“Teecu sempat mendengar sekilas dari Suhu, bahwa memang ada kitab semacam itu. Teecu pikir itu hanya kabar legenda di dunia Kang Ouw, ternyata memang benar-benar ada.”“Di dunia ini banyak sekali kitab sakti yang menjadi rebutan dunia Kang Ouw. Mulai dari kitab ‘9 Matahari’ dan ‘9 Bulan’ yang katanya pernah tersimpan di dalam perut kera dan di dalam golok, atau juga kitab ‘Pedang Sakti’ yang membuat pemakainya berubah dari laki-laki menjadi perempuan, dan masih banyak lagi. Pesanku padamu, kau tidak usah ikut-ikutan mencari-cari kitab-kitab semacam itu. Hanya akan membuat dunia Kang Ouw kacau balau. Hiduplah biasa-biasa saja. Gunakan ilmu silatmu untuk kebaikan. Menolong sesama,” ujar A Liang.“Teecu akan mengingat baik-baik pesan Lopek. Memang teecu sendiri juga tidak terlalu berminat dengan ilmu silat. Hanya saja ketika teecu berlatih silat akhir-akhir ini, teecu merasa tubuh teecu semakin sehat. Rasa letih dan lemas yang dulu biasa teecu rasakan, semakin menghilang.”“Bagaimana bis
Cio San rasa-rasanya sangat menikmati keberadaannya di puncak Bu Tong-san ini. Pemandangannya indah sekali. Udara yang sangat segar membuatnya semangat berlatih dan belajar. Malah ia sudah mulai mengembangkan ilmu baru lagi.Suatu saat ketika bermain khim, ia mengingat semua ajaran pemainan khim dari A Liang. Ingatan tentang permainan khim ini secara tidak sengaja muncul pada saat ia berlatih silat. Bukan gerakan tangan dalam bermain khim yang diingatnya, melainkan teori-teori bermain khim. Seperti bagaimana mengalunkan perasaan, dan lain-lain.Tak terasa, Cio San bersilat sambil mengingat perasaan itu. Pikiran dan perasaannya seperti bermain khim, namun tubuhnya bersilat. Sambil bersilat, kadang ia menangis, kadang ia tertawa, kadang ia riang gembira. Jika ada orang yang melihatnya, Cio San mungkin akan dianggap gila. Lama sekali Cio San bersilat seperti itu. Tak terasa sudah berapa jurus yang disilatkannya.Sampai akhirnya ia berhenti sendiri. Cio San berdiri dengan diam. Ia kagum a
Mereka semua berlari ke atas. Yo Ang dan Oey Tang Wan berada paling depan karena ilmu meringankan tubuhnya paling hebat. Kemudian diikuti beberapa murid lain. Cio San merasa heran ternyata ia bisa mengikuti kecepatan murid-murid yang lebih tinggi tingkatannya dari dirinya sendiri.A Liang sendiri agak tertinggal di belakang sehingga Cio San harus memperlambat larinya untuk bisa bersama dengan A Liang.Sesampai di puncak gunung, terlihatlah pemandangan yang mengerikan. Sebuah tubuh terpisah dari kepalanya. Letaknya persis di depan gubuk. Masih belum ketahuan siapa pemilik tubuh nahas itu.Ketika didekati, jelaslah sudah. Itu tubuh Tan Hoat!Semua berteriak penuh kekagetan. Cio San yang baru tersadar atas apa yang terjadi danmayat siapa itu, langsung jatuh lunglai dan menangis. Gihu sekaligus suhunya itu memang sangat disayanginya. Ia menangis dan meratap. Memanggil-manggil nama gihunya.“Suhu... Suhu....” Hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bersama air mata yang mengalir deras di
Cio San yang kebingungan menerima serangan ini, sudah hampir pasrah dengan nasibnya. Tak disangka, A Liang menariknya dan membawanya terbang. Gerakannya ini sangat cepat sehingga membuat semua yang ada di situ terkesima.Mereka berdua lalu melarikan diri menuruni lereng gunung.“Ayo kejar!” terdengar perintah Oey Tan Wang. Mereka semua lari mengejar kedua orang itu. Gerak A Liang ternyata cepat sekali. Tak ada seorang pun yang menyangkanya. Ia bagai terbang menuruni tebing-tebing gunung yang terjal itu.Pengejaran berlangsung terus. Cio San bahkan kini sudah digendong di pundak A Liang. Ia mendengar A Liang berkata, “Percayalah padaku, Cio San...”Cio San pun memang ingin sekali percaya kepada A Liang. Saat kejadian tadi di atas tebing, otaknya pun berpikir. Apakah A Liang yang melakukan semua itu? Membunuh suhunya, Tan Hoat, dengan cara yang kejam, lalu mengajaknya lari turun gunung sebelum ‘tertangkap’ rombongan murid Bu Tong-pay yang naik ke atas?Melihat kenyataan bahwa ternyata A
