Share

Bab 18

Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.

Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.

Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.

Hal inilah yang melahirkan berbagai macam ilmu silat di dunia ini. Semua disesuaikan dengan keadaan fisik, bahkan mungkin juga keadaan alam sekitar.

Cio San mencapai pemahaman ini dalam waktu sebentar saja dan pada umur yang sedemikian muda, sebenarnya adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Memang daya pikirnya yang tajam, membuatnya sanggup memikirkan hal-hal yang tidak dipikirkan orang.

Keadaan ini memang diciptakan Tuhan untuk ‘menyeimbangkan’ kekurangan fisik yang dimilikinya.

Setelah memahami keadaan dan kenyataan bahwa ilmu Bu Tong-pay yang diajarkan kepadanya itu sebenarnya kurang cocok, Cio San mulai memikirkan hal baru lagi. Yaitu bagaimana cara agar ilmu itu menjadi cocok baginya!!

Anak sekecil ini sudah berani mengotak-atik ilmu silat, adalah sesuatu yang berbahaya. Karena jika salah berlatih, bisa menyebabkan kegilaan, cacat seumur hidup, bahkan juga kematian. Herannya, Cio San pun juga memahami hal ini walaupun tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.

“Jika seseorang menggerakkan aliran darah dan tenaga melalui tempat yang tidak seharusnya, maka hal ini akan menyebabkan seluruh kerja tubuhnya menjadi kacau. Ini pasti sangat berbahaya bagi orang itu,” begitu pikir Cio San dalam hati.

“Maka sebelum menggerakkan aliran darah dan tenaga, seseorang harus mengerti dulu arah gerak normal aliran itu. Kemana seharusnya aliran itu bergerak, bagaimana cara kerjanya, dan lain-lain.”

“Sebelum aku bisa mengubah ilmu silat Bu Tong-pay ini agar sesuai dengan tubuhku, maka aku harus memahami tubuhku terlebih dahulu.”

Pemahaman ini adalah pemahaman terbesar dari para ahli silat. Seorang yang mengenal tubuhnya sendiri, pasti akan mampu mengendalikan tubuh itu seperti yang ia mau.

Memang hebat daya pikir Cio San yang bisa sampai pada pemahaman ini, tanpa seorang pun menunjukkan kepadanya. Selama ini di Bu Tong-pay, ia hanya diajarkan teori gerak. Ia diharuskan meniru apa yang sudah ditunjukkan oleh gurunya. Sebab mengapa harus bergerak seperti ini, atau seperti itu, mengapa begini, mengapa begitu, tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepadanya.

Jika banyak bertanya, maka ia akan dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Kenyataan bahwa ia tidak sanggup menguasai apa yang diajarkan kepadanya, adalah lahir dari hal seperti ini. Bahwa ia hanya diajarkan bergerak, tanpa mengetahui makna gerakan-gerakan itu. Padahal fisiknya berkembang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Memahami hal ini, Cio San bertekad untuk mempelajari dulu keadaan tubuhnya sendiri. Jika ia sudah benar-benar paham cara kerja organ tubuhnya, maka ia bisa saja ‘mengubah’ sedikit ilmu silat Bu Tong-pay yang diajarkan kepadanya, agar sesuai dengan keadaan tubuhnya.

Buku pemberian A Liang itu sebenarnya adalah kumpulan buku-buku unik. Ada mengenai resep masakan dan obat-obatan. Bab yang membahas obat-obatan juga memiliki pembahasan tentang tubuh manusia. Tentang aliran darah dan berbagai macam fungsi organ tubuh.

Hal ini membuat Cio San semakin bersemangat mempelajari isi buku yang diberikan A Liang kepadanya. Karena ternyata, di dalamnya berisi pengetahuan tentang tubuh manusia juga. Cio San membaca kitab itu dengan lahap sampai ia tertidur.

Pagi-pagi Cio San terbangun. Ia lalu berlatih silat sebentar, sesuai dengan yang dipesankan gurunya. Memang waktu terbaik untuk berlatih silat adalah saat pagi-pagi sekali. Sinar matahari sangat membantu untuk menguatkan tulang dan menyehatkan tubuh.

Setelah berlatih, dia mulai menanak nasi yang lantas ditinggalkannya untuk pergi mandi dan menangkap ikan. Setelah nasi matang dan ikan sudah diolah, ia pun makan pagi.

Sambil makan, buku pemberian Liang-lopek itu tidak lepas darinya. Semangat sekali Cio San mempelajari isi buku. Sampai siang ia terus membaca buku itu. Kadang-kadang ia mempraktekkan apa yang ada di dalam buku itu. Berpikir sebentar, memperhatikan titik-titik yang ada pada tubuhnya. Mengingat-ingat fungsi titik-titik itu.

Kegiatan itu berlangsung selama 3 hari berturut-turut. Tak terasa Cio San sudah melalap habis isi buku itu dalam waktu 3 hari!

Hari keempat, setelah berlatih silat, Cio San melihat bayangan orang dari kejauhan. “Rupanya akan ada tamu,” pikir Cio San.

