Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.
Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...
Jatuh cinta, menikah, dan menjadi penulis bestsellers adalah isi bucketlist-ku yang membutuhkan waktu paling lama untuk dapat terpenuhi. Aku jatuh cinta di umur 24, menikah umur 25 dan menjadi penulis terkenal di usia 30 tahun.
You only live once, but if you do it right... once is enough.
(Kita hidup cuma satu kali. Tetapi kalau kita hidup dengan baik, satu kali sudah cukup.)
Aku selalu suka musim gugur di New York. Aku banyak menyimpan kenangan indah di kota ini sejak masih kuliah. Central Park in autumn is a magical place and now it almost feels like home. Untuk menenangkan diri setelah insiden di UWRF, aku terbang ke New York. Seminggu pertama rasanya berat sekali untuk keluar hotel, tetapi kemudian cuaca cerah dan burung-burung gereja yang bernyanyi dari luar jendela mengundangku untuk melangkahkan kaki ke Central Park.
Ketika aku mengajak Andrea ke Central Park untuk pertama kalinya, cuaca juga cerah seperti ini. Kami duduk beralaskan selimut piknik dan ditemani wine dan beberapa potong pizza 1 dollar New York yang terkenal itu. Aku membaca buku, berusaha mencari inspirasi, dan Andrea melakukan bug testing pada sistem keamanan baru yang akan ia luncurkan.
Setelah bosan membaca buku aku akan membawa sepotong pizza dan memberi makan angsa-angsa di danau dekat situ. Andrea akan menyusul dengan potongan pizza kedua, dan setelah puas melihat angsa-angsa yang kenyang, kami akan berjalan bergandengan tangan ke coffee shop favoritku di Central Park West.
Hari ini, aku tak kuasa menahan tangis saat berjalan sendirian menghampiri danau dan mengeluarkan pizza dari kantong kertas untuk diberikan pada angsa-angsa yang segera menghampiriku.
Bayangan-bayangan kenangan melintas di depan mata dan membuat air mataku menetes pelan-pelan. Aku malu karena aku sepertinya kurang bersyukur. Aku kan sudah jatuh cinta, menikah, dan menjadi penulis terkenal. Sebagian besar keinginanku, baik yang dapat dibeli dengan uang, maupun tidak, sudah terpenuhi. Aku memang belum mengunjungi semua negara di dunia, karena aku tidak punya waktu...
Aku terduduk dan menangis tersedu-sedu dengan membenamkan wajah ke dua telapak tanganku. Banyak orang yang menganggapku sebagai gadis yang memiliki segalanya, tetapi mereka tidak tahu betapa aku merasa bagai orang paling miskin di dunia....
"Ludwinaa..!! Winaa...!!" tiba-tiba terdengar suara memanggil dari kejauhan, "Ludwinaaa..!!"
Aku pasti bermimpi.
Itu suara Andrea.
Aku mengangkat wajah ke arah datangnya suara. Dari balik genangan airmataku aku melihat bayangan seorang laki-laki berlari mendekat. Ia mengenakan jaket abu-abu panjang dan berlari sekuat tenaga ke arahku.
"Winaa..."
Akhirnya pemilik suara tiba di depanku, suaranya terengah-engah dan lelah, "Wina..."
Aku mengenali laki-laki itu. Aku pasti bermimpi. Ini suara Andrea dan aroma Andrea. Ini tubuh Andrea. Tapi kan tidak mungkin ia ada di sini... Andrea tinggal di London.
Ia memelukku kuat sekali.
"I came as soon as I knew..." katanya lirih. Ia memelukku lama sekali. "Visa Amerikaku sudah habis... Aplikasi visa yang baru perlu waktu satu minggu dan aku langsung ke sini dari bandara. Maafkan aku baru bisa datang sekarang.... Maafkan aku..."
Perlu waktu beberapa lama bagiku untuk bisa memproses apa yang terjadi. Ini bukan mimpi.
Andrea memang datang ke sini...
Dan dia sudah tahu...