“Aku bisa mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenagaku, Cio San. Awas, kau jangan sampai terkena,” kata A Liang. Setelah Cio San mengambil posisi yang aman, baru A Liang mengeluarkan jarum itu dengan dorongan tenaganya sendiri.Kenapa tidak sejak tadi saja, A Liang mengeluarkan jarum itu dengan cara ini? Hal itu dikarenakan, ia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk berlari laksana terbang. Di dunia ini, mungkin hanya A Liang yang bisa berlari seperti tadi. Dan itu membutuhkan pengerahan tenaga yang besar. Ditambah lagi, ia harus menggunakan chi untuk melindungi dirinya supaya racun itu tidak menyebar luas.Jika A Liang masih berumur 40 atau 50 tahun, mungkin perjuangannya menggunakan chi seperti itu akan sangat gampang. Tetapi dia kini sudah berusia 70 tahunan. Ahli silat manapun pasti akan mengalami penurunan tenaga. Apalagi mungkin selama puluhan tahun ini, A Liang tidak pernah melatih atau menjaga chi-nya.Cio San yang mengetahui banyak tentang penyembuhan dan obat-obatan, b
Setelah beristirahat beberapa menit lamanya, A Liang sudah merasa enakan.“Hebat juga obatmu, Cio San. Kau bisa membuka usaha pertabiban jika tua nanti,” katanya sambil tertawa.“Nah, sekarang kita jalan lagi, dan dengarkan aku bercerita dari awal.”“Biarlah Lopek teecu gendong saja,” pinta Cio San.Mengetahui bahwa tubuhnya memang sudah tidak begitu kuat lagi, A Liang menurut saja. Sambil digendong, A Liang mulai bercerita,“Tadi pagi Tan Hoat pulang setelah menunaikan tugas perguruan. Ia bertanya tentang Lau-ciangbunjin. Tapi kujawab Ciangbunjin sedang sakit.”“Sakit? Apakah parah?” tanya Cio San kaget.“Parah sekali. Para Tianglo bahkan berkata beliau keracunan. Mungkin ada yang menyusupkan racun ke dalam makanan beliau.”“Ahhhhh....” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Cio San.A Liang melanjutkan, “Tapi memang dia tidak mencari Ciangbunjin. Ia sebenarnya mencariku.”“Kenapa mencari Lopek?”“Karena kabar yang dibawanya, berhubungan dengan aku dan kau,” jawab A Liang.Cio San bar
“Aku lalu bersumpah untuk tidak lagi menggunakan ilmu silatku, dan sepenuhnya mengabdi kepada Bu Tong-pay. Tapi aku tidak ingin menjadi murid Bu Tong-pay, karena itu bukan merupakan perjanjianku dengan beliau. Melihat pengorbananku seperti itu, beliau memberikan pujian dan kekaguman.”“Maka untuk melindungiku dari dendam, atas banyaknya korban yang terbunuh karena kesombonganku menantang semua ahli silat nomer satu, beliau memutuskan untuk ‘mematikan’ Kam Ki Hiang. Sejak saat itu, tersiar kabar bahwa Kam Ki Hiang sudah mati, dan kuburannya berada di Bu Tong-pay.”“Saat mendengar aku sudah mati, banyak tokoh silat yang punya dendam terhadapku naik ke Bu Tong-san untuk menanyakan langsung kepada Thio-thaysuhu, apakah aku benar telah mati. Mereka tahu bahwa Thio-thaysuhu tak akan berbohong dan kata-katanya adalah emas.”“Thio-thaysuhu tidak pernah berbohong sedikitpun, saat beliau berkata bahwa Kam Ki Hiang sudah mati. Memang, sebenarnya Kam Ki Hiang yang sombong dengan silatnya itu suda
Ketika ia tersadar, semua masih terlihat gelap. Cio San tak tahu kini berada di mana. Ia menunggu sebentar agar kesadarannya pulih sempurna. Tubuhnya terasa sakit semua. Ia berdiam diri lama sekali. Mencoba mengalirkan chi ke seluruh tubuhnya. Lama-lama tubuhnya mulai terasa segar. Perlahan-lahan kesadarannya pulih seluruhnya. Cio San kini sadar bahwa separuh tubuhnya terendam di dalam air. Kiranya dia kini berada di tepian sungai. Tapi mengapa semuanya gelap. Apakah ia kini telah menjadi buta? Ia menjadi panik, namun berusaha untuk tetap tenang. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan apakah ia benar-benar buta.Tak sengaja ternyata ia melihat titik cahaya tak jauh dari tempatnya berbaring. Ia lalu menuju ke titik itu dengan cara merangkak. Seluruhnya sangat gelap sehingga ia harus berhati-hati. Apalagi pijakannya sangat licin karena berupa batu-batuan dan air sungai.Akhirnya ia berhasil juga mencapai sumber titik cahaya itu. Ternyata aliran sungai keluar lewat situ. Titik cahaya