Aku adalah kekasih serius Andrea yang kedua. Semasa sekolah menengah dan kuliah dulu ia jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan seorang gadis dari kalangan berada yang keluarganya menganggap Andrea tidak layak menjadi pasangan putri mereka, bukan hanya karena berbeda status, melainkan juga beda agama.
Bertahun-tahun mereka memperjuangkan cinta namun akhirnya sang gadis menyerah dan mengucap selamat tinggal setahun sebelum lulus kuliah dan melanjutkan pendidikannya di Inggris. Andrea menjadi seorang pria yang dingin terhadap wanita dan memilih bekerja sebagai peneliti yang hanya berurusan dengan komputer dan benda2 mati lainnya.
Aku bertemu pertama kali dengannya saat kami bertubrukan di bandara karena aku kebingungan mencari pasporku yang terjatuh dari tas dan ia sedang melamun membaca jadwal penerbangan. Ia akan berangkat ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional dan aku baru kembali dari Hong Kong untuk mencari inspirasi menulis, sekaligus menghadiri pembukaan hotel terbaru ayahku.
Ia membalikkan badannya tepat saat aku berjalan di belakangnya dengan pandangan kalut melihat ke lantai siapa tahu paspor sialan itu ada di sana. Tabrakan itu cukup hebat karena tubuhnya tinggi besar sementara tinggiku tak sampai sebahunya, dan aku jatuh terbanting cukup keras.
"Maaf, saya nggak sengaja". katanya seraya membantuku berdiri. "Sini saya bantu..."
Aku sangat marah (sebenarnya aku marah kepada diriku sendiri karena kehilangan paspor, handphone, tas, dan barang-barang kecil lainnya sudah untuk kesekian ratus kalinya) dan mengibaskan tangannya.
"Nggak usaaah, gue bisa sendiri."
Ia mengernyitkan kening melihatku dan mengangkat bahu lalu berlalu. Aku berusaha bangkit berdiri tapi kakiku tak mau bekerja sama. Ternyata hak stilletoku copot sebelah dan baru kusadari dampak jatuh tadi kaki kananku terkilir.
"Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!" seruku. Beberapa orang mencoba membantuku tapi aku mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Dulu aku memang putri manja yang terbiasa mendapat semua keinginanku. Andrea menyipitkan matanya dengan pandangan tidak percaya atas kelakuanku tapi ia berjalan kembali ke arahku dan membantuku berdiri.
Tanpa banyak bicara dia menggendongku ke bangku terdekat dan membawakan tasku. Ia menanyakan aku mau berangkat kemana supaya dia bisa membawaku ke gerbang boarding. Kujawab dengan ketus bahwa aku baru tiba dan sedang mencari pasporku yang terjatuh entah di mana agar aku bisa melewati imigrasi untuk keluar bandara. Ia melihat jam tangannya dan mendesah.
"Ayo kuantar ke imigrasi. Harusnya bisa diurusin kalo memang paspornya hilang."
Kubiarkan saja dia mengurusiku berjam-jam. Menghubungi pihak keamanan bandara untuk membuat laporan bahwa aku kehilangan paspor, kemudian mengantarku ke pihak imigrasi agar aku boleh keluar bandara, lalu mengambilkan koperku dari karusel. Aku bisa saja sih menelepon ayahku yang kemudian menelepon kepala bandara atau kepala kantor imigrasi biar aku diberi keringanan, tapi aku ingin memberi orang ini pelajaran.
Aku ingin tahu sampai mana kesabarannya.
Ternyata... oh, ia sabar sekali, seolah tidak ada batasnya, sampai-sampai akhirnya putri manja bernama Ludwina ini merasa tidak enak telah merepotkannya sedemikian rupa. Bisa ditebak Andrea ketinggalan pesawatnya dan berakhir dengan mengantarku pulang menggunakan taksi.
Di perjalanan aku mulai merasa malu atas tindakanku yang sudah merepotkan pria tak dikenal ini sampai ia ketinggalan pesawat. Waktu ia akan meninggalkan rumahku, aku memaksanya meninggalkan nomor telepon supaya aku bisa menghubunginya untuk menagih biaya rumah sakit seandainya cederaku parah.
Aku tahu, kalian pasti bilang aku norak. Tapi di saat itu aku langsung tahu bahwa pria ini istimewa dan aku harus memilikinya. Aku belum pernah merasa sedemikian tertarik pada laki-laki. Biasanya merekalah yang berlomba merebut perhatianku.