Aku berusaha melepaskan diri dari rangkulannya tetapi Andrea tidak menyerah. Dia berbisik pelan berulang-ulang dengan suara yang hampir tercekat karena tangis. "Please... please don't tell me to leave... Please, Wina..."
"Aku akhirnya menyerah dan mengikuti keinginanmu untuk bercerai. Sesudah konferensi di Bali aku mampir ke Singapura untuk mengemasi sisa barang-barangku. Kamu sudah lama tidak tinggal di sana dan apartemen kita berdebu sekali. Aku memutuskan untuk bersih-bersih terakhir kalinya... dan aku melihat laporan diagnosis kamu tahun lalu di tempat sampah. Kamu nggak pernah ngasih tahu aku... Aku langsung datang ke rumah sakit dan ketemu dokter kamu, and he told me everything... Aku tahu kamu sudah cari second and third opinions ke beberapa rumah sakit di Amerika. Aku tahu diagnosisnya selalu sama. Aku tahu kamu sengaja menjauhiku dan melakukan segala cara biar aku kembali pada Adel. Kamu sengaja tidak pernah membalas email dan teleponku supaya aku menyerah dan meninggalkan kamu..."
Andrea sudah tahu semuanya....
Aku lupa membuang dokumen dari rumah sakit karena aku tidak mengira Andrea akan datang ke Singapura...
Akhirnya tangisku pecah dan aku tersedu-sedu di dadanya.
"Di hari itu Dokter Chou menunjukkan hasil tesku.. Katanya itu kanker rahim, sudah stadium lanjut. Hatiku hancur..." aku berkata sesenggukan, "Aku bukan hanya nggak bisa kasih kamu anak, tapi aku juga nggak bisa hidup sama kamu sampai tua, seperti rencana kita. I know how heart-broken you would be... Tadinya aku akan kasih tahu kamu sesudah dapat second opinions... tapi kemudian aku nggak tega, Andrea. Jadi aku berusaha menyatukan kamu dan Adelina. Aku sengaja menahan diri ga pernah mau ketemu kamu dan membalas email-email kamu. Aku menunggu kamu pergi selama setahun ini.... Tapi kenapa kamu nggak move on-move on juga....? Kenapa.... ? Harusnya sekarang kamu sudah kembali bersama Adelina dan Ronan dan lupa sama aku..."
Apartemennya di Camden ditata mirip apartemen kami dan passkey-nya sama seperti passkey apartemen kami di Singapura, kapan pun aku siap untuk kembali...rumah itu terbuka untukku. Aku sungguh patah hati saat masuk ke apartemennya dan menyadari bahwa selama setahun ini Andrea menungguku dengan setia di London...
"Kamu berusaha keras mengusir aku dari kehidupanmu, kamu bikin aku berpikir kalau kamu sudah berubah jadi perempuan egois dan tidak mau memaafkan masa laluku, tidak mau menerima Ronan.... Kamu pikir aku nggak kan pernah tahu apa yang terjadi..." Andrea memegang wajahku dengan kedua tangannya dan menatapku dalam-dalam, "And I wouldn't have found out if I didn't come to get my stuff from Singapore... Sekarang aku sudah tahu, dan kamu nggak bisa lari lagi. Kemana pun kamu pergi, aku akan ikut... I promise you, you can't get rid of me this time..."
Aku jatuh cinta di usia 24, menikah di usia 25, divonis kanker stadium lanjut pada usia 29, dan menjadi penulis terkenal pada usia 30. Ada beberapa hal lagi dalam bucketlist-ku yang tidak akan pernah tercapai, seperti mengunjungi semua negara di dunia dan menikmati masa tua dengan kekasih hatiku... simply because I don't have the time... Aku tidak punya waktu.
But looking back, I think I have lived a good life. I think I have done it right.
(Menurutku, aku telah menjalani hidup sebaik mungkin. Kupikir... aku sudah melakukan yang terbaik.)
Aku ingin menghindarkan Andrea dari pedihnya patah hati bila aku meninggal, karena itulah aku merahasiakan penyakitku. Aku berharap kepindahannya ke London akan memberi awal baru baginya dan Adelina sehingga ia akan melupakanku, dan aku pelan-pelan berencana menghilang dari hidupnya.
