Beranda / Romansa / Kisah Cinta Ludwina & Andrea / Bab 6 - Pertemuan Di Bali

Share

Bab 6 - Pertemuan Di Bali

Aku sudah terkenal pelupa sejak masih kecil. Tidak terhitung berapa puluh kali aku kehilangan dompet, handphone, tas dan bahkan paspor. Namun aku tidak pernah lupa saat pertama kali bertemu Andrea di bandara 6 tahun yang lalu. Waktu itu aku seperti burung, selalu terbang kesana kemari dengan alasan mencari inspirasi menulis. Aku juga tidak mengerti kenapa aku selalu merasa gelisah jika berdiam di suatu tempat lebih dari dua bulan.

Mungkin karena saat itu aku belum menemukan "rumahku". Setelah menikah dengan Andrea rasa gelisah itu hilang, diganti dengan rasa nyaman dan cepat puas. Duduk mengetik di balkon apartemen kami setiap sore sambil menunggu Andrea pulang kerja rasanya sangat menentramkan.

Kadang-kadang kami makan di luar dan mengobrol tentang apa saja. Bersamanya tak pernah membosankan dan seingatku kami tidak pernah bertengkar. Kami ke Indonesia setiap akhir bulan dan ke Eropa atau Amerika setahun sekali. Kadang-kadang ia harus ikut konferensi di luar negeri atau business trip lainnya dan aku dengan senang hati ikut serta. Bisa dibilang kami hampir selalu bersama.

Ke mana pun kami pergi Andrea selalu dapat membaur sempurna. Di Asia ia terlihat Asia dan di Eropa ia terlihat Eropa. Itulah kelebihan orang keturunan campuran. Badannya tinggi dan hidungnya mancung, tetapi garis wajahnya halus khas orang Asia. Bukannya aku bias ya, tapi Andrea memang tampan sekali dan aku tahu banyak gadis di kantornya yang kecewa ketika ia membawaku ke pesta akhir tahun perusahaan untuk pertama kalinya.

We were so happy, just the two of us.

Saat itu, kalau orang menyuruhku membayangkan di mana aku akan berada 5 atau 10 tahun lagi, aku menjawab bahwa aku akan ada di mana pun Andrea berada, karena bagiku Andrea adalah rumah, tempatku untuk pulang. Aku kehilangan rumah itu sejak setahun yang lalu dan kini, bagai layang-layang putus, aku kembali terbang ke sana ke mari untuk meredakan hatiku yang gelisah.

Sebenarnya aku lelah dan ingin pulang, tetapi kini rumahku sudah tidak ada.

***

Konferensi yang dihadiri Andrea diadakan di Hilton Nusa Dua. Aku sangat bangga saat membaca bio-nya sebagai pembicara di website acara. Andrea sekarang sudah terkenal dan dikagumi banyak orang di industrinya. Aku datang ke Hilton di hari terakhir konferensi, dan setibanya di lobby seketika hatiku menjadi ragu apakah aku mengambil keputusan yang tepat dengan bertemu dengannya hari ini.

Andrea tahu aku diundang menjadi pembicara di UWRF (Ubud Writers and Readers Festival) tahun ini dan ia sengaja menerima undangan untuk menjadi pembicara di cyber security conference di Bali karena ia tahu aku tidak akan sampai hati menghindarinya bila kami sudah berada di pulau yang sama. Jadi aku membalas emailnya untuk bertemu di Hilton setelah ia selesai berbicara.

"Selamat siang, ahh, Ibu Ludwina, apa kabar?" tanya guest relation officer yang melihatku masuk lobby.

Aku kaget karena staf hotel ini juga sepertinya langsung tahu siapa aku. Aku nggak sadar kalau aku sedemikian mudah dikenali.

"Oh, kabar baik." jawabku sambil tersenyum ramah.

"Pak Andrea sudah bilang kalau Ibu akan menyusul datang, jadi kunci sudah disiapkan di reception. Tasnya hanya ini?"

Oh...

Tanpa sadar aku sudah mengikuti gadis itu ke dalam hotel dan masuk ke kamar cantik yang menghadap laut. Di atas meja ada sebotol prosecco dingin dengan pita merah dan vas berisi rangkaian bunga cantik.

"Kalau Ibu ada perlu apa pun, silakan hubungi nomor ini ya. Selamat beristirahat."

