Aku tidak pernah membalas email Andrea. Panggilan teleponnya pun tidak pernah kuangkat, dia pasti sekarang mengerti bahwa aku masih belum sanggup bicara dengannya. Pengacaraku bilang dia sudah menerima dokumen perceraian enam bulan lalu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan darinya.
Diam-diam aku berharap Andrea akan memperlambat prosesnya, walaupun aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah secara resmi, dan akan tiba hari di mana aku bisa menatap matanya dan berbicara.
Tanpa sadar aku menjelajahi Facebook dan mencari berita tentang Adelina Surya lagi. Kali ini aku melihat akun media sosialnya sudah aktif. Adelina tampak bahagia tinggal di London dengan anaknya. Di foto profilnya tampak ia dan Ronan, anaknya, serta Andrea berfoto dengan latar belakang London Eye. Sangat banyak komentar di fotonya yang mendoakan kebahagian keluarga kecil itu.
"Wahh...akhirnya kamu bikin akun FB juga. Ini Adelina dan Andrea yang dari SMA 7 kan? Apa kabar? Sekarang tinggal di London semua ya?
"Wahh… relationship goals banget deh kalian ini, nggak nyangka pacaran dari umur 16 tahun bisa awet sampai sekarang. Anak kalian cakep banget deh."
"Wah, sudah lama nggak dapat kabar kalian. Kabarin dong kalau mudik ke Indonesia, biar kita ngupi-ngupi".
Aku mengerti kenapa Adelina menghilang dan menutup diri selama ini dari teman-teman sekolahnya dulu. Dia tentu tidak ingin mereka tahu apa yang terjadi 8 tahun lalu. Ia menanggung semua rasa malu dan sakit itu sendirian. Andrea pun tidak tahu hingga tahun lalu. Kini setelah Andrea kembali ke sisinya, Adelina akhirnya bisa kembali mengangkat wajah dan menghadapi dunia.
Aku sungguh mengerti dan kasihan kepadanya, aku juga kasihan kepada Andrea, dan aku cukup tahu diri untuk tidak menjadi penghalang kebahagiaan mereka.
Membaca itu semua aku hanya bisa menangis tersedu-sedu dengan membenamkan wajah ke dua telapak tanganku. Aku dulu sering disebut teman-teman sekolahku "the girl who has everything", tetapi saat ini aku merasa sebagai orang paling miskin di dunia.
***
Buku keduaku, Dear Sophia, kembali mendapat pujian dan laku di pasaran. Romantisme zaman perang sangat jarang dikupas di ranah sastra Indonesia dan banyak kritikus yang menganggap novelku membawa angin segar. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, orang-orang mulai mengenaliku di jalan sebagai seorang penulis. Aku cukup terkejut ketika sedang berjalan kaki di Central Park pada suatu sore, serombongan turis Indonesia menyapaku dengan antusias.
"Mbak Ludwina Baskara ya? Sedang mencari inspirasi untuk buku ya, Mbak? Berikutnya Mbak mau nulis novel tentang apa nih?" tanya mereka berebutan.
Aku tertegun karena tidak menyangka di New York yang begini luas ada orang Indonesia yang mengenaliku.
"Eh...kok tahu ini saya?" tanyaku keheranan.
"Lah, tadi kan posting di instagram kalo Mbak Ludwina lagi nyari inspirasi di Central Park." jawab salah seorang di antaranya. Dia membuka instagram di ponselnya dan menunjukkannya kepadaku. "Mbak keren banget deh, tahu-tahu di Belanda, terus di Spanyol, di Jepang, dan sekarang udah di Amerika aja..."
Aha. Aku baru sadar bahwa social media manager-ku senantiasa mengupdate kabarku di berbagai media. Penerbitku yang mempekerjakannya sebagai bagian dari kampanye marketing peluncuran buku keduaku. Aku sudah lama tidak menyentuh media sosial sejak menikah dengan Andrea.
Sebagai pakar internet security dia membuatku sadar betapa berbahayanya membiarkan data pribadiku disimpan oleh perusahaan teknologi, aku sampai lupa bahwa ada akun instagram atas namaku di luar sana.