Aku sudah menerima kenyataan bahwa hidupku tidak lama lagi dan menolak kemoterapi yang hanya akan membuatku bertahan hidup sedikit lebih lama dengan rambut rontok dan penampilan yang jelek. Not worth it.
When I was in my darkest times, I was contemplating suicide. The only reason I didn't do it was because I know how badly it would hurt him and my family...
(Di saat-saat tergelap dalam hidupku, aku sempat terpikir untuk bunuh diri. Aku masih hidup sekarang karena aku tahu, jika aku melakukannya, betapa Andrea dan keluargaku akan sangat terluka...)
"I am sorry for keeping things from you." kataku pelan. (Maaf aku merahasiakannya darimu.)
"I am sorry that you even felt the need to keep things from me... I'll do better." (Maaf aku tidak becus sebagai suami, hingga kau sampai merasa perlu merahasiakannya dariku. Aku berjanji akan menjadi suami yang lebih baik). Andrea mencoba tersenyum dan melonggarkan pelukannya. "Ayo, kasi makan angsanya.. Mereka sudah kelaparan.."
Aku mengangguk lemah, membalas senyumnya sambil menghapus air mataku. "Ah..iya, kita kasih makan berdua, ya.."
"Habis itu ke coffee shop langgananmu..."
"Iya."
"Sesudah itu aku mesti beli baju karena aku ke sini nggak bawa koper."
"Iya."
"Kamu jangan suruh aku pergi lagi."
"Iya, Ndre..."
"Kita hadapi bersama... till death do us part." Sampai maut memisahkan kita.
"Iya... till death do us part," aku mengulang kata-katanya dengan tersenyum, walau airmata kembali membanjiri pipiku.
Kami berjalan bergandengan ke Central Park West setelah puas melihat angsa-angsa yang kenyang.
"Kamu capek? Aku gendong, ya?"
"Nggak usah, ah.... malu dilihat orang."
Dia tidak mengindahkan protesku dan menggendongku di punggungnya, "Orang sakit nggak usah protes."
You only live once, but if you do it right... once is enough.
(Kita hidup cuma satu kali. Tetapi kalau kita hidup dengan baik, satu kali sudah cukup.)
OKTOBER 2012Andrea belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kaki di bandara. Hari ini ia harus terbang ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional. Bandara sekarang cukup banyak berubah dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali ke sini.Ia masih ingat peristiwa tiga tahun lalu itu. Ia tidak tahu pasti jadwal penerbangan Adelina, yang jelas ia akan terbang ke London malam itu. Andrea sudah memeriksa semua jadwal penerbangan yang masuk akal dan memutuskan untuk datang lebih awal.
Adelina balas mencium Andrea dengan penuh cinta, dan semua kekuatiran yang selama ini menggelayuti hati mereka tentang masa depan perlahan sirna. Andrea dan Adelina hanya memikirkan rencana pernikahan diam-diam mereka di Singapura tiga bulan lagi dan rasanya semesta turut berbahagia dengan keberanian sepasang pemuda itu mengambilkeputusan."Kita harus merayakan pertunangan kita!" Adelina mengeluarkan sebotol red wine dari tasnya dan menaruh di meja makan bersama makan malam yang telah siap dimasak."I cannot wait to spend the rest of my life with you."Malam itu adalah malam paling membahagiakan dalam hidup Andrea. Mereka merayakan cinta mereka yang sudah tumbuh sejak mereka berusia 16 tahun, d