Sejak itu aku mencari alasan untuk menghubunginya. Dimulai dari minta diantar ke rumah sakit untuk periksa kakiku, hingga menungguiku "terapi fisioterapi" seminggu sekali yang disarankan oleh dokter (yang merupakan teman sekelas kakakku di universitas). Ia tidak pernah menolak walaupun aku sempat melihat pandangan curiganya pada kakiku yang sebenarnya tidak apa-apa.
Sebulan kemudian aku sudah kehabisan akal untuk bertemu dengannya dan aku menangis seharian karena tidak bisa memikirkan dalih apa lagi yang dapat kugunakan untuk bertemu dengannya.
Kakakku, Johann, menyuruhku untuk menghentikan kekonyolanku dan bersikap dewasa. Itu berarti berhenti berbohong untuk mencari alasan bertemu Andrea. Ia menyuruhku untuk mengajak Andrea bertemu dengan cara yang benar. Aku berkeras bahwa aku tidak pernah mengejar laki-laki, bagaimana pun Andrealah yang harus menghubungiku.
Aku menunggunya menghubungi dengan hati nelangsa, tapi tetap keras kepala. Seminggu... dua minggu... tiga minggu... Akhirnya sebulan kemudian aku memberanikan diri meneleponnya. Ternyata Andrea sudah pindah ke Singapura. Wawancara pekerjaannya dulu gagal karenaku dan ia kehilangan peluang bekerja di negara tersebut, tetapi kemudian ada perusahaan lain yang lebih besar menghubunginya untuk bekerja bagi mereka dan setelah wawancara yang sangat mengesankan mereka segera mengurus visa kerjanya.
Ia baru saja berangkat ke Singapura sehari sebelum aku telepon. Saat menutup telepon aku baru sadar bahwa aku baru saja membuat dia membayar biaya roaming yang begitu mahal. Aneh, dia nggak membahas tentang roaming sama sekali.
Tiba-tiba saja aku merasa demikian sedih. Aku belum pernah menangisi kegagalan, tetapi hari itu aku menangis sedih sekali.
Entah bagaimana enam bulan kemudian kami bertemu kembali di bandara. Ia baru tiba di Jakarta dan aku sedang bersiap terbang ke Inggris. Kukatakan padanya mengenai rencana perjalananku yang lebih banyak melibatkan duduk merenung di kedai kopi di Skotlandia dan berharap mendapatkan ilham yang sama seperti J.K. Rowling saat menuliskan Harry Potter.
Ia menatapku dengan pandangan kasihan. "Kamu nggak bakat jadi penulis. Kamu terlalu bahagia."
Pernyataannya yang blak-blakan membuatku merasa tertampar. Belum pernah ada seorang pun yang menyatakannya secara terbuka.
Selama ini aku memang tidak pernah menyelesaikan novel-novelku dan paling hebat baru beberapa artikel perjalanan wisata yang kutulis berhasil dimuat di Kompas. Orangtuaku bangga sekali, tapi jauh di dalam hati aku tahu bahwa aku sebenarnya bukan siapa-siapa dalam dunia penulisan.
"Kenapa kamu bisa ngomong gitu?" tanyaku pelan.
"Kamu ga bisa nulis dengan kreatif karena kamu ga pernah susah. Semua seniman besar menghasilkan karya-karya terbaiknya saat mereka miskin atau kesusahan atau depresi. Lihat aja musisi Sting contohnya, sekarang dia bahagia dan ga pernah menghasilkan mahakarya apa pun lagi," Ia mengambil brosur tentang Skotlandia yang ada di tanganku.
"Kemana pun kamu pergi, yang kamu cari nggak akan ketemu. Inspirasi itu adanya di sini." Ia menaruh tanganku di dadanya.
Hatiku tergetar dan sampai aku mendarat di Heathrow, aku masih merasakan tanganku ada di dadanya. Akhirnya aku tak tahan lagi dan selama di Inggris aku mencari-cari Andrea di Facebook berharap bisa mencari tahu tentang dirinya lebih banyak, dan mencari alasan untuk menjalin kontak.
Sialan, ternyata ia tidak menggunakan situs jejaring sosial apa pun. Aku bahkan tidak tahu nama lengkap dan kantornya.
Aku merana di Edinburgh padahal seharusnya aku bersenang-senang liburan dan menikmati waktu teduh untuk memperoleh inspirasi menulis.
