Bagian tertinggi Bu Tong-san ternyata sangat indah. Di sebelah kanan, sungai dan hutan. Di sebelah kiri, tebing-tebing bebatuan. Tan Hoat menjelaskan bahwa tebing-tebing itu sangat berbahaya, dan mewanti-wanti Cio San untuk berhati-hati jika berada di sekitar tebing itu.
Pondok bambu itu sendiri juga berdiri tepat dibawah sebuah tebing tinggi. Jika menaiki tebing itu, yang tingginya sekitar 10 meter, maka seseorang akan berada di tempat tertinggi Bu Tong-san.
Di dalam pondok, ternyata suasananya bersih sekali. Ada dipan bambu dan sebuah tikar diatasnya. Di sebelah dipan, ada meja kecil dan sebuah kursi. Ada juga sebuah tungku perapian yang berguna untuk memasak atau membuat api unggun sebagai penghangat tubuh. Ada juga lampu minyak, beserta minyaknya.
Sampai saat ini, Cio San baru sadar bahwa hukumannya ini tidak main-main. Ia akan hidup sendirian di sini selama 3 bulan. Rasanya seram juga. Dalam hati, ia bergidik, namun sebisa mungkin ia menutupinya dari gihunya itu.
Tan Hoat rupanya berencana untuk menemani Cio San selama satu malam. Buntalan kecil yang ia bawa ternyata berisi beberapa bahan makanan seperti beras dan bumbu.
“Bahan-bahan ini cukup untuk satu bulan. Nanti jika habis, kubawakan lagi.”
Cio San lalu mengucapkan terima kasih kepada gihunya itu.
Setelah malam tiba, mereka lalu menyalakan lampu minyak. Suasana di situ walaupun hening, ternyata tidak begitu menyeramkan bagi Cio San. Mungkin karena ia sekarang ditemani oleh Tan Hoat. Seseorang jika mengalami hal berat, tapi mempunyai kawan orang yang ia senangi dan hormati, maka sedikit-banyak, hal berat itu menjadi lumayan ringan.
Mereka mengobrol agak lama. Tan Hoat memberi petunjuk-petunjuk tentang ilmu silat. Cio San mendengarkan dengan seksama. Bertanya saat ia bertemu bagian yang belum dimengerti. Tan Hoat merasa pemahaman Cio San itu sangat dalam, dan anak itu cerdas sekali.
“Kau tidurlah, Cio San. Besok pagi-pagi sekali, kita bangun dan melatih semua yang tadi sudah kuajarkan.”
“Baik, Gihu.”
Pagi-pagi sekali, ketika langit masih kelabu, Cio San dan Tan Hoat sudah berlatih. Cio San mulai melakukan gerak-gerak silat, dan Tan Hoat mulai memberi petunjuk-petunjuk lagi. Lama sekali mereka berlatih, sampai hari sudah terang. Lalu mereka beristirahat.
“Cio San, mengapa kau susah sekali melakukan seperti yang kuperintahkan? Bukankah semalam kau sudah paham?”
“’Anak’ sudah paham, Gihu. Teecu juga sudah coba melakukan seperti yang Gihu perintahkan, tapi entah kenapa hasilnya tidak seperti yang Gihu harapkan.”
“Apakah mungkin karena organ-organ tubuhmu itu yang tidak bekerja sempurna? Sayang sekali, padahal kecerdasanmu luar biasa, dan kau cepat paham......” Tan Hoat hanya termangu-mangu.
“Mungkin... mungkin teecu memang dilahirkan tidak dengan bakat silat, Gihu.....”
“Ahhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Tan Hoat. Matanya seperti menerawang.
Ia mengelus-elus kepala Cio San, sambil berkata, “Kau bersabarlah, jika memang tidak mempunyai bakat silat, kau mempunyai bakat kecerdasan yang besar. Kau bisa belajar ilmu pengobatan Bu Tong-pay dan sastra. Aku memang terlambat memahami dan menerima kenyataan ini. Tapi untuk sekarang, kau hadapilah dulu hukumanmu ini. Kuatkan hatimu, Cio San...”