Andrea membalikkan badan setelah memastikan gate penerbangannya di layar dan tidak menyadari seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala tepat menabrak dadanya.Gadis itu mungil sekali, hanya setinggi bahunya, dan karena dorongan tubuh Andrea yang besar ia pun terpelanting jatuh. Andrea kaget sekali dan buru-buru membantunya berdiri."Maafkan saya, saya tidak sengaja... Sini saya bantu berdiri.""Nggak usaaaahh... gue bisa sendiri!!" Gadis itu galak sekali menepis tangan Andrea. Akhirnya Andrea hanya bisa mengangkat bahu dan berlalu. Gadis itu mencoba berdiri tetapi ternyata hak stiletto-nya copot sebelah dan ia jatuh kembali. Ia meringis sambil memijit kaki kanannya yang terkilir, "Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!"Beberapa orang tampak mencoba membantunya tetapi dengan keras kepala ia mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Andrea berbalik lalu sambil geleng-geleng kepala menggendong gadis itu ke bangku terdekat, lalu
Mereka terpaksa harus menunggu setengah jam. Teh dan kue-kue disajikan sambil mereka menunggu, dan kepala bandara asyik mengobrol dengan Ludwina tentang perjalanannya."Aku baru pulang dari Hong Kong, Oom. Ayah membuka hotel baru di Kowloon, jadi aku mau sekalian coba menginap di sana dan mencari inspirasi menulis. Oom punya koran kompas hari sabtu kemarin nggak?""Ada. Kenapa?""Artikel perjalananku ke Italia sudah terbit...ahahaha... aku senang banget. Susah lho menulisnya."Andrea mengambil koran Kompas yang dimaksud dari tumpukan koran di atas meja lalu membuka-buka halamannya sambil mendengarkan obrolan kedua orang itu. Ia menemukan artikel yang dimaksud Ludwina, ia lalu membacanya."Ini dokumen yang bapak minta," kata sekretaris yang baru datang dengan setumpuk dokumen. Kepala bandara akhirnya segera mengambil satu formulir dan mengisi beberapa data dan memberi cap, lalu menyerahkannya kepada Ludwina."OK, sudah beres, kalian serahkan
"Nggak usah, Pak. Harusnya saya wawancara kerja besok pagi di Middle Road. Nggak akan keburu."Semua orang di meja makan saling pandang. Ludwina menekap mulutnya dengan kaget."Wahh.. maaf, kamu jadi nggak bisa datang wawancara kerja...""Nggak apa-apa, serius. It's just a job interview. Nanti juga ada lagi." Memang Andrea tidak terlalu kuatir. Ada beberapa perusahaan yang sedang mendekatinya untuk bekerja bagi mereka.Keinginannya bekerja di Singapura tidak terlalu besar karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya. Apalagi Singapura mengingatkannya akan rencana pernikahannya yang gagal 3 tahun lalu."Kamu kirim resume ke sini, deh. Nanti saya carikan posisi yang sesuai untuk kamu." kata Pak Kurniawan kemudian. Andrea menggeleng-geleng sambil tertawa ringan."Serius, nggak apa-apa, Pak. Buat saya yang lebih penting adalah memastikan kalau Ludwina nggak kenapa-kenapa. Saya sangat takut kalau melukai anak Bapak."Ludwina tampak mengangkat wajah dan mengangguk-angguk. "Betul sekali. Laki-la
Tiga hari kemudian Andrea mendapat SMS dari Ludwina. Saat itu ia sedang mengerjakan coding sebuah program software keamanan digital baru. Ia berhenti sejenak untuk membaca isi pesannya.[Fisioterapi pertama besok sore di RSCM. Kamu jemput aku ya.]Ia tersenyum simpul dan mengangguk. Andrea tak bisa melanjutkan pekerjaannya. Pikirannya melayang pada gadis imut yang sempat membikin heboh bandara tiga hari lalu.Ia tahu pasti, saat memegang tumit Ludwina bahwa terkilirnya tidak parah. Sekarang seharusnya sudah sembuh sama sekali. Tetapi dia tetap berkeras minta ditemani fisioterapi, pasti hanya alasan untuk bertemu Andrea. Mengingat ini Andrea tersenyum semakin lebar.Baik, mari kita lihat sampai berapa lama kamu bisa berpura-pura terkilir... pikirnya gemas.***Andrea mengantar Ludwina fisioterapi setiap hari Sabtu ke RSCM. Setiap kali mereka datang pandangan para terapis yang aneh sama sekali tidak mengganggu Ludwina yang cuek. Andrea yang sangat yakin Ludwina tidak benar-benar terkilir
