Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.
Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.
Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jika ia menyalurkan tenaga ke tempat-tempat yang sakit itu, perlahan-lahan ia bisa menghilangkan rasa sakit itu.
Selain berlatih silat, Cio San kini mulai belajar memasak. Ia mencobai berbagai resep yang ada di buku itu. Mulai dari yang gampang-gampang dulu. Di atas puncak Bu Tong-san, hampir semua bahan untuk resep-resep bisa ditemukan. Memang tidak semua bahan itu ada. Kadang-kadang, dengan daya pikirnya, Cio San bisa mengganti bahan masakan yang tidak ada dengan bahan-bahan lain.
Ia berburu rusa dan kambing gunung. Juga berbagai jenis burung untuk dimasak. Ia memetik daun-daun dan tanaman untuk bumbu masakan. Kadang, malah ia mencampur-campur sendiri resepnya. Hasilnya kadang enak, kadang mengecewakan. Kalau sudah begitu, Cio San hanya bisa tertawa-tawa sendiri memuntahkan hasil masakannya yang rasanya tidak karuan.
Selain memasak, ia juga belajar membuat resep-resep obat-obatan. Kadang-kadang, ia malah mencampurkan resep obat dan resep masakan. Walaupun rasanya tidak begitu enak, Cio San percaya hal itu bisa membuat tubuhnya lebih sehat.
Dan memang benar, keberaniannya mencoba masakan dan obat-obatan membuat tenaganya semakin bertambah kuat. Resep-resep kuno itu ternyata sangat berkhasiat.
Beberapa hari kemudian, A Liang datang lagi. Kali ini selain berbincang-bincang sambil makan, A Liang mengajarkan cara bermain khim. Awalnya, Cio San memang kesulitan, tetapi dasar berbakat, diajari sebentar saja sudah bisa. Bakatnya terhadap sastra dan musik mungkin menurun dari ayahnya, yang memang mahir sekali.
Sambil bernyanyi diiringi petikan khim dari Cio San, A Liang memberikan petunjuk dan pengarahan, “Nah, di bagian ini jangan terlalu keras, lembutkan sedikit.” Atau, “Kurang cepat, ikuti hentakan iramanya.”
Setelah berjam-jam, akhirnya Cio San menguasai juga lagu yang diajarkan A Liang. “Aduh, susah sekali lagu ini, Lopek. Kita beristirahat sebentar,” keluh Cio San.
“Haha, baiklah. Tapi permainanmu sudah lebih baik dibanding awal-awal tadi, pintar juga kau,” puji A Liang.
“Yang pintar itu gurunya. Mulai sekarang saya akan memanggil Lopek sebagai ‘Suhu’..”
“Hush..! Ngawur..! Murid Bu Tong-pay tidak boleh mengambil guru luar seenaknya. Walaupun sudah lama mengabdi di Bu Tong-pay, aku ini cuma tukang masak, mana boleh dipanggil guru,” sahut A Liang.
“Tapi, bukankah orang yang mengajarkan sesuatu kepada orang lain, sudah sepantasnya dipanggil ‘Suhu’?” kata Cio San sambil tersenyum.
“Halah.., tidak mau. Aku tidak mau dipanggil suhu,” kata A Liang ketus.
“Baiklah, Lopek. Tapi bagaimanapun, aku tetap menganggap Lopek sebagai Suhu. Dan akan mengabdi layaknya murid terhadap Suhu, walaupun Lopek tidak mau dipanggil sebagai Suhu. Terimalah salam teecu yang tidak bisa berbakti ini....” Dengan tulus Cio San berlutut dan bersoja.
Belum sampai kepalanya menyentuh tanah, A Liang sudah menghalanginya. “Hey, jangan terlalu banyak aturan seperti inilah. Terserahlah kau menganggapku apa. Tapi kuminta, jangan berlaku seperti ini jika ada orang lain. Hukuman Bu Tong-pay bisa membuatmu tinggal selamanya di sini,” ia berkata sambil tersenyum, tapi matanya sudah berkaca-kaca.
Entah kenapa, A Liang suka sekali dengan anak ini. Cio San memang memiliki watak yang menyenangkan. Yang menyebabkan ia dibenci oleh murid-murid Bu Tong-pay lain, sebenarnya bukanlah karena wataknya. Melainkan posisinya sebagai anggota ‘15 Naga Muda’ Bu Tong-pay lah yang membuatnya dicemburui. Murid-murid lain menganggap kemampuan silatnya tidak pantas untuk menjadi anggota ‘15 Naga Muda’.
Cio San sendiri memang bisa membawa diri. Tutur-katanya sopan dan menyenangkan. Ironisnya, seringkali tutur-kata kita yang sopan bisa membuat orang lain yang sudah tidak suka kepada kita, akan semakin tidak suka.
A Liang yang sederhana dan tidak memiliki prasangka apa-apa terhadap ini, menjadi sayang dan menganggapnya sebagai cucu sendiri. Walaupun mereka baru saja akrab akhir-akhir ini, tapi A Liang serasa memiliki cucunya sendiri. Ia memang tidak pernah menikah sepanjang hidupnya. Sehingga keberadaan Cio San, mungkin membawa perasaan tersendiri di hatinya yang tidak pernah memiliki anak atau cucu.
Setelah beristirahat cukup lama, mereka berdua mulai bermain khim lagi. “Kali ini kau harus memperhatikan syair yang kunyanyikan. Konsentrasi kini harus kau bagi untuk memainkan khim dan mendengarkan syair. Ini lebih susah, tapi nanti kau pasti bisa,” kata A Liang.
“Baiklah, Lopek.”