“Ada Gihu yang menyayangi teecu, rasanya ‘anak’ berani menghadapi apa saja, Gihu....”
Setelah beristirahat, mereka berdua lalu mandi di sungai. Sambil mandi mereka menangkap ikan. Ternyata ikannya besar-besar. Ada 2 ekor yang mereka tangkap. Setelah mandi, mereka menanak nasi dan membakar ikan itu, kemudian menyantapnya.
Di dunia ini, tidak ada yang bisa mengalahkan nikmatnya makan di alam terbuka bersama orang-orang yang kau sayangi.
“Cio San, sekarang aku harus turun. Mungkin dalam satu-dua hari, aku harus turun Bu Tong-san pula. Tugas penyelidikan sudah harus kumulai lagi. Mudah-mudahan tidak lama lagi, kita bisa dapat bikin terang masalah kelompok perampok ini.”
Setelah memberi sedikit pesan dan petunjuk, Tan Hoat lalu bergegas turun. Cio San sangat merasa berat, namun ia menahan diri untuk tidak menangis. Air mata mengambang di pelupuk matanya. Entah kenapa ia memang mudah menangis. Hatinya memang lembut. Tapi dia bukan orang yang cengeng, ia hanya orang yang mudah terharu.
Berkali-kali ia mengalami kejadian yang menyedihkan. Kehilangan orangtua, kehilangan kakek dan seluruh keluarganya. Namun ia selalu berusaha menahan kesedihan hatinya. Tapi mata memang tidak bisa berbohong. Sering sekali matanya itu berair. Jangankan terhadap hal-hal besar, terhadap hal-hal kecil saja ia sering terharu.
Setelah sendirian seperti ini, Cio San mulai melamun. Ia melamunkan banyak hal. Tentang kehilangan kedua orangtua dan seluruh keluarga besarnya, perlakuan buruk kawan seperguruannya, dan juga hukuman di atas gunung ini. Ia berpikir, penderitaannya malah mungkin tidak hanya dimulai saat ia kehilangan orangtua. Penderitaannya bahkan sudah dimulai sejak ia lahir.
Ia lahir dengan usia kandungan yang kurang dari 9 bulan. Organ-organ tubuhnya bekerja tidak sempurna. Jantungnya lemah, paru-parunya lemah, hampir semua organ tubuhnya lemah. Sejak kecil ia sering sakit-sakitan. Kalau bukan karena ibunya yang menguasai ilmu pengobatan Go Bi-pay, belum tentu ia bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Selain memberi pengobatan ramuan dan tusuk jarum, ibunya pun masih sering menyalurkan tenaga dalam kepadanya. Bahkan dulu ia sempat mempelajari ilmu pernafasan Go Bi-pay untuk membantu kerja paru-paru dan jantungnya.
Aliran darahnya mengalir tidak normal. Bahkan seringkali ada semacam rasa sakit yang sangat hebat, yang menyerang kepalanya. Singkat kata, hampir semua rasa sakit yang ada di dunia ini, pernah dialami Cio San. Untungnya, sang Ibunda selalu berada di dekatnya dan senantiasa mengobatinya.
Beberapa tahun ini, setelah kedua orangtuanya meninggal, tidak ada lagi yang mengobati Cio San. Ketika sakit kepala atau sesak nafas menyerangnya, ia menyembunyikannya rapat-rapat. Itulah kenapa ia tidak bisa dengan sempurna menggunakan ilmu silatnya.
Beberapa petinggi Bu Tong-pay bukannya tidak mengerti tentang keadaan tubuh Cio San. Mereka pun berusaha untuk menyembuhkannya. Tapi ilmu pengobatan Bu Tong-pay yang hebat itu, sama sekali tidak menurun kepada murid-murid dan petinggi Bu Tong-pay yang sekarang. Keasyikan mempelajari ilmu silat, membuat mereka sedikit menganaktirikan ilmu pengobatan yang sebenarnya sangat penting itu.
Mungkin kitab-kitab pengobatan peninggalan Thio Sam Hong masih tersimpan, namun tidak ada seorang pun yang tertarik mendalaminya lagi.