Akhirnya aku pulang dan menyerah.
Tiba-tiba saja Andrea mengirimku email dan menanyakan bagaimana kabarku dalam pencarian inspirasi menulis. Entah darimana dia mendapatkan emailku tapi aku langsung merasa bahagia. Kayaknya aku belum pernah deh sebahagia waktu membuka komputerku di pagi hari dan mendapatkan email darinya.Kami kemudian mulai sering berkirim email dan akhirnya kalau dia pulang dari Singapura untuk menjenguk ibunya, dia akan memberitahuku sehingga aku bisa mengatur jadwal perjalananku mencari inspirasi menulis. Kami pun mulai bertemu dengan normal, artinya tidak lagi melibatkan kunjungan terapi pura-pura ke rumah sakit. Kami menjadi sering janjian makan malam dan berbincang-bincang.Pelan-pelan aku jadi tahu semua tentang dirinya, dan aku semakin menyukai pria i
“Aku hanya akan ambil kerjaan ini selama duatahun” kata Andrea sambil meremas tanganku. Aku mengangguk. Aku tak perlu susah payah meyakinkan suamiku bahwa aku tidak sanggup ikut dengannya ke London. Mungkin ia mengira suatu saat nanti aku akan berubah pikiran dan menyusulnya, sama seperti aku berubah pikiran tentang punya anak.After 5 years together, he still hasn't realized that I rarely change my mind.Aku mengantarnya ke bandara malam itu dan melepas kepergiannya dengan tersenyum. Andrea akan tinggal di hotel selama sebulan sampai ia menemukan rumah yang pas untuk jadi tempat tinggal. Perusahaan yang membayar semuanya.
"Hai, Wina.Are you feeling better?Mau ikut ke pantai, nggak?" tanya Johann saat melihatku keluar kamar menenteng laptop. "Di sana enak lho kalau mau nulis."Sebelum aku menjawab ia sudah mengambil laptop dari tanganku dan menarikku berjalan mengikuti keluar. Hanya 10 menit berjalan kami tiba di Pantai Lakey Peak yang cantik. Di sana ada sebuah paviliun kecil dengan kursi yang nyaman menghadap laut dan Johann mengajakku duduk.Beberapa turis asing terlihat asyik berselancar di tengah lautan. Aku melihat anak-anak bermain di pantai dengan ceria dan sebagian juga ada yang menenteng papan selancar. Anehnya ada beberapa anak itu yang berambut pirang dan terlihat campuran.
Aku tidak pernah membalas email Andrea. Panggilan teleponnya pun tidak pernah kuangkat, dia pasti sekarang mengerti bahwa aku masih belum sanggup bicara dengannya. Pengacaraku bilang dia sudah menerima dokumen perceraian enam bulan lalu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan darinya.Diam-diam aku berharap Andrea akan memperlambat prosesnya, walaupun aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah secara resmi, dan akan tiba hari di mana aku bisa menatap matanya dan berbicara.Tanpa sadar aku menjelajahi Facebook dan mencari berita tentang Adelina Surya lagi. Kali ini aku melihat akun media sosialnya sudah aktif. Adelina tampak bahagia tinggal di London dengan anaknya. Di foto profilnya tampak ia dan Ronan, anaknya, serta Andrea berfoto dengan
Aku sudah terkenal pelupa sejak masih kecil. Tidak terhitungberapa puluh kali aku kehilangan dompet, handphone, tas dan bahkan paspor. Namun aku tidak pernah lupa saat pertama kali bertemu Andrea di bandara 6 tahun yang lalu. Waktu itu aku seperti burung, selalu terbang kesana kemari dengan alasan mencari inspirasi menulis. Aku juga tidak mengerti kenapa aku selalu merasa gelisah jika berdiam di suatu tempat lebih dari dua bulan.Mungkin karena saat itu aku belum menemukan "rumahku". Setelah menikah dengan Andrea rasa gelisah itu hilang, diganti dengan rasa nyaman dan cepat puas. Duduk mengetik di balkon apartemen kami setiap sore sambil menunggu Andrea pulang kerja rasanya sangat menentramkan.Kadang-kadang kami makan di luar dan mengo
Aku mula-mula diundang panitia UWRF untuk berbicara karena novel Tasi, tetapi kemudian novel baruku terbit dan Genta Publishing ingin menggunakannya sebagai ajang promosi juga. Aku tak menyangka banyak sekali peserta yang memadati sesiku di hari kedua UWRF.Mbak Ria dari penerbit memberitahuku bahwa stok buku yang kami bawa juga sudah habis, sungguh di luar dugaan. Tahun lalu waktu aku menghadiri acara ini, aku masih bukan siapa-siapa."Saya suka baca novel Mbak Ludwina, karena selain idenya segar, saya bener-bener bisa masuk ke dunia yang Mbak sampaikan, karakter-karakternya jugabelievablebanget. Novel Tasi bikin saya tertarik untuk baca sejarah Indonesia. Dear Sophia juga sangat penuh dengan
Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...