Aku mengangguk dan menaruh tasku di dalam lemari. Di dalamnya aku melihat dua kemeja tergantung rapi. Aku terharu dan mengelus keduanya dengan sayang. Keduanya adalah kemeja yang kubelikan untuknya sebelum ia pindah ke London.

Uff...tiba-tiba aku merasa lelah luar biasa. Aku membaringkan tubuh di tempat tidur dan tidak ingat lagi sekelilingku.

Aku terbangun ketika hari sudah pagi. Saat aku membuka mata, pandanganku terbentur pada sepasang mata kecokelatan yang menatapku dari atas.

"Good morning, Sleeping Beauty." Bibirnya menyunggingkan senyum. "You have no idea how badly I wanted to kiss you and wake you up from that peaceful slumber."

(Selamat pagi, Putri tidur yang cantik. Kamu nggak tahu betapa aku sangat ingin menciummu dan membangunkanmu dari tidur pulasmu.)

Oh...

"Tadinya aku pikir kamu cuma took a nap dan akan bangun untuk makan malam, ternyata nggak bangun-bangun sampai pagi. I was worried," katanya lagi . Ia merentangkan tangan dan memelukku, mendaratkan ciuman lembutnya di bibirku. "Kamu kan nggak pernah jetlag, kok bisa sampai sini bawaannya tidur segitu lama?"

Aku menggeleng pelan. "Bukan jetlag, kayaknya aku sleep deprived atau apa. Sudah lama tidurku ngaco." jawabku.

Ia terdiam beberapa lama, kemudian mengajakku ke teras untuk sarapan. Sarapan diantar ke kamar dan kami menikmatinya sambil memandang pantai dan deburan ombak cantik yang menyapu daratan berpasir putih.

"Kamu kok kurus banget?" tanya Andrea saat sarapan. "Ayo makannya nambah."

Aku menggeleng-geleng, "Nggak ah, ini sudah banyak."

Andrea mengajakku jalan-jalan di pantai setelah sarapan. Tangannya tak pernah lepas dari tanganku, seolah ia takut aku akan menghilang kalau ia tak memegangku baik-baik.

"Sayang kemarin kamu langsung tidur, padahal aku sudah siapin prosecco." katanya saat membentangkan kain bali di atas pasir dan menaruh tas kertas berisi wine dan buah-buahan di atasnya.

Aku terkesiap melihat wine yang dibawanya. "Ini belum jam 12, lho... Masa minum sekarang?"

"Anniversary kita kan kemarin," jawab Andrea ringan. "This wine is long overdue."

Ia membuka botolnya dan minum sedikit, lalu menyerahkannya kepadaku. Aku tersenyum sambil mengangguk dan meminum seteguk.

Kami bergantian minum dari botol sedikit-sedikit tanpa banyak bicara. Aku merasa ada banyak yang ingin dikatakan Andrea tetapi ia menahan diri dan tidak mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya.

"Thank you for making me the happiest man in the world five years ago." akhirnya ia angkat suara. "Meeting you was chance, but staying with you was a choice... and I am so glad you said yes."

(Terima kasih kamu sudah membuatku jadi laki-laki paling bahagia di dunia lima tahun lalu. Aku bersyukur bertemu dengan kamu dan kamu bersedia menghabiskan hidupmu bersamaku.)

Aku mengangguk, tidak sanggup bersuara.

"Aku suka kamu sejak kita ketemu di bandara. Kamu lucu banget waktu itu. Sampai pura-pura mesti dirawat di rumah sakit segala..." Ia melanjutkan. "Aku suka keluargamu yang baik banget, memperlakukanku seperti orang biasa yang nggak ada bedanya sama kalian. Padahal... kita itu jauhnya seperti bumi dan langit. Aku suka betapa kamu itu nggak manja dan menerima apa pun yang aku bisa kasih untuk kamu dengan wajah yang selalu bahagia. Aku suka bahwa kita nggak pernah bertengkar... Dan aku sedih karena setahun terakhir kamu nggak mau ketemu aku."