Keadaan Bu Tong-pay setelah ditinggal mati oleh banyak murid berbakat, dan juga ditinggal Thio Sam Hong, membuat Bu Tong-pay benar-benar lemah saat ini. Itulah yang menyebabkan mereka sekarang mengutamakan berlatih ilmu silat dengan sungguh-sungguh.
Keadaan ini tentu saja menyulitkan Cio San, yang pada awalnya masuk Bu Tong-pay untuk mempelajari sastra dan juga ilmu pengobatan. Karena guru-guru Bu Tong-pay sekarang memiliki kemampuan sastra yang sangat mengecewakan. Bahkan bisa dibilang, Cio San lebih mengerti sastra daripada guru-gurunya.
Ayahnya yang memang ahli sastra kenamaan, sudah mengajarkan banyak sekali huruf-huruf kuno kepada Cio San. Sejak umur 4 tahun, ia sudah sanggup membaca kitab-kitab kuno. Hal ini memang menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga Cio. Sejak dari jaman leluhur keluarga Cio, mereka memang terkenal sebagai ahli-ahli sastra yang hebat.
Kemenangan mengusir penjajah Goan dulu, sebenarnya tidak terlepas dari pengetahuan sastra keluarga Cio ini. Cio Hong Lim, kakek Cio San, bisa menjadi ahli strategi dari tentara pembebas, karena ia paham kitab-kitab kuno. Ia mempelajari sejarah dan strategi-strategi perang jaman dahulu kala, lantas menerapkannya pada perang masa itu. Ditambah lagi, ia pun berhasil menerjemahkan sebuah kitab perang kuno, yang dulunya tersimpan di dalam sebuah golok sakti.
Kitab perang kuno itulah yang membuat perjuangan pembebasan Tionggoan berhasil, dan membawa Kaisar Beng pertama mendirikan kekaisarannya. Cio Hong Lim sendiri mundur dari jabatannya sebagai ahli strategi begitu kemenangan perjuangan berhasil diraih. Padahal kaisar baru itu sudah menawarkan berbagai jabatan kepadanya. Namun Cio Hong Lim memilih membangun desanya, hingga akhirnya dia sekeluarga terbunuh oleh kawanan perampok.
Mengingat cerita tentang kitab kuno, Cio San jadi teringat sebuah kitab yang diberikan Liang-lopek kepadanya. Bergegas Cio San mengambil kitab itu. Kitab yang tebal itu memang membahas tentang berbagai resep. Dan ternyata banyak sekali huruf kuno di dalamnya. Untunglah Cio San bisa membaca semuanya.
Buku itu menarik sekali baginya. Ada resep-resep masakan dan ramu-ramuan pengobatan. Ada pula penjelasan tentang berbagai bahan, mulai dari yang sederhana sampai yang baru dikenalnya.
Seseorang yang gemar sekali membaca, jika diberikan bacaan yang menarik hatinya, maka seluruh perhatiannya akan tercurahkan hanya kepada buku itu. Semua tak dihiraukannya lagi. Bahkan mungkin anak-istri sekalipun.
Cio San pun mempunyai sifat semacam ini yang menurun dari ayahnya. Dengan ‘rakus’ ia membaca halaman demi halaman kitab itu. Daya ingatnya pun kuat sekali. Sekali baca saja ia sudah paham. Keasyikan membaca ini mengalihkannya dari rasa sepi karena sendirian saja di pondok bambu itu.
Tak terasa sudah siang. Perut Cio San sudah keroncongan dari tadi. Akhirnya ia ‘mengalah’ dan memilih untuk makan. Nasi dan ikan tadi pagi masih tersisa. Tapi sambil makan pun Cio San masih ‘melahap’ kitab pemberian Liang-lopek itu.
Sampai malam, hampir sepertiga kitab itu sudah selesai ia baca. Sambil membaca, Cio San mencoba menghafal-hafal isi bacaannya. Dan herannya, ia memang sudah hafal seluruh yang ia baca tadi. Melihat sendiri pun, seseorang tidak akan percaya bahwa ada orang yang bisa menghafal dalam sekali baca.
Namun begitulah Tuhan Yang Maha Adil. Cio San mungkin mempunyai kekurangan fisik, namun daya ingat dan daya pikir otaknya jauh diatas rata-rata orang lain.
