Share

Bab 25

Penulis: Norman Tjio
last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-18 15:25:37

Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Bu Tong-san ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.

Suatu saat ketika bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori-teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.

Tak terasa, Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikiran dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat, kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.

Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum a
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 26

    Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi danmayat siapa itu, langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.“Suhu... Suhu....” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 27

    Cio San yang kebingungan menerima serangan ini, sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka, A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.“Ayo kejar!” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, “Percayalah padaku, Cio San...”Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu? Membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum ‘tertangkap’ rombongan murid Bu Tong-pay yang naik ke atas?Melihat kenyataan bahwa ternyata A

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 28

    “Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku, Cio San. Awas, kau jangan sampai terkena,” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.Kenapa tidak sejak tadi saja, A Liang mengeluarkan jarum itu dengan cara ini? Hal itu dikarenakan, ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari laksana terbang. Di dunia ini, mungkin hanya A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengerahan tenaga yang besar. Ditambah lagi, ia harus menggunakan chi untuk melindungi dirinya supaya racun itu tidak menyebar luas.Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obatan, b

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 29

    Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan.“Hebat juga obatmu, Cio San. Kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti,” katanya sambil tertawa.“Nah, sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal.”“Biarlah Lopek teecu gendong saja,” pinta Cio San.Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,“Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.”“Sakit? Apakah parah?” tanya Cio San kaget.“Parah sekali. Para Tianglo bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau.”“Ahhhhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San.A Liang melanjutkan, “Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia sebenarnya mencariku.”“Kenapa mencari Lopek?”“Karena kabar yang dibawanya, berhubungan dengan aku dan kau,” jawab A Liang.Cio San bar

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 30

    “Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku, dan sepenuhnya mengabdi kepada Bu Tong-pay. Tapi aku tidak ingin menjadi murid Bu Tong-pay, karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau. Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman.”“Maka untuk melindungiku dari dendam, atas banyaknya korban yang terbunuh karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu, beliau memutuskan untuk ‘mematikan’ Kam Ki Hiang. Sejak saat itu, tersiar kabar bahwa Kam Ki Hiang sudah mati, dan kuburannya berada di Bu Tong-pay.”“Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam terhadapku naik ke Bu Tong-san untuk menanyakan langsung kepada Thio-thaysuhu, apakah aku benar telah mati. Mereka tahu bahwa Thio-thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas.”“Thio-thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa Kam Ki Hiang sudah mati. Memang, sebenarnya Kam Ki Hiang yang sombong dengan silatnya itu suda

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 31

    Ketika ia tersadar, semua masih terlihat gelap. Cio San tak tahu kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali. Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air. Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap. Apakah ia kini telah menjadi buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benar-benar buta.Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.Akhirnya ia berhasil juga mencapai sumber titik cahaya itu. Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 32

    Cio San lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menyusuri sungai itu. Ia ingin mencari dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar 15 menitan), ia belum menemukan sumber air itu.“Panjang juga terowongan ini,” pikirnya.Tapi di sepanjang perjalanan, ia menemukan bahwa ternyata pijakannya tidak hanya berupa bebatuan keras saja, namun ada juga yang berupa tanah.“Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan Liang-lopek. Syukurlah.”Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio San memutuskan untuk terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira sepeminum teh baru akhirnya ia mendengar suara bising yang cukup keras. Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari deburan air terjun.“Ah, ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding goa. Indah sekali.”“Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan ini.”Cio San lal

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18
  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 33

    Ia terbangun saat cahaya kecil sudah muncul lagi dari ‘jendela air’, begitu Cio San sekarang menyebut lubang tempat keluarnya air sungai itu.“Hey, bagaimana jika aku mencari ikan? Siapa tahu di dalam sungai ini ada banyak ikan.”Segera ia menyalakan api dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia menemukan beberapa bilah bambu di sebuah tempat. Bilah-bilah ini memang tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-kira satu depa. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia membuat berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat tempat minum, dan juga tempat penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api. Ia juga membuat tombak ikan.Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun tidak banyak, ikan-ikan di dalam sungai lumayan besar juga. Cio San menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi ia simpan untuk malam hari.Untuk siang hari, Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran yang beracun ia p

