Adelina balas mencium Andrea dengan penuh cinta, dan semua kekuatiran yang selama ini menggelayuti hati mereka tentang masa depan perlahan sirna. Andrea dan Adelina hanya memikirkan rencana pernikahan diam-diam mereka di Singapura tiga bulan lagi dan rasanya semesta turut berbahagia dengan keberanian sepasang pemuda itu mengambil keputusan.
"Kita harus merayakan pertunangan kita!" Adelina mengeluarkan sebotol red wine dari tasnya dan menaruh di meja makan bersama makan malam yang telah siap dimasak. "I cannot wait to spend the rest of my life with you."
Malam itu adalah malam paling membahagiakan dalam hidup Andrea. Mereka merayakan cinta mereka yang sudah tumbuh sejak mereka berusia 16 tahun, dan tiga bulan lagi keduanya akan menikah diam-diam. Tak usah perduli lagi apa kata orang lain.
Andrea sudah punya kerja sambilan dan setahun lagi ia akan lulus kuliah dan bekerja, ia akan mampu membiayai kehidupannya bersama Adelina.
"Kita kan sudah mau menikah, aku mau menginap di sini malam ini." kata Adelina setelah mereka makan malam dan menghabiskan satu botol red wine yang dibawanya.
Ia sengaja membawa wine malam itu untuk memberinya keberanian. Adelina tahu, bahwa sekadar merencanakan menikah diam-diam tidaklah cukup. Ia harus tidur dengan Andrea dan memastikan bahwa mereka tidak akan bisa terpisahkan lagi, barulah orangtuanya akan mundur.
Ia duduk di pangkuan Andrea dan membelai wajahnya dengan penuh cinta.
"Adel...."
"Andre...mukamu merah banget... haha...tapi kamu tetap tampan seperti biasa," Adelina melingkarkan tangannya ke leher Andrea dan mencium bibirnya pelan. "Aku cinta kamu."
Andrea membalas ciuman Adelina dengan lembut dan kemudian menggendong gadis itu ke kamarnya. Ia mengerti rencana Adelina dan ia pun tak bisa membayangkan hidup tanpa gadis itu di sisinya.
Seharusnya semua berjalan dengan baik sesuai rencana. Andrea sudah menabung cukup banyak uang untuk mereka pergi ke Singapura, dan ia pun sudah membuat paspor.
Tetapi... seminggu sebelum mereka berangkat, tiba-tiba Adelina berubah. Ia menghindari Andrea dan tidak membalas semua telepon dan SMS-nya. Ia juga berhenti datang ke kampus, hingga Andrea terpaksa datang ke rumah mewah keluarga Surya di Menteng untuk menemui Adelina.
Adelina keluar dengan mata sembab dan setelah setengah jam tidak sanggup berkata-kata, akhirnya ia menceritakan apa yang terjadi....
"Mama kena kanker... " Adelina menangis terisak-isak sambil berusaha menghapus air matanya. "Aku nggak bisa menyakiti hati mama di saat seperti ini... Maafkan aku, Andre."
Dunia Andrea yang berputar untuk Adelina seketika runtuh. Ia hampir tak mendengar kata-kata gadis itu selanjutnya. Ia hanya ingat sedikit, bahwa demi ibunya, Adelina terpaksa harus memutuskan hubungan dengannya, membatalkan rencana mereka menikah diam-diam di Singapura, dan ia akan segera pergi ke Inggris untuk menemani ibunya berobat.
Adelina akan melanjutkan kuliahnya di Inggris, dan mereka tak kan bertemu lagi.
Di hari keberangkatan Adelina ke London, adalah saat pertama Andrea menginjakkan kaki di bandara. Ia menunggu gadis itu masuk ke bandara dan berusaha melihatnya untuk terakhir kali, atau bahkan berusaha mengubah pikirannya...