A Liang lalu bernyanyi. Cio San mulai mengiringi, kali ini ia memperhatikan liriknya. Pertama-tama petikannya menjadi kacau saat ia membagi konsentrasi. Tapi lama kelamaan ia sudah mulai bisa mengiringi. Saat mendengarkan syair, tak terasa air matanya mulai meleleh.
Lagu itu sungguh sedih. Menceritakan kesepian seseorang. Entah siapa yang dirindukan. Tak terasa perasaan rindu itu menyusup ke hati Cio San. Ia teringat kedua orangtuanya. Air matanya pun meleleh.
Di atas gunung. Petikan khim dan nyanyian syahdu. Angin membelai. Daun-daun berguguran. Ranting pohon bergesekan. Suara-suara keheningan.
Entah tebing terjal ini memang sepi, atau hati yang sepi. Dua orang berhadap-hadapan. Namun masing-masing pikiran, kelana dalam kenangan.
Seorang tua, dan seorang anak belasan usia. Masing-masing meneteskan airmata, karena kenangan yang berbeda. Entah apa di pikiran mereka.
Saat nyanyian dan petikan berhenti, pohon dan angin pun serasa mati. Tak ada derak, tak ada gerak.
Kedua orang ini tersenyum. Ketika air mata telah habis tercurahkan, yang tersisa adalah senyum ketulusan. Mereka berdua bukannya saling silang senyuman, melainkan tersenyum pada masing-masing kenangan.
Jika kesepian datang melanda, di tengah dingin puncak tebing tinggi, maka apa lagi yang bisa menghangatkan hati, kecuali indahnya memori?
Cio San sedang mengenang ayah-bundanya. Terngiang ia atas petikan lagu indah dan tiupan merdu seruling sang ayah. Teringat dia kepada belaian lembut ibundanya. Yang menyuapinya, yang menggendongnya, yang menghiburnya.
Entah A Liang teringat kepada siapa atau apa. Namun 70 tahun hidupnya, jelas tak mungkin tanpa kenangan indah.
Lama sekali kedua orang ini terdiam. A Liang lah yang memecah kebisuan, “Aku belum pernah mendengar permainan khim seindah ini. Kau mungkin ditakdirkan menjadi ahli khim nomer satu. Baru belajar beberapa jam saja, kau sudah bisa membuat orang lain menangis mendengar petikanmu.”
“Menangis karena terlalu jelek, Lopek?” Cio San bercanda namun air matanya masih tetap mengalir.
“Teruslah belajar, tak berapa lama kau akan menjadi ahli khim ternama. Kau mungkin akan dipanggil ke istana hanya untuk bermain khim,” kata A Liang.
“Benarkah, Lopek? Wah, teecu (murid) akan berusaha sebaik mungkin, Lopek.”
“Jika saat itu tiba, aku akan senang sekali jika bisa berada disana menontonmu bermain. Hahaha…,” lanjutnya, “Ingat, jangan sebut dirimu ‘teecu’ kalau ada orang lain ya. Bahaya.” Mimik mukanya bersungguh-sungguh.
“Baik, Lopek.”
“Sudahlah, aku mau pulang. Dalam beberapa hari ini aku akan datang lagi. Kita belajar lagu baru. Siap?”
“Siap, Lopek,” jawab Cio San sambil tersenyum.
“Baiklah, sampai jumpa.” A Liang pergi dengan riang.
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Bu Tong-pay.Hanya 2 bulan dia di puncak Bu Tong-san, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan.Telah pula pandai
“Wah, apa lagi, Lopek? Kalau dihitung-hitung, dengan barang-barang pemberian Lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi…,” canda Cio San.“Ah, bisa saja kau. Aku membawa ini.” Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya.“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San.“Hey, kau tahu juga tentang arak, Cio San?”“Kalau perkara arak, sejak kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu.”“Heh? Wah, hebat juga kau,” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Tapi memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menu
Setelah selesai minum arak, mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu silat, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar, karena ia telah puluhan tahun hidup di Bu Tong-pay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia Kang Ouw tentu menjadi bahan pembicaraan di Bu Tong-pay.“Lopek, menurut Lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya kehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-tayhiap, Yo-tayhiap. Di jamanku dulu, yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama ...., ah.., kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi m
“Teecu sempat mendengar sekilas dari Suhu, bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia Kang Ouw, ternyata memang benar-benar ada.”“Di dunia ini banyak sekali kitab sakti yang menjadi rebutan dunia Kang Ouw. Mulai dari kitab ‘9 Matahari’ dan ‘9 Bulan’ yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam golok, atau juga kitab ‘Pedang Sakti’ yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia Kang Ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama,” ujar A Liang.“Teecu akan mengingat baik-baik pesan Lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat. Rasa letih dan lemas yang dulu biasa teecu rasakan, semakin menghilang.”“Bagaimana bis
Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Bu Tong-san ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.Suatu saat ketika bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori-teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.Tak terasa, Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikiran dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat, kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum a
Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi danmayat siapa itu, langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.“Suhu... Suhu....” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di
Cio San yang kebingungan menerima serangan ini, sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka, A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.“Ayo kejar!” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, “Percayalah padaku, Cio San...”Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu? Membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum ‘tertangkap’ rombongan murid Bu Tong-pay yang naik ke atas?Melihat kenyataan bahwa ternyata A
“Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku, Cio San. Awas, kau jangan sampai terkena,” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.Kenapa tidak sejak tadi saja, A Liang mengeluarkan jarum itu dengan cara ini? Hal itu dikarenakan, ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari laksana terbang. Di dunia ini, mungkin hanya A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengerahan tenaga yang besar. Ditambah lagi, ia harus menggunakan chi untuk melindungi dirinya supaya racun itu tidak menyebar luas.Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obatan, b