“Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku, Cio San. Awas, kau jangan sampai terkena,” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.Kenapa tidak sejak tadi saja, A Liang mengeluarkan jarum itu dengan cara ini? Hal itu dikarenakan, ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari laksana terbang. Di dunia ini, mungkin hanya A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengerahan tenaga yang besar. Ditambah lagi, ia harus menggunakan chi untuk melindungi dirinya supaya racun itu tidak menyebar luas.Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obatan, b
Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan.“Hebat juga obatmu, Cio San. Kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti,” katanya sambil tertawa.“Nah, sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal.”“Biarlah Lopek teecu gendong saja,” pinta Cio San.Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,“Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.”“Sakit? Apakah parah?” tanya Cio San kaget.“Parah sekali. Para Tianglo bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau.”“Ahhhhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San.A Liang melanjutkan, “Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia sebenarnya mencariku.”“Kenapa mencari Lopek?”“Karena kabar yang dibawanya, berhubungan dengan aku dan kau,” jawab A Liang.Cio San bar
“Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku, dan sepenuhnya mengabdi kepada Bu Tong-pay. Tapi aku tidak ingin menjadi murid Bu Tong-pay, karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau. Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman.”“Maka untuk melindungiku dari dendam, atas banyaknya korban yang terbunuh karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu, beliau memutuskan untuk ‘mematikan’ Kam Ki Hiang. Sejak saat itu, tersiar kabar bahwa Kam Ki Hiang sudah mati, dan kuburannya berada di Bu Tong-pay.”“Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam terhadapku naik ke Bu Tong-san untuk menanyakan langsung kepada Thio-thaysuhu, apakah aku benar telah mati. Mereka tahu bahwa Thio-thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas.”“Thio-thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa Kam Ki Hiang sudah mati. Memang, sebenarnya Kam Ki Hiang yang sombong dengan silatnya itu suda
Ketika ia tersadar, semua masih terlihat gelap. Cio San tak tahu kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali. Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air. Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap. Apakah ia kini telah menjadi buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benar-benar buta.Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.Akhirnya ia berhasil juga mencapai sumber titik cahaya itu. Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya
Cio San lalu menyalakan api yang ia gunakan sebagai penerang. Lalu menyusuri sungai itu. Ia ingin mencari dimana sumber air itu. Jalan itu ternyata panjang sekali. Bahkan kira-kira sepembakaran hio (sekitar 15 menitan), ia belum menemukan sumber air itu.“Panjang juga terowongan ini,” pikirnya.Tapi di sepanjang perjalanan, ia menemukan bahwa ternyata pijakannya tidak hanya berupa bebatuan keras saja, namun ada juga yang berupa tanah.“Hmmm...daerah yang diliputi tanah ini bisa dijadikan sebagai kuburan Liang-lopek. Syukurlah.”Walaupun sudah menemukan tempat yang baik untuk kuburan A Liang, Cio San memutuskan untuk terus menyusuri jalan itu. Sampai kira-kira sepeminum teh baru akhirnya ia mendengar suara bising yang cukup keras. Cio San bergegas ke arah suara itu, ternyata suara itu berasal dari deburan air terjun.“Ah, ternyata ada sebuah air terjun yang muncul dari dinding goa. Indah sekali.”“Mungkin dari dalam air terjun inilah aku bisa masuk ke dalam terowongan ini.”Cio San lal
Ia terbangun saat cahaya kecil sudah muncul lagi dari ‘jendela air’, begitu Cio San sekarang menyebut lubang tempat keluarnya air sungai itu.“Hey, bagaimana jika aku mencari ikan? Siapa tahu di dalam sungai ini ada banyak ikan.”Segera ia menyalakan api dan mencari ranting-ranting lain. Kebetulan ia menemukan beberapa bilah bambu di sebuah tempat. Bilah-bilah ini memang tidak terlalu panjang, yang terpanjang hanya kira-kira satu depa. Tapi itu sudah cukup membuatnya senang. Dengan pisau peninggalan A Liang, ia membuat berbagai keperluan dengan bambu-bambu itu. Seperti membuat tempat minum, dan juga tempat penyimpanan jamur-jamur, pisau, dan batu api. Ia juga membuat tombak ikan.Setelah tombaknya selesai, mulailah ia berburu ikan. Ternyata walaupun tidak banyak, ikan-ikan di dalam sungai lumayan besar juga. Cio San menangkap 2 ekor. Satu dimakannya pagi hari, satunya lagi ia simpan untuk malam hari.Untuk siang hari, Cio San memanggang jamur. Sedangkan jamur-jamuran yang beracun ia p
Berhari-hari ia di dalam perut bumi itu, ilmu silatnya semakin hebat. Itu dikarenakan ia selalu rajin melatihnya dan juga berkat kecerdasannya, sehingga ia bisa menciptakan ilmu baru dari hal-hal sederhana.Adanya jamur Sin Hong menambah tenaga dalam yang sangat dahsyat di dalam tubuhnya. Dalam kurun waktu sebulan lebih, kepandaian silatnya sudah jauh melebihi kebanyakan orang di dunia Kang Ouw.Suatu hari ketika selesai menggoreskan penanda di dinding goa, Cio San termenung. Tanda yang ia goreskan di tembok menggunakan pisau A Liang sudah berjumlah 50. Itu berarti sudah hampir 2 bulan ia berada di dalam perut bumi.Betepa mengherankan nasibnya. Mampu bertahan hidup di tengah kegelapan dan kesepian. Namun begitulah takdir. Cio San pun tak pernah lupa bersyukur kepada Thian (langit), bahwa ia masih dinaungi keselamatan dan perlindungan.Ketika sedang asyik melamun, Cio San seperti merasa ada yang aneh. Ia merasa bahwa air di dalam terowongan ini semakin meninggi. Biasanya air tidak per
Setelah sadar dari pingsannya, ia mencoba mengerahkan tenaga ke seluruh organ tubuhnya. Ternyata cepat sekali badannya terasa segar kembali. Cio San lalu mengisi perutnya dengan jamur-jamuran yang tumbuh lebat di dinding. Untungnya, walaupun air banjir sangat deras, tidak mengikis seluruh jamur-jamuran yang ada di dalam terowongan goa itu.Ia mulai melihat ke sekeliling mencoba mengamati keadaan ‘rumah’nya itu. Cio San tak sadar bahwa perlahan-lahan ia sudah mulai bisa melihat di dalam kegelapan. Kehidupannya yang prihatin di dalam goa itu membuatnya harus menghemat segalanya. Mulai dari makanan, ranting-ranting untuk bahan bakar, serta penggunaan batu api. Dia malahan kadang bertelanjang untuk menghemat penggunaan bajunya. Karena bila terlalu sering dipakai akan cepat rusak. Apalagi jika dipakai untuk berlatih silat.Peristiwa banjir tadi malah semakin merusak bajunya. Cio San mencari cara untuk mencari pengganti bajunya itu. Akhirnya ia menemukan ide untuk menggunakan kulit kayu yan