    Terakhir Diperbarui : 2022-11-18

Bab terbaru

  • Kisah Para Penggetar Langit   Penutup Kisah - TAMAT

    PENUTUPCio San telah selesai menjura 3 kali di hadapan makam kedua orangtuanya. Ia lalu membersihkan makam itu. Sekuat mungkin ia menahan air matanya. Tak terasa, segala kejadian yang berlalu di dalam hidupnya ini terkenang kembali. Segala penderitaan, ketakutan, kesepian, dan kepedihan hatinya seakan tertumpahkan di hadapan makam kedua orangtuanya ini. Sejak sekian lama, baru kali ini ia berkunjung kesini.Sore telah datang. Warna lembayung langit mulai menghiasi angkasa.Ketika ia selesai membersihkan makam dan membalikkan tubuhnya, betapa kagetnya ia ketika di hadapannya sudah bediri seorang kakek dan seorang nenek. Sang kakek walaupun sudah tua sekali, namun ketampanannya masih terlihat sangat jelas. Tubuhnya pun masih tegap. Begitu pula dengan sang nenek, terlihat masih sangat cantik.Cio San tidak mengenal mereka. Tapi ia tahu mereka berdua tentu suami-istri. Dan ia paham pula, di dunia ini orang yang bisa menyelinap sedekat ini tanpa suara di belakangnya, kemungkinan belum per

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 253

    Cio San mengangguk membenarkan.“Gila!”“Mengapa Beng Liong ingin menghapus dirinya dari kecurigaan? Bukankah tanpa melakukan itu pun, tak ada orang yang akan curiga kepadanya?” tanya Ang Lin Hua.“Ia orang yang terlalu berhati-hati. Ia ingin semua sesempurna mungkin. Selain itu, dia memang ingin menghancurkan musuh-musuhnya,” jelas Cio San.“Karena ingin sempurna, malah terbongkar seluruhnya,” tukas Kao Ceng Lun.“Lanjutkan, Cio San.”“Nah, setelah aku bisa menemukan kunci rahasia itu, awalnya aku mengira Beng Liong hanyalah anak buah biasa. Mungkin ia terlibat karena terpaksa. Aku berpikir keras apa latar belakang semua ini? Pergerakan mereka terlalu rapi, sangat terencana, dan sukar ditebak. Jika hanya sekedar memperebutkan kitab sakti, aku merasa hal ini terlalu berlebihan. Lalu aku mengambil kesimpulan, mungkin semua ini berhubungan dengan perebutan Bu Lim Bengcu di puncak Thay San.”Ia melanjutkan,“Tapi kemudian aku ragu. Jika hanya memperebutkan Bu Lim Bengcu, mengapa orang-ora

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 252

    Entah sudah berapa lama kejadian itu lewat.Kejadian penuh darah di kotaraja.Tapi juga merupakan kejadian dimana keberanian, kesetiakawanan, dan kekuatan ditunjukkan.Mereka kini sedang duduk dengan tenang di atas menara. Menara tempat di mana Cio San berdiri sepanjang hari menatap pertempuran dahsyat itu. Saat itu, di puncak menara, ia telah mengambil keputusan. Tak ada lagi darah yang tertumpahkan oleh tangannya.Saat semua ini berakhir, ia ingin menghilang sejenak. Entah kemana. Entah berbuat apa. Sejenak menikmati kedamaian dunia.Di menara ini, adalah perjamuan sebelum perpisahan itu.Arak sudah mengalir, berbagai makanan pun sudah terhidang. Ada pula tulusnya persahabatan. Jika kau kebetulan mengalami keadaan seperti ini, kau harus terus bersyukur sepanjang masa.Cio San, Cukat Tong, Suma Sun, Luk Ping Hoo, dan Kao Ceng Lun.“Sebaiknya kau harus menceritakan semua ini dari awal,” kata Cukat Tong.Cio San menatap langit.“Awalnya sendiri aku tidak tahu. Cuma mungkin bisa kucerit