Aku mencoba tersenyum. "Andre... kamu dulu bilang kan kalau aku ini nggak berbakat menulis, karena aku terlalu bahagia. Aku setuju sama kamu. Terbukti, setahun terakhir aku merasa miserable berpisah dengan kamu dan sekarang aku punya dua bestsellers. Aku sedih waktu tahu bahwa kamu ternyata punya anak dari Adelina, sementara aku bukan tipe perempuan keibuan yang bisa kasih kamu anak. Aku pikir seiring berlalunya waktu, aku akan bisa menerima keadaan, tetapi setelah satu tahun hatiku nggak kunjung sembuh, Ndre. Aku nggak bisa begini terus, aku nggak bisa ngegantung kamu. Kamu berhak bahagia dengan perempuan yang bisa memberikan keluarga yang kamu dambakan. Ronan juga berhak mendapatkan keluarga yang utuh."

Andrea tidak menjawab.

"Kita menikah di Bali, sudah sepantasnya kita berpisah di Bali." kataku kemudian. "Kamu janji bakal bawa dokumen perceraian ke Bali kalau aku datang. Nanti tolong ditandatangani, ya."

I...

would give anything...

anything...

to wipe his tears away.

(Ingin sekali kuhapus air mata suamiku yang menetes ke pipinya.)

"Aku hanya mau jadi ayah yang baik, Wina. Aku mau ada dalam kehidupan Ronan dan mengejar waktu yang hilang bersama dia. Kalau kamu masih nggak mau pindah ke London aku bisa pulang sebulan sekali. Setidaknya sampai dia umur 18 dan bisa ikut kita. He is a good kid. If you liked me, you'd like him."

"Aku nggak bisa menunggu 10 tahun, Andrea. Kita sudah bahagia selama 6 tahun bersama dan sekarang waktu kita sudah habis. Kamu dan Adelina itu pasti jodoh, nama belakang kalian aja artinya sama. Surya artinya matahari, Baskara juga artinya matahari. Kamu pacaran sama dia berapa tahun? Dari umur 16, lho... sampai umur kalian 23 dan hanya berpisah karena orangtuanya... Adelina adalah satu-satunya perempuan yang pernah kamu cintai sebelum kita bertemu, dan sampai sekarang dia masih menunggu kamu." Aku memegang kedua tangan Andrea dan meremasnya lembut. "Terima kasih sudah berbagi hidup denganku selama 6 tahun ini. It was wonderful... You are wonderful..."

Aku melepas tangannya, "Sekarang... aku mau kembalikan kamu ke Adelina dan Ronan."

"Aku tahu kamu keras kepala tapi ini nggak masuk akal, Win. Aku sudah bilang kan kalau aku bisa pulang setiap bulan? Aku juga sudah bilang dari awal, aku cuma ambil kerjaan ini selama dua tahun. Tinggal setahun lagi. Sesudah itu aku bisa bikin perusahaan sendiri atau minta ditransfer kembali ke Asia. Adel juga berencana pulang ke Indonesia untuk meneruskan usaha keluarganya, aku bisa bagi waktu untuk Ronan kalau masalah jarak sudah teratasi. Ini nggak masuk akal, Win."

Melihatku bergeming, Andrea menjadi putus asa.

"Aku nggak bisa meninggalkan Ronan begitu saja, you know that..."

"Selamat tinggal, Andrea."

Aku mencium pipinya yang basah oleh airmata dan melangkah pergi. Aku tak pernah melihat Andrea menangis sebelum ini dan pemandangan di depanku sekarang sungguh mematahkan hati. Aku sedih karena akulah yang menyebabkan keperihannya...

London selalu menjadi no-go place bagiku sejak kepindahan Andrea. Aku nggak mau sampai berpapasan di jalan dengannya, Adelina, atau Ronan. Namun, aku membuat pengecualian 3 hari lalu dalam perjalanan pulang dari New York. Aku sengaja transit 24 jam di London karena aku tahu Andrea pasti sudah berangkat ke Indonesia untuk menghadiri konferensinya.

Aku tiba di malam hari dan menemukan apartemennya di Camden persis seperti yang ia gambarkan di email-emailnya. Passkey-nya juga sama seperti yang ia beri tahu. Saat aku masuk ke dalam, seketika tempat itu terasa familiar. Penataannya mirip dengan apartemen kami di Beach Road, sederhana dan minimalis, dan hanya ada satu foto berbingkai di meja sebelah tempat tidur, foto kami berdua saat bulan madu di Bali.

Aku menangis tersedu-sedu di sana semalaman, dan tertidur dengan memeluk foto itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status