Adelina tiba di pintu masuk bandara ditemani ibunya. Karena ini adalah hari terakhir, Nyonya Surya mengalah dan membiarkan Adelina bicara dengan Andrea sebelum berangkat, ia masuk sendiri dan menunggu di dalam.
"Adel... tunggu aku ya... Aku akan jadi orang sukses dan menyusul kamu ke Inggris." kata Andrea di sela-sela airmatanya. Tadinya ia ingin membujuk Adelina agar jangan pergi, tetapi di saat terakhir, ia tahu diri.
Sebagai laki-laki yang baik, ia tidak boleh mengekang seorang perempuan kalau sayapnya sudah terbuka dan siap untuk terbang. Justru ialah yang harus meningkatkan dirinya agar bisa turut terbang seperti Adelina dan menjadi layak untuk menjadi pasangannya.
Adelina mengangguk tanpa berkata apa-apa. Airmatanya mengalir deras saat ia akhirnya melepaskan rangkulan Andrea dan masuk ke dalam bandara.
Itulah terakhir kalinya Andrea bertemu Adelina, cinta pertamanya. Tiga tahun yang lalu.
Setahun pertama adalah masa yang paling berat dan Andrea yang selalu menjadi bintang kelas mengalami kesulitan untuk menyelesaikan kuliahnya dan lulus.
Balasan email dari Adelina semakin jarang dan akhirnya berhenti sama sekali setelah ia mengaku bahwa di Inggris ia jatuh cinta kepada seorang laki-laki bernama Ronan dan sudah hidup bahagia bersamanya. Ia meminta Andrea melanjutkan hidup dan melupakannya.
Setelah lulus, Andrea mencurahkan hidupnya pada pekerjaan. Ia membuat beberapa program security yang sempat menjadi buah bibir di kalangan pakar keamanan digital dan sebuah perusahaan IT di Singapura mengundangnya untuk wawancara kerja di tempat mereka. Itulah sebabnya hari ini ia kembali menginjak bandara.
Akhirnya ia akan ke Singapura juga.
Pikirannya penuh berisi kenangan masa lalu saat ia melihat papan berisi jadwal penerbangan, untuk mencari gate-nya, ia tidak memperhatikan saat berbalik arah, seorang gadis berjalan dengan wajah tertunduk mengarah tepat ke hadapannya, dan keduanya pun bertubrukan.
Andrea membalikkan badan setelah memastikan gate penerbangannya di layar dan tidak menyadari seorang gadis berjalan dengan menundukkan kepala tepat menabrak dadanya.Gadis itu mungil sekali, hanya setinggi bahunya, dan karena dorongan tubuh Andrea yang besar ia pun terpelanting jatuh. Andrea kaget sekali dan buru-buru membantunya berdiri."Maafkan saya, saya tidak sengaja... Sini saya bantu berdiri.""Nggak usaaaahh... gue bisa sendiri!!" Gadis itu galak sekali menepis tangan Andrea. Akhirnya Andrea hanya bisa mengangkat bahu dan berlalu. Gadis itu mencoba berdiri tetapi ternyata hak stiletto-nya copot sebelah dan ia jatuh kembali. Ia meringis sambil memijit kaki kanannya yang terkilir, "Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!"Beberapa orang tampak mencoba membantunya tetapi dengan keras kepala ia mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Andrea berbalik lalu sambil geleng-geleng kepala menggendong gadis itu ke bangku terdekat, lalu