OKTOBER 2012Andrea belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kaki di bandara. Hari ini ia harus terbang ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional. Bandara sekarang cukup banyak berubah dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali ke sini.Ia masih ingat peristiwa tiga tahun lalu itu. Ia tidak tahu pasti jadwal penerbangan Adelina, yang jelas ia akan terbang ke London malam itu. Andrea sudah memeriksa semua jadwal penerbangan yang masuk akal dan memutuskan untuk datang lebih awal.
"Aku sayang banget sama kamu, Andrea," bisik Ludwina ke telinga Andrea, "Aku ingin menghabiskan setiap hari mencintaimu."Andrea membantu Ludwina membuka pakaiannya dan dengan sangat hati-hati mencumbu istrinya. Ia sungguh merindukan tubuh Ludwina dan bercinta dengannya. Ia selalu menahan diri setelah mereka berkumpul bersama karena takut membuat Ludwina sakit, tetapi hari ini istrinya yang berinisiatif untuk bercinta dan ia tidak akan mengecewakannya.Mereka bercinta dengan sangat lembut dan menikmati setiap detik kebersamaan itu, jauh lebih syahdu dari biasanya, karena mereka tahu setiap detik mereka bersama adalah sangat berharga.Andrea sangat lega melihat rona wajah kemerah-merahan Ludwina yang diliputi rasa bahagia saat mereka tidur malam itu. Ia berharap dapat membekukan momen itu selamanya.***Bu Inggrid, Pak Kurniawan dan Johann kaget setengah mati ketika akhirnya Andrea memberi tahu mereka tentang penyakit Ludwina. Atas permintaan istrin
Mereka tiba di coffee shop langganan mereka dan barulah Andrea meletakkan Ludwina di kursi. Ia memesan kopi favorit keduanya lalu duduk di samping Ludwina sambil menggenggam tangannya. Ia tak mau melepaskan gadis itu sama sekali. Takkan pernah lagi!"Kamu mau berapa lama di New York?" tanyanya saat mereka sedang menikmati kopinya. "Aku mesti beli baju banyak kalau kita akan lama di sini.""Aku nggak tahu..." jawab Ludwina. "Aku mesti ketemu dokterku untuk konsultasi lagi besok.""Oke, aku ikut ya." kata Andrea cepat.Ludwina mengangguk.Mereka tidak membahas penyakit Ludwina sampai keduanya tiba di hotel. Andrea merasa lebih baik jika ia mendengar langsung dari dokter. Ia tak ingin membuat istrinya stress dengan berbagai pertanyaannya.Setelah memastikan Ludwina beristirahat, Andrea pergi ke toko terdekat dan membeli pakaian. Ia menolak ditemani karena tidak ingin Ludwina menjadi kelelahan. Setelah kembali ke hotel ia memesan makanan dan mer
Karena Ludwina tidak mengangkat ponselnya, Andrea akhirnya menghubungi Johann untuk mencari tahu keberadaan istrinya. Dari Johann ia mengetahui bahwa Ludwina sudah berangkat ke New York. Andrea segera memesan penerbangan ke sana tetapi kemudian ia sadar bahwa visa Amerika yang ada di paspornya baru saja kedaluwarsa.Ia ingat 5 tahun lalu mengajukan visa Amerika karena berniat traveling ke sana bersama Ludwina tetapi mereka malah menikah di Bali dan baru berangkat setahun kemudian. Visa yang diperolehnya valid untuk 5 tahun dan baru berakhir minggu ini.Sungguh mematahkan hati. Ketika akhirnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Ludwina, Andrea tak bisa segera menyusulnya.Andrea buru-buru pulang ke Inggris dan mengajukan visa Amerika lewat kedutaan Amerika Serikat di London. Ia sangat gelisah dan tidak bisa tidur sambil menunggu visanya diproses. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ludwina dengan bekerja, tetapi tidak berhasil."Joe, aku perlu bicar