Andrea sebenarnya tidak terlalu ingin pindah ke Singapura. Tetapi tawaran pekerjaan di perusahaan IT ini sangat menarik baginya. Ia bisa bereksperimen dengan banyak platform dan mengembangkan berbagai perangkat keamanan digital yang sangat disukainya.Kesempatan seperti itu tidak ada di Indonesia. Ia juga memilih Singapura karena letaknya yang masih dekat dan ia bisa pulang seminggu sekali untuk menjenguk ibunya jika perlu.Wawancara terakhirnya dengan user yang akan menjadi manajernya, berlangsung sangat akrab. Keduanya langsung cocok membahas berbagai trend cyber security yang sedang ada.Joe adalah salah satu dari sedikit orang yang memegang sertifikasi keamanan CISSP, ISSAP, ISSMP, dan CSSLP dan ia menginspirasi Andrea untuk mengikuti jejaknya. Ia memuji Andrea sebagai genius dan berhasil meyakinkannya untuk segera mulai bekerja dan pindah ke Singapura secepatnya.Employment Pass Andrea segera diurus Perusahaan dan ia menerima konfirmasi tepat semingg
Andrea tidak punya akun di media sosial mana pun. Ia tahu betapa perusahaan-perusahaan teknologi menyimpan data para penggunanya untuk kepentingan bisnis dan ia tidak rela privasinya dilanggar oleh Facebook, Twitter, LinkedIn, Google, dan lain-lain.Tetapi ia bersyukur atas keberadaan para raksasa internet itu karena ia bisa mengikuti berita tentang Ludwina kalau ia sedang memikirkan gadis itu.Ludwina itu sering sekali berpindah tempat, Andrea sampai hampir kesulitan mengikuti jejaknya. Minggu ini ia di Kyoto, dan berikutnya sudah ke Xian, lanjut ke Hong Kong, kemudian mampir di Melbourne.Selama enam bulan Andrea mengikuti foto-fotonya di Instagram, hanya New York yang dikunjungi gadis itu dua kali. Sepertinya kota itu memang memiliki tempat istimewa di hatinya.Ah, Andrea ingat, Ludwina memang dulu kuliah di Columbia University. Tentu ia punya teman-teman semasa kuliah di New York, dibandingkan dengan kota lain di dunia yang hanya dikunjungin
"Aku sayang banget sama kamu, Andrea," bisik Ludwina ke telinga Andrea, "Aku ingin menghabiskan setiap hari mencintaimu."Andrea membantu Ludwina membuka pakaiannya dan dengan sangat hati-hati mencumbu istrinya. Ia sungguh merindukan tubuh Ludwina dan bercinta dengannya. Ia selalu menahan diri setelah mereka berkumpul bersama karena takut membuat Ludwina sakit, tetapi hari ini istrinya yang berinisiatif untuk bercinta dan ia tidak akan mengecewakannya.Mereka bercinta dengan sangat lembut dan menikmati setiap detik kebersamaan itu, jauh lebih syahdu dari biasanya, karena mereka tahu setiap detik mereka bersama adalah sangat berharga.Andrea sangat lega melihat rona wajah kemerah-merahan Ludwina yang diliputi rasa bahagia saat mereka tidur malam itu. Ia berharap dapat membekukan momen itu selamanya.***Bu Inggrid, Pak Kurniawan dan Johann kaget setengah mati ketika akhirnya Andrea memberi tahu mereka tentang penyakit Ludwina. Atas permintaan istrin
Mereka tiba di coffee shop langganan mereka dan barulah Andrea meletakkan Ludwina di kursi. Ia memesan kopi favorit keduanya lalu duduk di samping Ludwina sambil menggenggam tangannya. Ia tak mau melepaskan gadis itu sama sekali. Takkan pernah lagi!"Kamu mau berapa lama di New York?" tanyanya saat mereka sedang menikmati kopinya. "Aku mesti beli baju banyak kalau kita akan lama di sini.""Aku nggak tahu..." jawab Ludwina. "Aku mesti ketemu dokterku untuk konsultasi lagi besok.""Oke, aku ikut ya." kata Andrea cepat.Ludwina mengangguk.Mereka tidak membahas penyakit Ludwina sampai keduanya tiba di hotel. Andrea merasa lebih baik jika ia mendengar langsung dari dokter. Ia tak ingin membuat istrinya stress dengan berbagai pertanyaannya.Setelah memastikan Ludwina beristirahat, Andrea pergi ke toko terdekat dan membeli pakaian. Ia menolak ditemani karena tidak ingin Ludwina menjadi kelelahan. Setelah kembali ke hotel ia memesan makanan dan mer
