Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.
“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.
Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.
Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.
Saat ilmu Bu Tong-pay mengajarkannya untuk menyalurkan tenaga ke kaki, ia mulai merasa terengah-engah. Tapi saat ia teringat bahwa jantungnya lemah, maka ia malah mengalirkan tenaga itu ke jantung, bukan ke kaki. Karena di dalam buku, untuk menguatkan jantung, ia harus menyalurkan tenaga “Yin” ke dalamnya.
Ini adalah hal yang sangat berbahaya jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Namun entah kenapa, ilmu silat Bu Tong-pay itu sangat cocok dengan teori yang diciptakan sendiri oleh Cio San. Sebagian besar, ini mungkin karena keberuntungan belaka, karena Cio San sama sekali tidak paham tentang ilmu silat.
Tetapi sebagian besar, juga dikarenakan daya pikir serta keberaniannya untuk mencoba hal yang baru. Secara tidak langsung, sebenarnya Cio San sedang menciptakan perubahan-perubahan di dalam ilmu Bu Tong-pay.
Ini terjadi dari hari ke hari, setiap kali ia berlatih ilmu silat. Saat merasa terengah-engah atau letih, cepat-cepat ia mengubah gerakan atau penyaluran tenaga ke tempat-tempat di mana ia pikir sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Dalam beberapa hari saja, ilmu Cio San sudah maju sangat-sangat pesat.
Suatu hari ketika sedang makan siang, ia melihat ada bayangan lagi. Kali ini ia mengenalnya dari kejauhan. “Itu pasti Liang-lopek. Ah, akhirnya ia datang juga,” ujarnya sambil tersenyum.
“Hoy, Cio San…!” A Liang berteriak dari jauh. “Bagaimana kabarmu? Hahahahahaha…”
“Liang-lopek, apa kabar?” kata Cio San sambil memberi salam.
“Hey, buat apa kau banyak aturan seperti ini? Pakai salam Bu Tong-pay segala. Aku ‘kan bukan murid Bu Tong-pay”
“Haha, Liang-lopek memang bukan murid Bu Tong-pay. Tapi Liang-lopek adalah ‘tetua’ Bu Tong-pay.”
“Huah?! Gila kau. Jika didengar 4 Tianglo Bu Tong-pay, kau pasti dihajar mereka. Hahaha…”
Senang rasanya di saat sepi ada sahabat yang datang menemani. Karena kedua orang ini memang sudah seperti sahabat. Padahal umur mereka berdua sudah seperti kakek dan cucu.
Rupanya A Liang membawa juga makanan dari dapur sehingga mereka berdua duduk menikmatinya sambil bercerita. Lama sekali mereka bercerita. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari diatas gunung selama hampir sebulan ini. Sedangkan A Liang menceritakan keadaan perguruan.
“Eh, ngomong-ngomong, sudah kau baca belum buku yang kuberikan?” tanya A Liang.
“Sudah, Lopek. Sudah saya tamatkan.”
“Heh? Sudah tamat? Memangnya kau bisa membaca huruf-huruf aneh di buku itu?”
“Bisa, Lopek. Bukankah dulu saya sempat cerita kalo mendiang Ayah pernah mengajarkan huruf-huruf kuno kepada saya?”
“Masa sih? Aku lupa... ahhahahhahaha…,” lanjutnya, “Coba kau ceritakan apa saja isinya. Mungkin saja aku jadi lebih mahir memasak. Hahahahaha..”
“Buku itu selain resep masakan, banyak sekali resep obat-obatan, dan juga pengetahuan tentang obat-obatan.” Sambil berkata begitu, Cio San bangkit dari duduknya dan pergi mengambil buku itu di dalam gubuknya.
“Coba kau ceritakan padaku tentang isinya,” pinta A Liang.
Cio San lalu menceritakan banyak sekali resep-resep masakan yang unik. Buku itu memang selain berisi tulisan aksara Tionggoan juga memuat huruf-huruf asing. Sehingga memang A Liang tidak pernah menguasai isinya.
“Sebenarnya ini huruf apa sih? Apa memang huruf kuno Tionggoan?”
“Sebenarnya ini huruf gabungan Tionggoan dan huruf dari daerah barat. Jaman dulu, dari sebuah negeri barat ada agama baru yang dibawa oleh seorang Nabi. Setelah Nabi itu wafat, pengikutnya lalu menyebarkan agama itu ke seluruh dunia. Kehidupan pemeluk agama itu sangat maju. Mereka menciptakan ilmu-ilmu baru. Seperti ilmu berhitung, ilmu sastra, ilmu perbintangan, dan lain-lain. Mereka juga menciptakan ilmu silat yang sangat hebat. Mereka selain menyebarkan agama, juga menyebarkan ilmu-ilmu ciptaan mereka itu,” jelas Cio San.
“Ah, kau seperti seorang guru saja. Haha…. Tapi aku pernah mendengar cerita itu. Jadi menurutmu, apakah huruf-huruf di buku ini adalah huruf-huruf dalam aksara mereka?”