Mereka terpaksa harus menunggu setengah jam. Teh dan kue-kue disajikan sambil mereka menunggu, dan kepala bandara asyik mengobrol dengan Ludwina tentang perjalanannya."Aku baru pulang dari Hong Kong, Oom. Ayah membuka hotel baru di Kowloon, jadi aku mau sekalian coba menginap di sana dan mencari inspirasi menulis. Oom punya koran kompas hari sabtu kemarin nggak?""Ada. Kenapa?""Artikel perjalananku ke Italia sudah terbit...ahahaha... aku senang banget. Susah lho menulisnya."Andrea mengambil koran Kompas yang dimaksud dari tumpukan koran di atas meja lalu membuka-buka halamannya sambil mendengarkan obrolan kedua orang itu. Ia menemukan artikel yang dimaksud Ludwina, ia lalu membacanya."Ini dokumen yang bapak minta," kata sekretaris yang baru datang dengan setumpuk dokumen. Kepala bandara akhirnya segera mengambil satu formulir dan mengisi beberapa data dan memberi cap, lalu menyerahkannya kepada Ludwina."OK, sudah beres, kalian serahkan
"Nggak usah, Pak. Harusnya saya wawancara kerja besok pagi di Middle Road. Nggak akan keburu."Semua orang di meja makan saling pandang. Ludwina menekap mulutnya dengan kaget."Wahh.. maaf, kamu jadi nggak bisa datang wawancara kerja...""Nggak apa-apa, serius. It's just a job interview. Nanti juga ada lagi." Memang Andrea tidak terlalu kuatir. Ada beberapa perusahaan yang sedang mendekatinya untuk bekerja bagi mereka.Keinginannya bekerja di Singapura tidak terlalu besar karena ia tidak ingin meninggalkan ibunya. Apalagi Singapura mengingatkannya akan rencana pernikahannya yang gagal 3 tahun lalu."Kamu kirim resume ke sini, deh. Nanti saya carikan posisi yang sesuai untuk kamu." kata Pak Kurniawan kemudian. Andrea menggeleng-geleng sambil tertawa ringan."Serius, nggak apa-apa, Pak. Buat saya yang lebih penting adalah memastikan kalau Ludwina nggak kenapa-kenapa. Saya sangat takut kalau melukai anak Bapak."Ludwina tampak mengangkat wajah dan mengangguk-angguk. "Betul sekali. Laki-la
Tiga hari kemudian Andrea mendapat SMS dari Ludwina. Saat itu ia sedang mengerjakan coding sebuah program software keamanan digital baru. Ia berhenti sejenak untuk membaca isi pesannya.[Fisioterapi pertama besok sore di RSCM. Kamu jemput aku ya.]Ia tersenyum simpul dan mengangguk. Andrea tak bisa melanjutkan pekerjaannya. Pikirannya melayang pada gadis imut yang sempat membikin heboh bandara tiga hari lalu.Ia tahu pasti, saat memegang tumit Ludwina bahwa terkilirnya tidak parah. Sekarang seharusnya sudah sembuh sama sekali. Tetapi dia tetap berkeras minta ditemani fisioterapi, pasti hanya alasan untuk bertemu Andrea. Mengingat ini Andrea tersenyum semakin lebar.Baik, mari kita lihat sampai berapa lama kamu bisa berpura-pura terkilir... pikirnya gemas.***Andrea mengantar Ludwina fisioterapi setiap hari Sabtu ke RSCM. Setiap kali mereka datang pandangan para terapis yang aneh sama sekali tidak mengganggu Ludwina yang cuek. Andrea yang sangat yakin Ludwina tidak benar-benar terkilir
Andrea sebenarnya tidak terlalu ingin pindah ke Singapura. Tetapi tawaran pekerjaan di perusahaan IT ini sangat menarik baginya. Ia bisa bereksperimen dengan banyak platform dan mengembangkan berbagai perangkat keamanan digital yang sangat disukainya.Kesempatan seperti itu tidak ada di Indonesia. Ia juga memilih Singapura karena letaknya yang masih dekat dan ia bisa pulang seminggu sekali untuk menjenguk ibunya jika perlu.Wawancara terakhirnya dengan user yang akan menjadi manajernya, berlangsung sangat akrab. Keduanya langsung cocok membahas berbagai trend cyber security yang sedang ada.Joe adalah salah satu dari sedikit orang yang memegang sertifikasi keamanan CISSP, ISSAP, ISSMP, dan CSSLP dan ia menginspirasi Andrea untuk mengikuti jejaknya. Ia memuji Andrea sebagai genius dan berhasil meyakinkannya untuk segera mulai bekerja dan pindah ke Singapura secepatnya.Employment Pass Andrea segera diurus Perusahaan dan ia menerima konfirmasi tepat semingg