"Saya nggak lagi nyari inspirasi untuk buku," jawabku ramah, "cuma lagi kangen New York aja. Dulu saya kuliah di Columbia University."
"Ohh...keren banget."
Setelah foto bersama dan aku memberi mereka tanda tangan, rombongan itu pun berlalu dengan ceria. Akhirnya aku menjadi terkenal sebagai penulis. Aku pikir aku akan bahagia, ketika cita-citaku sejak kecil berhasil dicapai, tetapi nyatanya tidak demikian. Aku tetap merasa miskin dan sedih.
Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali aku melihat Andrea. Sudah banyak yang terjadi dalam hidup dan karierku. I did think things will get better over time, tapi entah kenapa hatiku tidak juga pulih.
Sebuah email masuk ke ponselku dari Andrea. Hm... ini kan bukan hari Minggu?
"I am invited to speak in a cyber security conference in Bali next month. Would you like to see me?"
(Aku diundang ke konferensi cyber security di Bali bulan depan. Apakah kamu mau ketemu?)
Oh..
Aku ingat 6 bulan lalu Andrea juga minta izin untuk pulang ke Indonesia dan menemuiku. Akhirnya ia sudah bisa ambil cuti. Seperti biasa, aku tidak membalas emailnya dan ia mengerti bahwa aku masih belum mau bertemu.
Aku terharu karena sampai hari ini Andrea tidak berubah, ia menghormati keinginanku dan selalu meminta consent saat ia hendak masuk dalam wilayah privasiku. Aku tidak usah takut ia tiba-tiba akan muncul di depanku saat aku berjalan-jalan di Central Park seperti ini.
Kalau dulu ia menanyakan apakah aku mau bertemu dengannya, kini dia memberi tahu bahwa ia akan di Bali bulan depan. Terlepas dari apakah aku mau menemuinya atau tidak, Andrea tetap akan terbang ke Indonesia. Ini membuat hatiku gelisah.
Would I like to see him? Of course, in a heartbeat.
Should I see him? Could I see him?
Those are the million dollar questions.
Akhirnya aku memutuskan membalas emailnya.
Aku sudah terkenal pelupa sejak masih kecil. Tidak terhitungberapa puluh kali aku kehilangan dompet, handphone, tas dan bahkan paspor. Namun aku tidak pernah lupa saat pertama kali bertemu Andrea di bandara 6 tahun yang lalu. Waktu itu aku seperti burung, selalu terbang kesana kemari dengan alasan mencari inspirasi menulis. Aku juga tidak mengerti kenapa aku selalu merasa gelisah jika berdiam di suatu tempat lebih dari dua bulan.Mungkin karena saat itu aku belum menemukan "rumahku". Setelah menikah dengan Andrea rasa gelisah itu hilang, diganti dengan rasa nyaman dan cepat puas. Duduk mengetik di balkon apartemen kami setiap sore sambil menunggu Andrea pulang kerja rasanya sangat menentramkan.Kadang-kadang kami makan di luar dan mengo
Aku mula-mula diundang panitia UWRF untuk berbicara karena novel Tasi, tetapi kemudian novel baruku terbit dan Genta Publishing ingin menggunakannya sebagai ajang promosi juga. Aku tak menyangka banyak sekali peserta yang memadati sesiku di hari kedua UWRF.Mbak Ria dari penerbit memberitahuku bahwa stok buku yang kami bawa juga sudah habis, sungguh di luar dugaan. Tahun lalu waktu aku menghadiri acara ini, aku masih bukan siapa-siapa."Saya suka baca novel Mbak Ludwina, karena selain idenya segar, saya bener-bener bisa masuk ke dunia yang Mbak sampaikan, karakter-karakternya jugabelievablebanget. Novel Tasi bikin saya tertarik untuk baca sejarah Indonesia. Dear Sophia juga sangat penuh dengan
Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...
OKTOBER 2012Andrea belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kaki di bandara. Hari ini ia harus terbang ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional. Bandara sekarang cukup banyak berubah dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali ke sini.Ia masih ingat peristiwa tiga tahun lalu itu. Ia tidak tahu pasti jadwal penerbangan Adelina, yang jelas ia akan terbang ke London malam itu. Andrea sudah memeriksa semua jadwal penerbangan yang masuk akal dan memutuskan untuk datang lebih awal.