“Bukan, Lopek. Ini adalah huruf gabungan aksara Tionggoan dan aksara kaum barat itu. Kaum barat itu adalah kaum yang hidup di gurun pasir, dan sangat menyukai sastra. Mereka juga adalah pengelana. Mereka berkelana menyebarkan agama baru itu sampai ke Tionggoan. Mereka lalu tinggal menetap dan berbaur dengan penduduk asli kita. Bahkan mereka menganggap diri mereka sebagai orang Tionggoan. Sehingga mereka pun menggabungkan aksara Tionggoan dengan aksara asli daerah asal mereka. Maka terciptalah aksara yang ada di buku ini.”
“Darimana kau tahu?”
“Dari mendiang Ayah. Beliau yang bercerita kepada saya,” lanjutnya, “Kata Ayah, ilmu mereka tinggi sekali. Bahkan ketinggian ilmu mereka itu sulit diukur. Musuh-musuh mereka berusaha mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Maka, untuk menjaga kerahasian, mereka menyimpan ilmu-ilmu tersebut ke dalam puisi-puisi yang sukar dimengerti. Sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerti.”
“Benarkah katamu itu?” tanya A Liang.
“Itu kata Ayah,” jawab Cio San. “Dan sebenarnya Kakek dan Ayah sendiri adalah penganut agama dari barat itu,” lanjutnya.
“Benarkah? Jadi kamu bisa aksara barat itu juga?”
“Sedikit-sedikit, saya paham. Cuma saya belum pernah melihat sedikitpun bacaan dengan aksara asli agama itu. Kalau ada, pasti menarik sekali.”
“Wah, hebat sekali kau ini.” A Liang berkata sambil tersenyum dan geleng-geleng kepala.
Lama mereka bercengkerama. A Liang menceritakan keadaan Bu Tong-pay selama beberapa hari ditinggal Cio San. Cio San menceritakan kegiatannya sehari-hari di puncak gunung ini. Tak terasa waktu berlalu sehingga A Liang berkata, “Sudahlah, aku turun dulu yah. Kalau terlalu sore, nanti bisa kemalaman dan terlambat mengurus makan malam untuk perguruan kita. Kau jagalah dirimu baik-baik,” kata A Liang.
“Baik, Lopek. Terima kasih sudah mau repot-repot mengunjungi saya di sini.”
“Alah… Aku malah merasa bersalah tidak mengunjungimu sejak dari awal kau dikirim ke sini.”
“Terima kasih banyak, Lopek. Saya baik-baik saja di sini. Kalau nanti Lopek ada waktu berkunjung lagi, mudah-mudahan kita bisa main khim dan bernyanyi.”
“Hahaha.., aku suka itu. Nah, aku pulang dulu. Kau baik-baik lah. Selamat tinggal.” Ia menepuk pundak Cio San, lalu bergegas pergi.
“Selamat jalan, sampaikan salam buat para Suhu, serta para Suheng dan Sute.”
Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jik
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Bu Tong-pay.Hanya 2 bulan dia di puncak Bu Tong-san, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan.Telah pula pandai
“Wah, apa lagi, Lopek? Kalau dihitung-hitung, dengan barang-barang pemberian Lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi…,” canda Cio San.“Ah, bisa saja kau. Aku membawa ini.” Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya.“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San.“Hey, kau tahu juga tentang arak, Cio San?”“Kalau perkara arak, sejak kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu.”“Heh? Wah, hebat juga kau,” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Tapi memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menu
Setelah selesai minum arak, mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu silat, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar, karena ia telah puluhan tahun hidup di Bu Tong-pay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia Kang Ouw tentu menjadi bahan pembicaraan di Bu Tong-pay.“Lopek, menurut Lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya kehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-tayhiap, Yo-tayhiap. Di jamanku dulu, yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama ...., ah.., kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi m
“Teecu sempat mendengar sekilas dari Suhu, bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia Kang Ouw, ternyata memang benar-benar ada.”“Di dunia ini banyak sekali kitab sakti yang menjadi rebutan dunia Kang Ouw. Mulai dari kitab ‘9 Matahari’ dan ‘9 Bulan’ yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam golok, atau juga kitab ‘Pedang Sakti’ yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia Kang Ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama,” ujar A Liang.“Teecu akan mengingat baik-baik pesan Lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat. Rasa letih dan lemas yang dulu biasa teecu rasakan, semakin menghilang.”“Bagaimana bis
Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Bu Tong-san ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.Suatu saat ketika bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori-teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.Tak terasa, Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikiran dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat, kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum a
Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi danmayat siapa itu, langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.“Suhu... Suhu....” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di
Cio San yang kebingungan menerima serangan ini, sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka, A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.“Ayo kejar!” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, “Percayalah padaku, Cio San...”Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu? Membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum ‘tertangkap’ rombongan murid Bu Tong-pay yang naik ke atas?Melihat kenyataan bahwa ternyata A