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 251

    Ang Lin Hua pun balas tersenyum.Senyum ini.Cio San baru sadar, betapa indahnya wajah Ang Lin Hua saat tersenyum.Ia juga baru sadar, ternyata ia merindukan senyuman ini.“Nona beristirahatlah.”“Baik, Kauwcu. Kauwcu sendiri mohon segera beristirahat.”“Segera,” jawab Cio San. Ia lalu kembali mengobati para korban.Tak terasa, matahari telah kembali menyapa dunia dengan cahayanya yang perlahan tapi pasti.Cio San akhirnya lega. Semua orang telah ditangani dengan baik. Tabib-tabib istana dan tabib-tabib yang ada di kotaraja semua bekerja keras mengobati para pemberani-pemberani ini.Sekali lagi, orang Han mampu mempertahankan tanah airnya dari penjajah Goan. Kegembiraan ini syahdu, karena diliputi oleh semangat kebangsaan yang tinggi, kebanggaan, dan juga kesedihan atas gugurnya para pahlawan. Semua perasaan ini melebur menjadi satu.Cio San keluar ruangan itu.Walaupun di luar udara masih berbau tak sedap karena bercampur amis mayat dan bakaran, tetap saja terasa lebih segar dibandin

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 250

    Cio San dan kawan-kawannya bergerak keluar tembok istana. Peperangan dahsyat sedang berlangsung. Walaupun berjalan dengan payah, Cio San masih memaksa untuk ikut bertarung. Melihat ia akan bergerak, Cukat Tong segera menahannya.“Kau duduk saja di sini,” kata Cukat Tong.“Benar. Dengan keadaanmu yang sekarang, kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” tukas Suma Sun membenarkan.Berpikir sejenak, Cio San lalu berkata, “Baiklah. Tolong bawa aku ke puncak tembok benteng.”Sekali bergerak, mereka bertiga sudah tiba di atas puncaknya yang tinggi itu.Di atas tembok besar yang mengelilingi istana kaisar itu terdapat pasukan pemanah yang sibuk menghalau serangan.“Ah, selamat datang para Tayhiap,” kata seseorang.Cio San tidak mengenal siapa dia, tapi Cukat Tong segera menjawab, “Terima kasih, Goanswe (Jenderal). Hamba ingin menitipkan Cio-tayhiap di sini. Apa boleh?”“Tentu saja, Tayhiap.”Dengan sigap, ia mengeluarkan perintah. Dua orang bawahannya sudah datang memapah Cio San, dan seorang lag

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 249

    Apa yang dituliskan di buku menjadi lebih efektif, karena semua yang tidak diperlukan, tidak perlu dituliskan. Karena itu serangan-serangan Beng Liong terlihat lebih dahsyat dan mengagumkan.Sebaliknya, di dalam pemahaman yang dimiliki Cio San, segala hal menjadi bisa, dan segala hal bisa saja menjadi tidak bisa. Ada proses memilih bisa atau tidak bisa, yang membuat gerakannya menjadi sedikit berkurang kedahsyatannya jika dibanding dengan gerakan Beng Liong.Dari tangan kanannya, Beng Liong mengeluarkan jurus-jurus terakhir 18 Tapak Naga. Dari tangan kirinya, ia mengeluarkan ilmu Inti Es yang membuat siapapun yang terkena pukulan itu menjadi es batu. Langkah kakinya lincah seperti langkah-langkah perawan Go Bi-pay yang gemulai namun tak tertangkap mata.Seolah-olah, segala ilmu di dunia ini telah dipelajarinya dengan sangat baik.Seolah-olah, sejak lahir ia memang telah memahami seluruh ilmu itu satu persatu.Ia menggunakannya dengan luwes dan tanpa kecanggungan.Cio San pun menanding