Karena Ludwina tidak mengangkat ponselnya, Andrea akhirnya menghubungi Johann untuk mencari tahu keberadaan istrinya. Dari Johann ia mengetahui bahwa Ludwina sudah berangkat ke New York. Andrea segera memesan penerbangan ke sana tetapi kemudian ia sadar bahwa visa Amerika yang ada di paspornya baru saja kedaluwarsa.Ia ingat 5 tahun lalu mengajukan visa Amerika karena berniat traveling ke sana bersama Ludwina tetapi mereka malah menikah di Bali dan baru berangkat setahun kemudian. Visa yang diperolehnya valid untuk 5 tahun dan baru berakhir minggu ini.Sungguh mematahkan hati. Ketika akhirnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Ludwina, Andrea tak bisa segera menyusulnya.Andrea buru-buru pulang ke Inggris dan mengajukan visa Amerika lewat kedutaan Amerika Serikat di London. Ia sangat gelisah dan tidak bisa tidur sambil menunggu visanya diproses. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ludwina dengan bekerja, tetapi tidak berhasil."Joe, aku perlu bicar
Sebenarnya Ludwina patah hati saat meninggalkan Andrea di pantai. Ia tak pernah melihat suaminya menangis sebelumnya dan hatinya tercabik-cabik saat ia harus menampilkan wajah dingin dan pergi meninggalkannya begitu saja.Ini demi kebaikan Andrea, berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri.Ludwina segera memintaconciergememesankan taksi untuknya dan kembali ke Hotel Kanawa. Setibanya di sana ia segera masuk ke kamar dan mengurung diri. Tubuhnya merasa sangat lelah dan ia tak mampu bertemu siapa pun. Telepon dari Mbak Ria, editornya, pun harus ia tolak. Ia hanya mengirim SMS bahwa ia akan datang ke sesinya di UWRF besok dan hari ini ia ingin beristirahat dengan tanpa gangguan.***Andrea sebenarnya tergoda untuk datang ke UWRF dan melihat Ludwina lagi. Tetapi setiap mengingat betapa gadis itu masih belum memaafkannya, Andrea merasa sakit dan mengurungkan niatnya. Sepanjang hari ia hanya mencoba menghilangkan ke
Ludwina yang tiba di Hotel Hilton keesokan harinya mengira guest relation officer yang menemuinya juga mengenalinya sama seperti beberapa penggemar yang ia temui di Central Park. Ia mengikuti saja ketika staf itu membawanya ke kamar cantik menghadap laut yang ditinggali Andrea.Ia sebenarnya sudah check in di Hotel Kanawa milik ayahnya, sehingga ke Hilton hanya dengan membawa tas tangannya. Ia ingat bahwa hari ini adalah ulang tahun pernikahannya dengan Andrea. Mungkin ia akan menerima untuk makan malam bersama Andrea terakhir kalinya sebelum meminta dokumen perceraian itu dari suaminya dan mengakhiri pernikahan mereka.Ia melihat bunga dan prosecco dengan pita merah di kamar itu. Hatinya seketika terasa sakit, ia masih ingat dengan jelas malam itu ketika Andrea melamarnya. Ia melihat dua kemeja Andrea yang dibelikannya sebelum suaminya itu berangkat ke London dan pertahanannya runtuh.Ludwina kembali menangis untuk kesekian kalinya. Tadinya ia sudah mampu bersi