Setelah malam, Cio San memutuskan untuk melatih ilmu pernafasannya yang sudah tertinggal jauh dari kawan-kawan seperguruan. Memang ia sangat terlambat, namun itu semua bukan karena kekurangpahamannya, melainkan karena organ-organ dalam tubuhnya yang bekerja kurang sempurna sehingga latihan-latihan itu gagal semua.Cio San pun mengerti dan paham hal ini. Ia sampai pada kesimpulan bahwa mungkin saja cara latihan yang diajarkan di Bu Tong-pay ini ditujukan kepada mereka yang memiliki organ-organ sehat dan normal, sehingga tidak cocok bagi orang yang seperti dia.Kesimpulan Cio San ini sebenarnya sungguhlah tepat. Karena pada dasarnya, ilmu silat itu harus dicocokkan dengan kemampuan fisik seseorang. Jika seseorang yang fisiknya tinggi, maka ada ilmu silat khusus yang membuat orang itu mampu memaksimalkan kelebihan fisiknya. Begitu juga jika orang itu pendek, atau kekar, dan lain-lain. Selalu ada ilmu silat yang lebih cocok bagi keadaan orang tersebut.Hal inilah yang melahirkan berbagai
Setelah beristirahat beberapa lama, Beng Liong pamit karena waktu istirahat sudah akan habis. Mereka berpisah, dan Beng Liong berjanji untuk sering mengunjungi Cio San. Begitu menuruni gunung, terlihat gerakan Beng Liong sangat lincah dan cepat sekali.“Wah, Liong-heng ternyata semakin hebat saja. Rupanya ia sudah mulai mempelajari ilmu meringankan tubuh Bu Tong-pay,” kata Cio San dalam hati.Hari berganti hari, Cio San terus berlatih silat Bu Tong-pay. Namun sambil berlatih silat, otaknya terus-mengingat-ingat tulisan yang ia pelajari dari dalam buku. Pada awalnya, nafasnya terengah-engah dan cepat merasa letih. Tapi ia terus memaksakan diri. Sedikit demi sedikit, rasa terengah-engah itu hilang, bahkan terasa ada kekuatan baru yang muncul perlahan-lahan.Cio San tidak pernah menyangka bahwa saat ia berlatih silat sambil mengingat-ingat tulisan di dalam buku itu, sebenarnya ia telah berhasil menggabungkan ilmu silat Bu Tong-pay dan pengetahuan tentang tubuh manusia.Saat ilmu Bu Tong-
Cio San terus berlatih dengan giat. Rasa lemas dan letih yang dahulu sering dirasakannya setiap kali berlatih silat, kini telah menghilang seluruhnya. Tubuhnya selalu terasa segar. Apalagi ketika selesai berlatih, ia malah semakin merasa bugar. Sudah hampir sebulan ia berada di atas gunung ini, tidak terasa ilmu silatnya maju pesat seperti orang yang telah berlatih silat selama 5 tahun.Ia mengingat seluruh teori silat dan pernafasan yang diajarkan oleh gurunya. Walaupun hanya di tingkatan rendah, teori itu ia gabungkan dengan pengetahuan dari buku yang diberikan A Liang. Hasilnya, ia seperti menciptakan ilmu baru. Ada terasa gaya Bu Tong-pay dalam ilmu itu, tapi juga terasa berbeda karena sudah ia gabungkan dengan teori lain.Ada rasa riang yang timbul karena tidak lagi ada rasa lemas dan letih. Cio San sudah hampir sembuh seluruhnya dari penyakit yang dideritanya sejak kecil. Memang rasa sakit kepala dan denyut jantung yang berdetak cepat, kadang-kadang masih menyerangnya. Namun jik
Petikan khim dari puncak gunung terdengar semakin indah dari hari ke hari. Cio San nampaknya memang memiliki bakat yang besar dalam bermain khim. Bosan memainkan lagu yang diajarkan A Liang, ia malah menciptakan lagu sendiri. Sudah ada 2 lagu yang ia ciptakan. Indah sekali. Walaupun nadanya tidak begitu rumit, namun justru karena kesederhanaan itulah lagu-lagu itu terdengar lebih indah.Kadang-kadang petikannya terdengar riang, terkadang terdengar syahdu. Kadang juga terdengar sedih dan menyayat hati. Begitu besar bakat Cio San dalam bermain khim sehingga dalam beberapa hari saja permainannya sudah mencapai tahap ini. Seandainya bakat silatnya sebesar ini, tentunya ia sudah jauh lebih hebat dari Beng Liong, sang murid paling berbakat dari Bu Tong-pay.Hanya 2 bulan dia di puncak Bu Tong-san, kemajuan dirinya sudah sangat mengherankan. Kepandaian silatnya sudah maju pesat. Tubuhnya bertambah sehat dan kuat. Dia pun memiliki kepandaian memasak. Juga membuat obat-obatan.Telah pula pandai