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 248

    Pedang masih di tangan Bwee Hua. Padahal saat mereka masuk tadi, tak seorang pun yang diperbolehkan membawa senjata.Pedang itu terhunus ke depan.Tapi gadis itu tidak bergerak.Begitu pula ibunya yang berdiri membelakanginya. Di hadapan sang ibu, berdiri seorang laki-laki gagah dengan rambut riap-riap. Tangan laki-laki itu buntung sebelah.“Kau akan melawanku dengan keadaan seperti itu?” tanya perempuan tua itu.“Aku telah menanti sejak puluhan tahun yang lalu,” jawab laki-laki itu.“Bagus. Keturunan Suma memang tidak memalukan.”Lalu perempuan tua itu bergerak.Kecepatan yang tak mungkin diikuti dengan mata manusia biasa.Tapi pemuda bermarga Suma itu bukan manusia biasa. Orang mengenalnya sebagai ‘Dewa Pedang Berambut Merah’, Ang Hoat Kiam Sian.Dan ‘dewa’ adalah ‘dewa’.Ia hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan sudah cukup.Jika kau adalah ‘Dewa Pedang’ maka kau hanya membutuhkan satu gerakan.Satu gerakan yang tidak mungkin seorang pun mau percaya jika diceritakan.Tidak ad

  • Kisah Para Penggetar Langit   Bab 247

    Apa yang terjadi di puncak Thay San telah tersiar ke seluruh dunia. Beng Liong, pemuda belia dari Bu Tong-pay keluar sebagai pemenangnya. Semua orang mengakui, walaupun masih sangat muda, ia sangat pantas memikul tanggung jawab sebagai Ketua Dunia Persilatan.Selama ini, Bu Lim Bengcu selalu dijabat oleh kalangan sepuh. Baru 2 kali, jabatan ini dipegang oleh anak muda. Pertama kali sekitar 50an tahun yang lalu. Hebatnya lagi, kedua-duanya adalah pemuda Bu Tong-pay.Harapan besar kini berada di pundak Beng Liong. Ia diharapkan mampu menuntaskan tugas-tugas berat yang cukup rumit. Salah satunya adalah tugas melawan gangguan dan serangan tentara Mongol di ujung perbatasan. Belum lagi urusan pembunuhan-pembunuhan yang harus ia selesaikan setuntas-tuntasnya. Orang-orang butuh kejelasan, apakah memang Cio San berada di balik semua ini.Hari ini, tepat 30 hari sejak pertandingan di puncak Thay San. Kotaraja ramai dan penuh sesak manusia. Hari ini adalah hari pelantikan Bu Lim Bengcu. Hampir

  • Kisah Para Penggetar Langit   246

    Segala kemegahan dan keramaian itu pun berangsur-angsur memudar. Bu Lim Beng Cu telah terpilih, banyak orang menunjukan wajah puas. Sebagian lagi belum bisa melupakan kejadian dahsyat saat Cio San menghadapi ribuan orang di atas gunung itu.Masing-masing kemudian kembali pulang. Ada yang bersedih karena kehilangan saudara dan teman di gunung ini. Ada yang bahagia karena hasilnya memuaskan. Ada pula yang semakin bersemangat untuk memperdalam ilmu silatnya. Satu hal yang pasti, tidak ada satu pun yang bisa melupakan kejadian dahsyat di gunung itu.Beng Liong tentu saja tidak lupa. Walaupun hatinya gembira telah menyelesaikan tugas ini, tentu saja ia bersedih pula atas semua kejadian yang telah berlangsung. Segera setelah pertandingan selesai dan ia memulihkan tenaganya, ia bersama rombongan Bu Tong-pay segera mencari jalan menuju ke dasar jurang. Di tengah jalan pun mereka bertemu dengan dengan rombongan Siau Lim-pay dan Go Bi-pay yang rupanya memiliki maksud dan tujuan yang sama: menge

DMCA.com Protection Status