Suasana menjadi syahdu dengan hujan rintik-rintik di luar jendela. Andrea lalu mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas serta segelas jus untuk Ronan. Ia menuangkan wine untuk dirinya dan Adelina. Ia menyerahkan gelas berisi wine kepada gadis itu. Adelina menerimanya dengan sepassang mata masih berkaca-kaca."Sore-sore begini pas sekali untuk minum wine. Lumayan bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik." Andrea mendentingkan gelasnya ke gelas Adelina dan meneguk wine-nya. "Minumlah... biar kau merasa baikan."Adelina mengangguk dan menyesap wine-nya. Wajahnya yang suram perlahan-lahan tampak mulai cerah."Wine makes adulting bearable(Wine membuat orang dewasa bisa bertahan hidup)." katanya dengan senyum mulai menghiasi wajahnya. Keduanya tertawa kecil. Andrea mengangguk juga, membenarkan."Aku tahu kamu perempuan kuat, tapi kalau kamu merasa sedang sedih dan ingin berbagi, tempatku dan segelas wine selalu siap menunggu," kata Andrea kemu
SEPTEMBER 2018.Sudah setahun Ludwina dan Andrea berpisah. Andrea sudah mulai menerima kenyataan bahwa mungkin Ludwina tidak akan pernah memaafkannya, tetapi ia sungguh sangat ingin bertemu istrinya satu kali saja, untuk berusaha meyakinkannya...Email dari panitia international cyber security conference di Bali tiba pada suatu pagi. Mereka mengundang Andrea untuk menjadi salah satu pembicara di acara bergengsi itu. Ia sudah dikenal sebagai pakar security terbaik di Asia Pasifik dan panitia sangat bangga bahwa di acara mereka akan hadir seorang pakar dari Indonesia.Tanggalnya bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5. Seharusnya bulan depan mereka mengadakan pesta, untuk memenuhi janji kepada Bu Inggrid yang dulu sangat ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran.Tiba-tiba kerinduan Andrea kepada Ludwina terasa menyesakkan... Ia hampir meneteskan air mata saat mengingat pernikahan mereka di Bali l
Setelah enam bulan di London, Andrea masih belum menerima balasan dari email-emailnya. Ia tetap setia mengirim email setiap hari Minggu, tetapi kini ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa Ludwina tidak akan membalas.Kondisi perusahaan sudah stabil dan ia sudah bisa mengambil cuti. Andrea sangat tergoda untuk membeli tiket dan menyusul Ludwina di mana pun gadis itu sekarang berada. Ia menemukan akun instagram atas nama Ludwina dan setiap beberapa hari Ada foto yang menunjukkan keberadaan gadis itu. Mungkin sekarang Ludwina sudah kembali seperti Ludwina yang dulu, yang senang pamer foto travelingnya saat masih belum bersama Andrea.Kalau ia mengikuti keberadaan Ludwina dari akun instagramnya, ia tidak melanggar janjinya untuk tidak menguntit istrinya karena informasi yang dibagikannya di Instagram dibuat publik, demikian pikir Andrea meyakinkan dirinya sendiri"You want to take some leave(Kau mau ambil cuti)?" tanya Joe siang itu ketika An
Ludwina tidak mengira bahwa novel sejarah yang ditulisnya mendapatkan sambutan sangat baik. Ini membuatnya sedikit terhibur. Ia sudah tidak memiliki akun di media sosial, tetapi ia banyak membaca review positif di internet dan berbagai artikel yang memuji ceritanya. Hal ini membuatnya semakin bersemangat menulis.Setelah menenangkan diri di Italia, Ludwina memutuskan untuk ke Belanda untuk meneliti sumber-sumber sejarah untuk novel lain yang sedang ditulisnya. Ia sangat tertarik mengeksplor sejarah Indonesia pasca Perang Dunia 2 saat orang-orang keturunan Belanda, atau indo, dipaksa pergi dari Indonesia karena dianggap sebagai keturunan penjajah, padahal banyak dari mereka lahir dan besar di Indonesia, dan tak pernah mengenal negeri Belanda.Ludwina meminum banyak obat tetapi ia masih menolak kemoterapi karena ia tidak mau keluarganya mengetahui penyakitnya. Penampilannya setelah kemo akan sangat kentara dan ia tidak ingin mereka curiga karena tubuhnya akan menjadi san