Andrea tidak punya akun di media sosial mana pun. Ia tahu betapa perusahaan-perusahaan teknologi menyimpan data para penggunanya untuk kepentingan bisnis dan ia tidak rela privasinya dilanggar oleh Facebook, Twitter, LinkedIn, Google, dan lain-lain.Tetapi ia bersyukur atas keberadaan para raksasa internet itu karena ia bisa mengikuti berita tentang Ludwina kalau ia sedang memikirkan gadis itu.Ludwina itu sering sekali berpindah tempat, Andrea sampai hampir kesulitan mengikuti jejaknya. Minggu ini ia di Kyoto, dan berikutnya sudah ke Xian, lanjut ke Hong Kong, kemudian mampir di Melbourne.Selama enam bulan Andrea mengikuti foto-fotonya di Instagram, hanya New York yang dikunjungi gadis itu dua kali. Sepertinya kota itu memang memiliki tempat istimewa di hatinya.Ah, Andrea ingat, Ludwina memang dulu kuliah di Columbia University. Tentu ia punya teman-teman semasa kuliah di New York, dibandingkan dengan kota lain di dunia yang hanya dikunjungin
Andrea menghabiskan akhir pekan dengan berkebun di rumah ibunya. Suasana hatinya sangat senang karena ternyata takdir mempertemukannya dengan Ludwina setelah 7 bulan. Ia pun menimbang-nimbang apakah ia akan menghubungi Ludwina di Scotlandia dan menanyakan kemajuan novelnya.Akhirnya ia menemukan alasan yang bagus untuk menghubungi gadis itu.Sementara itu Ludwina yang biasa tidur nyaman saat terbang di bangku bisnis, kali ini sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Hatinya terus berdebar-debar, dan entah kenapa tangan kanannya masih terus merasakan kehangatan saat dipegang Andrea dan ditaruh di dadanya tadi.Perasaan itu tidak juga hilang sampai Ludwina tiba di London, berganti pesawat ke Edinburgh dan masuk ke hotelnya. Ahhh....rasanya sungguh menyiksa.Belum pernah Ludwina merasa sesedih ini.. kecuali enam bulan lalu ketika ia akhirnya menelepon Andrea setelah sebulan lebih mencari alasan, dan ternyata pemuda itu baru saja pindah ke Sing
Ludwina turun dari pesawat dengan perasaan gembira. Sudah lama ia tidak keluar dari bandara Changi. Biasanya ke sini hanya untuk transit ke negara lain. Dulu menurutnya Singapura membosankan.Walaupun mereka sudah membangun banyak atraksi baru yang bagus seperti Gardens by The Bay dan lain-lain, ia tidak tertarik berkunjung - hingga minggu lalu ketika bertemu Andrea di bandara saat ia hendak ke Scotlandia dan Ludwina tak bisa lagi menahan kerinduannya untuk bertemu pemuda itu.Ia pun bertekad untuk mengesampingkan egonya dan pergi ke Singapura, kemudian di sana ia akan mencari alasan untuk bertemu.Dari bandara ia segera menuju Raffles Hotel dan check in. Setelah beristirahat sebentar, ia berjalan kaki ke beberapa tempat yang dulu menjadi favoritnya untuk dikunjungi. Cuaca yang panas tidak membuatnya segan untuk menikmati kota.Rasanya Singapura seperti terlahir kembali untuknya. Hanya dengan mengingat bahwa Andrea berada di kota yang sama, perasaan Ludwina menjadi bahagia.[Aku sedan