“Wah, apa lagi, Lopek? Kalau dihitung-hitung, dengan barang-barang pemberian Lopek ini, sudah cukup untuk modal buka toko. Hihihi…,” canda Cio San.“Ah, bisa saja kau. Aku membawa ini.” Sambil berkata begitu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam bungkusan. Sebuah guci dari bahan porselen. Ia lalu membuka tutup guci itu dan menghirup udara yang keluar dari dalamnya.“Hmmm, bukankah itu arak Kim Lin dari daerah Nanking?” kata Cio San.“Hey, kau tahu juga tentang arak, Cio San?”“Kalau perkara arak, sejak kecil teecu sudah paham. Ayahanda teecu adalah pecinta arak. Tapi beliau minum bukan untuk mabuk, melainkan untuk dinikmati cita rasanya. Beliau memperkenalkan teecu kepada berbagai macam arak. Hingga dari baunya saja, teecu sudah tahu arak apa itu.”“Heh? Wah, hebat juga kau,” A Liang berkata sambil geleng-geleng kepala. Dalam hatinya dia kagum juga dengan bakat dan kecerdasan Cio San. Tapi memang tidak mengherankan. Ayah Cio San adalah sastrawan terkemuka. Kecerdasan ini pasti saja menu
Setelah selesai minum arak, mereka bercakap-cakap tentang dunia Kang Ouw. A Liang yang walaupun tidak pernah berkecimpung dalam dunia Kang Ouw dan belajar ilmu silat, rupanya memiliki banyak cerita menarik. Ini wajar, karena ia telah puluhan tahun hidup di Bu Tong-pay. Segala sesuatu yang terjadi di dunia Kang Ouw tentu menjadi bahan pembicaraan di Bu Tong-pay.“Lopek, menurut Lopek, siapakah yang paling hebat di dunia Kang Ouw?”“Sebenarnya tidak ada yang bisa dibilang paling hebat, karena masing-masing orang punya kehebatannya sendiri. Tetua-tetua jaman dulu adalah orang-orang yang hebat. Masing-masing hebat di masanya. Kwee-tayhiap, Yo-tayhiap. Di jamanku dulu, yang paling hebat adalah Thio Sam Hong-thaysuhu. Ilmu silat dan tenaga dalamnya, serta pengetahuannya yang luas tidak ada bandingannya. Cucu murid beliau, yang bernama ...., ah.., kita tidak boleh menyebut namanya, adalah yang paling berbakat. Di usianya yang semuda itu, dia adalah pesilat yang paling hebat. Namun ia pergi m
“Teecu sempat mendengar sekilas dari Suhu, bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia Kang Ouw, ternyata memang benar-benar ada.”“Di dunia ini banyak sekali kitab sakti yang menjadi rebutan dunia Kang Ouw. Mulai dari kitab ‘9 Matahari’ dan ‘9 Bulan’ yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam golok, atau juga kitab ‘Pedang Sakti’ yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia Kang Ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama,” ujar A Liang.“Teecu akan mengingat baik-baik pesan Lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat. Rasa letih dan lemas yang dulu biasa teecu rasakan, semakin menghilang.”“Bagaimana bis
Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Bu Tong-san ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.Suatu saat ketika bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori-teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.Tak terasa, Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikiran dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat, kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum a