Aku mula-mula diundang panitia UWRF untuk berbicara karena novel Tasi, tetapi kemudian novel baruku terbit dan Genta Publishing ingin menggunakannya sebagai ajang promosi juga. Aku tak menyangka banyak sekali peserta yang memadati sesiku di hari kedua UWRF.
Mbak Ria dari penerbit memberitahuku bahwa stok buku yang kami bawa juga sudah habis, sungguh di luar dugaan. Tahun lalu waktu aku menghadiri acara ini, aku masih bukan siapa-siapa.
"Saya suka baca novel Mbak Ludwina, karena selain idenya segar, saya bener-bener bisa masuk ke dunia yang Mbak sampaikan, karakter-karakternya juga believable banget. Novel Tasi bikin saya tertarik untuk baca sejarah Indonesia. Dear Sophia juga sangat penuh dengan detail, saya dengar Mbak sampai riset ke Belanda segala."
Seorang peserta mulai angkat bicara saat sesi tanya jawab dimulai. "Saya ingin tahu dari mana sih Mbak Ludwina mendapatkan semua inspirasinya?"
"Inspirasi itu..." Aku menaruh tangan di dada dan tersenyum simpul, "...ada di sini".
"Saya baca kalau Mbak sekeluarga dinamai sesuai komponis terbesar dunia, ini unik banget ya. Kakaknya Mbak, dinamai Johann dari Johann Sebastian Bach, dan Wolfgang dari Mozart, Mbak sendiri mendapat namanya dari Beethoven. Can any of you play music?"
Aku menggeleng, "Sayangnya nggak."
Seorang perempuan kemudian berdiri dan mengacungkan tangan untuk bertanya, aku tak sempat mendengar apa pertanyaannya karena aku sudah melihat orang yang duduk di sebelahnya. Seorang perempuan berambut ikal panjang dan berwajah cantik yang tak berhenti menatapku sedari tadi.
Adelina Surya.
Adelina Surya datang ke acaraku!
Oh... seketika keringat dingin membanjiri tubuhku dan dunia serasa tiba-tiba berputar. Semua menjadi gelap.
OK. So, I left out the part where I was diagnosed with PTSD, Post Traumatic Stress Disorder. I have been battling depression ever since the doctor told me I had health issues that I couldn't bear children and, on that same day, coming home to a shocking news that my dear husband had a child with his former girlfriend, it was a traumatic experience. That is why I cannot go to London. I cannot see them. It's not that I don't want to. I can't.
And today she came to see me...
Aku nggak menyalahkan Adelina karena datang mencariku. Kalau aku jadi dia, aku pun ingin melihat sendiri seperti apa perempuan yang menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Walaupun aku nggak aktif di media sosial, tetapi kepopuleran UWRF membuatku mudah dicari. Mungkin ketika dia mengetahui Andrea akan menghadiri konferensi di Bali, dia memutuskan ini akan jadi waktu yang tepat untuk pulang kampung ke Indonesia, dan sekaligus menemuiku.
Aku bertanya-tanya apakah dia hanya berniat melihatku dari jauh atau dia akan mengajakku bicara.
Aku terbangun di rumah sakit dengan Andrea menunggui di sisi tempat tidur. Wajahnya terlihat sangat lelah.
"Wina... akhirnya kamu bangun."
"Aku nggak mau lihat kamu di sini," kataku dengan suara lemah. "Tolong pergilah..."
"Adel minta maaf. Dia tidak bermaksud membuat kamu terkejut, dia hanya ingin melihat kamu dari jauh." Ia menghela nafas panjang, "Aku nggak tahu dia bakal ke Bali."
"Andrea Baskara... aku nggak tahu lagi bagaimana supaya kamu mengerti," aku memejamkan mata menahan perih. Andrea tampak terkejut melihat kekerasan wajahku. Apalagi selama ini aku belum pernah memanggilnya dengan nama lengkap. Aku menatapnya dengan pandangan datar. "I. Don't. Want. To. Be. With. You. Anymore."
"Wina..."
"Aku sudah berusaha mengerti, menerima, dan memaafkan kamu... Suamiku ternyata punya anak dari perempuan lain. Itu sangat menyakitkan. Melihat kamu tuh bikin hatiku sakit... apalagi hari ini aku juga lihat dia... Rasanya hatiku perih sekali. Aku seperti melihat keluarga yang terpisah oleh kehadiranku, dan perasaanku sangat nggak enak. Aku merasa bersalah dan terbeban. Seolah aku adalah penghalang kebahagiaan kalian dan kebahagiaan anak kalian yang seharusnya memiliki orangtua yang bersatu. Perasaan ini bikin aku nggak bahagia dan aku benci diriku sendiri. I want to move on." Aku membuang muka, "Please let me go and sign that divorce papers."
"Wina..."
"Pergiii...!!!" Akhirnya aku menjerit, "Kamu sudah memilih perempuan itu dan anaknya. Aku nggak mau jadi pilihan kedua. Aku nggak suka jadi pihak yang disakiti tetapi justru dibuat seolah aku yang harus merasa bersalah. Aku nggak suka ada di posisi ini. Aku cuma mau bebas lagi dan pergi dari kehidupanmu. Tolong... biarkan aku pergi."
Andrea tampak terpukul. Kemudian tanpa berkata apa-apa ia mengeluarkan dokumen perceraian dari tasnya, menandatanganinya di hadapanku dan meninggalkannya di meja.
"Ternyata... ternyata manusia memang bisa berubah. Kamu berubah sekali selama setahun kita nggak ketemu. Ludwina yang aku kenal orangnya baik hati dan nggak mementingkan diri sendiri... tapi sekarang kamu sangat egois. Tadinya aku pikir kamu hanya perlu waktu, jadi aku kasih kamu waktu selama setahun ini... aku nggak ganggu kamu.
Ternyata aku salah... Kamu nggak kan pernah bisa menerima bahwa aku punya anak, bahwa aku melakukan kesalahan besar di waktu aku kuliah dulu yang menghasilkan Ronan. Kamu tahu betul aku besar tanpa ayah, dan aku sudah bersumpah tidak akan membiarkan anakku mengalami kehidupan sebagai anak haram seperti aku dulu. Kamu tahu betapa aku hanya ingin menjadi ayah yang baik bagi Ronan...."
Ia tampak sangat terluka saat mengucapkan kalimat-kalimat terakhirnya. "Kalau begitu, aku akan ambil barang-barangku dari Singapura dan kamu nggak kan pernah lihat aku lagi..."
Lalu ia pun pergi dari hidupku.
Aku segera minta keluar dari rumah sakit begitu dokter datang. Semula pihak rumah sakit tidak mengizinkan tetapi aku bersikeras, dan setelah kuancam akan menuntut mereka ke pengadilan karena menahan paksa seorang pasien, mereka pun melepasku setelah membuat pernyataan bahwa aku yang memaksa pulang.
Johann dan kedua orangtuaku sangat kecewa ketika aku menerangkan apa yang terjadi kepada mereka. Mereka tahu bahwa aku menderita PTSD dan selama setahun terakhir ini berusaha sangat berhati-hati agar aku tidak tambah terbenam dalam kesedihan.
Mereka mengerti kenapa aku sangat mudah merasa lelah dan selalu ingin tidur, karena setiap hari adalah pergumulan bagiku untuk hidup normal. Aku hanya bisa menulis dan mencurahkan isi hatiku yang gelap ke dalam novel.
Aku bepergian untuk menghibur diri karena tinggal berlama-lama di suatu tempat membuatku sangat gelisah. Setiap kali aku menginjakkan kaki di bandara, hatiku merasa sedikit terhibur. Mereka juga mengira aku akan pulih dan kembali kepada Andrea, sehingga berita tentang perceraian kami membuat mereka sadar bahwa harapan mereka sia-sia.
Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...
OKTOBER 2012Andrea belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kaki di bandara. Hari ini ia harus terbang ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional. Bandara sekarang cukup banyak berubah dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali ke sini.Ia masih ingat peristiwa tiga tahun lalu itu. Ia tidak tahu pasti jadwal penerbangan Adelina, yang jelas ia akan terbang ke London malam itu. Andrea sudah memeriksa semua jadwal penerbangan yang masuk akal dan memutuskan untuk datang lebih awal.
Adelina balas mencium Andrea dengan penuh cinta, dan semua kekuatiran yang selama ini menggelayuti hati mereka tentang masa depan perlahan sirna. Andrea dan Adelina hanya memikirkan rencana pernikahan diam-diam mereka di Singapura tiga bulan lagi dan rasanya semesta turut berbahagia dengan keberanian sepasang pemuda itu mengambilkeputusan."Kita harus merayakan pertunangan kita!" Adelina mengeluarkan sebotol red wine dari tasnya dan menaruh di meja makan bersama makan malam yang telah siap dimasak."I cannot wait to spend the rest of my life with you."Malam itu adalah malam paling membahagiakan dalam hidup Andrea. Mereka merayakan cinta mereka yang sudah tumbuh sejak mereka berusia 16 tahun, d
Andrea membalikkan badan setelah memastikan gate penerbangannya di layar dan tidak menyadari seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala tepat menabrak dadanya.Gadis itu mungil sekali, hanya setinggi bahunya, dan karena dorongan tubuh Andrea yang besar ia pun terpelanting jatuh. Andrea kaget sekali dan buru-buru membantunya berdiri."Maafkan saya, saya tidak sengaja... Sini saya bantu berdiri.""Nggak usaaaahh... gue bisa sendiri!!" Gadis itu galak sekali menepis tangan Andrea. Akhirnya Andrea hanya bisa mengangkat bahu dan berlalu. Gadis itu mencoba berdiri tetapi ternyata hak stiletto-nya copot sebelah dan ia jatuh kembali. Ia meringis sambil memijit kaki kanannya yang terkilir, "Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!"Beberapa orang tampak mencoba membantunya tetapi dengan keras kepala ia mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Andrea berbalik lalu sambil geleng-geleng kepala menggendong gadis itu ke bangku terdekat, lalu
Mereka terpaksa harus menunggu setengah jam. Teh dan kue-kue disajikan sambil mereka menunggu, dan kepala bandara asyik mengobrol dengan Ludwina tentang perjalanannya."Aku baru pulang dari Hong Kong, Oom. Ayah membuka hotel baru di Kowloon, jadi aku mau sekalian coba menginap di sana dan mencari inspirasi menulis. Oom punya koran kompas hari sabtu kemarin nggak?""Ada. Kenapa?""Artikel perjalananku ke Italia sudah terbit...ahahaha... aku senang banget. Susah lho menulisnya."Andrea mengambil koran Kompas yang dimaksud dari tumpukan koran di atas meja lalu membuka-buka halamannya sambil mendengarkan obrolan kedua orang itu. Ia menemukan artikel yang dimaksud Ludwina, ia lalu membacanya."Ini dokumen yang bapak minta," kata sekretaris yang baru datang dengan setumpuk dokumen. Kepala bandara akhirnya segera mengambil satu formulir dan mengisi beberapa data dan memberi cap, lalu menyerahkannya kepada Ludwina."OK, sudah beres, kalian serahkan
"Nggak usah, Pak. Harusnya saya wawancara kerja besok pagi di Middle Road. Nggak akan keburu."Semua orang di meja makan saling pandang. Ludwina menekap mulutnya dengan kaget."Wahh.. maaf, kamu jadi nggak bisa datang wawancara kerja...""Nggak apa-apa, serius. It's just a job interview. Nanti juga ada lagi." Memang Andrea tidak terlalu kuatir. Ada beberapa perusahaan yang sedang mendekatinya untuk bekerja bagi mereka.Keinginannya bekerja di Singapura tidak terlalu besar karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya. Apalagi Singapura mengingatkannya akan rencana pernikahannya yang gagal 3 tahun lalu."Kamu kirim resume ke sini, deh. Nanti saya carikan posisi yang sesuai untuk kamu." kata Pak Kurniawan kemudian. Andrea menggeleng-geleng sambil tertawa ringan."Serius, nggak apa-apa, Pak. Buat saya yang lebih penting adalah memastikan kalau Ludwina nggak kenapa-kenapa. Saya sangat takut kalau melukai anak Bapak."Ludwina tampak mengangkat wajah dan mengangguk-angguk. "Betul sekali. Laki-la
Tiga hari kemudian Andrea mendapat SMS dari Ludwina. Saat itu ia sedang mengerjakan coding sebuah program software keamanan digital baru. Ia berhenti sejenak untuk membaca isi pesannya.[Fisioterapi pertama besok sore di RSCM. Kamu jemput aku ya.]Ia tersenyum simpul dan mengangguk. Andrea tak bisa melanjutkan pekerjaannya. Pikirannya melayang pada gadis imut yang sempat membikin heboh bandara tiga hari lalu.Ia tahu pasti, saat memegang tumit Ludwina bahwa terkilirnya tidak parah. Sekarang seharusnya sudah sembuh sama sekali. Tetapi dia tetap berkeras minta ditemani fisioterapi, pasti hanya alasan untuk bertemu Andrea. Mengingat ini Andrea tersenyum semakin lebar.Baik, mari kita lihat sampai berapa lama kamu bisa berpura-pura terkilir... pikirnya gemas.***Andrea mengantar Ludwina fisioterapi setiap hari Sabtu ke RSCM. Setiap kali mereka datang pandangan para terapis yang aneh sama sekali tidak mengganggu Ludwina yang cuek. Andrea yang sangat yakin Ludwina tidak benar-benar terkilir
Andrea sebenarnya tidak terlalu ingin pindah ke Singapura. Tetapi tawaran pekerjaan di perusahaan IT ini sangat menarik baginya. Ia bisa bereksperimen dengan banyak platform dan mengembangkan berbagai perangkat keamanan digital yang sangat disukainya.Kesempatan seperti itu tidak ada di Indonesia. Ia juga memilih Singapura karena letaknya yang masih dekat dan ia bisa pulang seminggu sekali untuk menjenguk ibunya jika perlu.Wawancara terakhirnya dengan user yang akan menjadi manajernya, berlangsung sangat akrab. Keduanya langsung cocok membahas berbagai trend cyber security yang sedang ada.Joe adalah salah satu dari sedikit orang yang memegang sertifikasi keamanan CISSP, ISSAP, ISSMP, dan CSSLP dan ia menginspirasi Andrea untuk mengikuti jejaknya. Ia memuji Andrea sebagai genius dan berhasil meyakinkannya untuk segera mulai bekerja dan pindah ke Singapura secepatnya.Employment Pass Andrea segera diurus Perusahaan dan ia menerima konfirmasi tepat semingg