Adelina balas mencium Andrea dengan penuh cinta, dan semua kekuatiran yang selama ini menggelayuti hati mereka tentang masa depan perlahan sirna. Andrea dan Adelina hanya memikirkan rencana pernikahan diam-diam mereka di Singapura tiga bulan lagi dan rasanya semesta turut berbahagia dengan keberanian sepasang pemuda itu mengambilkeputusan."Kita harus merayakan pertunangan kita!" Adelina mengeluarkan sebotol red wine dari tasnya dan menaruh di meja makan bersama makan malam yang telah siap dimasak."I cannot wait to spend the rest of my life with you."Malam itu adalah malam paling membahagiakan dalam hidup Andrea. Mereka merayakan cinta mereka yang sudah tumbuh sejak mereka berusia 16 tahun, d
Andrea membalikkan badan setelah memastikan gate penerbangannya di layar dan tidak menyadari seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala tepat menabrak dadanya.Gadis itu mungil sekali, hanya setinggi bahunya, dan karena dorongan tubuh Andrea yang besar ia pun terpelanting jatuh. Andrea kaget sekali dan buru-buru membantunya berdiri."Maafkan saya, saya tidak sengaja... Sini saya bantu berdiri.""Nggak usaaaahh... gue bisa sendiri!!" Gadis itu galak sekali menepis tangan Andrea. Akhirnya Andrea hanya bisa mengangkat bahu dan berlalu. Gadis itu mencoba berdiri tetapi ternyata hak stiletto-nya copot sebelah dan ia jatuh kembali. Ia meringis sambil memijit kaki kanannya yang terkilir, "Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!"Beberapa orang tampak mencoba membantunya tetapi dengan keras kepala ia mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Andrea berbalik lalu sambil geleng-geleng kepala menggendong gadis itu ke bangku terdekat, lalu
Mereka terpaksa harus menunggu setengah jam. Teh dan kue-kue disajikan sambil mereka menunggu, dan kepala bandara asyik mengobrol dengan Ludwina tentang perjalanannya."Aku baru pulang dari Hong Kong, Oom. Ayah membuka hotel baru di Kowloon, jadi aku mau sekalian coba menginap di sana dan mencari inspirasi menulis. Oom punya koran kompas hari sabtu kemarin nggak?""Ada. Kenapa?""Artikel perjalananku ke Italia sudah terbit...ahahaha... aku senang banget. Susah lho menulisnya."Andrea mengambil koran Kompas yang dimaksud dari tumpukan koran di atas meja lalu membuka-buka halamannya sambil mendengarkan obrolan kedua orang itu. Ia menemukan artikel yang dimaksud Ludwina, ia lalu membacanya."Ini dokumen yang bapak minta," kata sekretaris yang baru datang dengan setumpuk dokumen. Kepala bandara akhirnya segera mengambil satu formulir dan mengisi beberapa data dan memberi cap, lalu menyerahkannya kepada Ludwina."OK, sudah beres, kalian serahkan
"Nggak usah, Pak. Harusnya saya wawancara kerja besok pagi di Middle Road. Nggak akan keburu."Semua orang di meja makan saling pandang. Ludwina menekap mulutnya dengan kaget."Wahh.. maaf, kamu jadi nggak bisa datang wawancara kerja...""Nggak apa-apa, serius. It's just a job interview. Nanti juga ada lagi." Memang Andrea tidak terlalu kuatir. Ada beberapa perusahaan yang sedang mendekatinya untuk bekerja bagi mereka.Keinginannya bekerja di Singapura tidak terlalu besar karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya. Apalagi Singapura mengingatkannya akan rencana pernikahannya yang gagal 3 tahun lalu."Kamu kirim resume ke sini, deh. Nanti saya carikan posisi yang sesuai untuk kamu." kata Pak Kurniawan kemudian. Andrea menggeleng-geleng sambil tertawa ringan."Serius, nggak apa-apa, Pak. Buat saya yang lebih penting adalah memastikan kalau Ludwina nggak kenapa-kenapa. Saya sangat takut kalau melukai anak Bapak."Ludwina tampak mengangkat wajah dan mengangguk-angguk. "Betul sekali. Laki-la