
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Bu Tong-pay.Hanya 2 bulan dia di puncak Bu Tong-san, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan.Telah pula pandai
“Wah, apa lagi, Lopek? Kalau dihitung-hitung, dengan barang-barang pemberian Lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi…,” canda Cio San.“Ah, bisa saja kau. Aku membawa ini.” Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya.“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San.“Hey, kau tahu juga tentang arak, Cio San?”“Kalau perkara arak, sejak kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu.”“Heh? Wah, hebat juga kau,” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Tapi memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menu