Tak berapa lama bayangan itu semakin jelas, tampaklah Beng Liong.

Cio San senang sekali bahwa kakak seperguruannya ini datang berkunjung. Dari jauh mereka saling tersenyum.

“Ah, Liong-heng! Selamat datang di gubuk derita ini,” teriak Cio San sambil tertawa.

“San-te, bagaimana keadaanmu?”

Mereka berbasa-basi sebentar menanyakan kabar dan bercanda. Rasanya memang nikmat jika ada sahabat yang mengunjungimu di kala kau sedang kesepian.

Cio San yang saat sedang menanak nasi, meminta ijin sebentar untuk mandi. Tidak lama kemudian, dia pulang membawa dua ekor ikan yang lumayan besar.

Sambil menikmati nasi dan ikan bakar, kedua sahabat kecil itu mulai saling bercerita. Beng Liong menceritakan keadaan perguruan sedangkan Cio San menceritakan kegiatannya ‘melahap’ buku yang diberikan A Liang kepadanya.

“Pasti menarik sekali buku itu, San-te. Kuharap banyak manfaat yang bisa kau ambil.”

“Iya, Liong-heng. Di buku ini banyak sekali pengetahuan tentang bahan-bahan alam dan ramuan-ramuan. Awalnya aku mengira hanya berisi resep masakan, ternyata isinya lebih dari itu. Liang-lopek juga mungkin tidak tahu karena kebanyakan isi buku ini dari huruf-huruf kuno,” kata Cio San sambil menunjukkan buku itu.

Beng Liong melihat-lihat isi buku itu kemudian berkata, “Ah, benar. Ternyata banyak huruf-huruf kuno. Kau bisa mengenal seluruh huruf-huruf ini, San-te?”

“Bisa, Liong-heng...”

“Seluruhnya?”

“Seluruhnya.”

“Wah, hebat sekali kau, San-te.”

“Tidak juga, Liong-heng. Kebetulan saja aku memiliki Ayah seorang Siucai (Sastrawan), sehingga sejak kecil, aku memang sudah dikenalkannya pada huruf-huruf itu,” tukas Cio San sambil tersenyum.

Lama mereka membahas isi buku itu, sampai kemudian Beng Liong berkata, “Eh, San-te, bagaimana kalau kita berlatih silat?”

“Boleh, Liong-heng, tapi beri aku petunjuk ya. Ilmu silatku buruk sekali, hahahaha…”

Kedua orang itu lalu bersilat. Terlihat sekali bahwa memang Beng Liong sangat berbakat dalam ilmu silat. Gerakannya lincah dan mantap. Serangannya bertenaga dan cepat sekali. Tidak percuma dia dianggap sebagai murid Bu Tong-pay yang paling berbakat.

Cio San jelas kelabakan dalam menghadap serangan-serangan Beng Liong. Untunglah Beng Liong sendiri menahan diri sehingga tidak mendesak Cio San.

Sambil bersilat, kadang-kadang Beng Liong memberikan petunjuk-petunjuk tentang serangan dan tipuan-tipuan.

Cukup lama mereka bersilat, sampai kemudian Cio San mulai terlihat terengah-engah. Mengetahui kondisi ini, Beng Liong mulai melemahkan serangan-serangannya, sehingga lama-lama mereka sepakat untuk berhenti silat.

“Kau hebat sekali, Liong-heng. Baru 3-4 hari kita berpisah, kemajuannya sudah pesat sekali.”

“Benarkah?”

“Benar, Liong-ko. Serangan-seranganmu bertambah cepat. Bukankah tadi kau memainkan jurus-jurus yang baru saja kau latih 3 hari yang lalu?”

“Iya. Bagaimana kau bisa tahu? Oh…, aku ingat. Saat aku berlatih jurus-jurus itu, kamu datang untuk berpamitan, ya?”

“Benar, Liong-heng. Hehe.”

Mereka lalu beristirahat.

“San-te, gerakmu tadi kurang cepat, sehingga gerakan-gerakanmu mudah dibaca. Cobalah untuk berlatih meningkatkan kecepatan seranganmu.”

“Baik, Liong-heng, terima kasih atas petunjuknya.”

“Jangan lupa jurus-jurus itu harus kau hafal luar kepala. Sehingga ketika bersilat, kau bisa langsung menggunakannya dengan bebas. Jika kau menghafal seluruh jurus-jurusnya, perubahan serangan macam apapun dari lawan kita, bisa dihadapi dengan mudah. Ilmu silat Bu Tong-pay memang hebat sekali. Jurus-jurus dasarnya saja sudah bisa menghadapi serangan-serangan dahsyat ilmu lawan.”

“Benarkah, Liong-heng?”

“Benar, San-te. Makanya kau jangan malas berlatih. Jika kita semua rajin berlatih, aku yakin nama Bu Tong-pay akan semakin gagah di mata orang-orang Kang Ouw.”

“Baik, Liong-heng,” kata Cio San tersenyum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status