Sebenarnya Ludwina patah hati saat meninggalkan Andrea di pantai. Ia tak pernah melihat suaminya menangis sebelumnya dan hatinya tercabik-cabik saat ia harus menampilkan wajah dingin dan pergi meninggalkannya begitu saja.Ini demi kebaikan Andrea, berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri.Ludwina segera memintaconciergememesankan taksi untuknya dan kembali ke Hotel Kanawa. Setibanya di sana ia segera masuk ke kamar dan mengurung diri. Tubuhnya merasa sangat lelah dan ia tak mampu bertemu siapa pun. Telepon dari Mbak Ria, editornya, pun harus ia tolak. Ia hanya mengirim SMS bahwa ia akan datang ke sesinya di UWRF besok dan hari ini ia ingin beristirahat dengan tanpa gangguan.***Andrea sebenarnya tergoda untuk datang ke UWRF dan melihat Ludwina lagi. Tetapi setiap mengingat betapa gadis itu masih belum memaafkannya, Andrea merasa sakit dan mengurungkan niatnya. Sepanjang hari ia hanya mencoba menghilangkan ke
Ludwina yang tiba di Hotel Hilton keesokan harinya mengira guest relation officer yang menemuinya juga mengenalinya sama seperti beberapa penggemar yang ia temui di Central Park. Ia mengikuti saja ketika staf itu membawanya ke kamar cantik menghadap laut yang ditinggali Andrea.Ia sebenarnya sudah check in di Hotel Kanawa milik ayahnya, sehingga ke Hilton hanya dengan membawa tas tangannya. Ia ingat bahwa hari ini adalah ulang tahun pernikahannya dengan Andrea. Mungkin ia akan menerima untuk makan malam bersama Andrea terakhir kalinya sebelum meminta dokumen perceraian itu dari suaminya dan mengakhiri pernikahan mereka.Ia melihat bunga dan prosecco dengan pita merah di kamar itu. Hatinya seketika terasa sakit, ia masih ingat dengan jelas malam itu ketika Andrea melamarnya. Ia melihat dua kemeja Andrea yang dibelikannya sebelum suaminya itu berangkat ke London dan pertahanannya runtuh.Ludwina kembali menangis untuk kesekian kalinya. Tadinya ia sudah mampu bersi
Suasana menjadi syahdu dengan hujan rintik-rintik di luar jendela. Andrea lalu mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas serta segelas jus untuk Ronan. Ia menuangkan wine untuk dirinya dan Adelina. Ia menyerahkan gelas berisi wine kepada gadis itu. Adelina menerimanya dengan sepassang mata masih berkaca-kaca."Sore-sore begini pas sekali untuk minum wine. Lumayan bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik." Andrea mendentingkan gelasnya ke gelas Adelina dan meneguk wine-nya. "Minumlah... biar kau merasa baikan."Adelina mengangguk dan menyesap wine-nya. Wajahnya yang suram perlahan-lahan tampak mulai cerah."Wine makes adulting bearable(Wine membuat orang dewasa bisa bertahan hidup)." katanya dengan senyum mulai menghiasi wajahnya. Keduanya tertawa kecil. Andrea mengangguk juga, membenarkan."Aku tahu kamu perempuan kuat, tapi kalau kamu merasa sedang sedih dan ingin berbagi, tempatku dan segelas wine selalu siap menunggu," kata Andrea kemu
SEPTEMBER 2018.Sudah setahun Ludwina dan Andrea berpisah. Andrea sudah mulai menerima kenyataan bahwa mungkin Ludwina tidak akan pernah memaafkannya, tetapi ia sungguh sangat ingin bertemu istrinya satu kali saja, untuk berusaha meyakinkannya...Email dari panitia international cyber security conference di Bali tiba pada suatu pagi. Mereka mengundang Andrea untuk menjadi salah satu pembicara di acara bergengsi itu. Ia sudah dikenal sebagai pakar security terbaik di Asia Pasifik dan panitia sangat bangga bahwa di acara mereka akan hadir seorang pakar dari Indonesia.Tanggalnya bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5. Seharusnya bulan depan mereka mengadakan pesta, untuk memenuhi janji kepada Bu Inggrid yang dulu sangat ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran.Tiba-tiba kerinduan Andrea kepada Ludwina terasa menyesakkan... Ia hampir meneteskan air mata saat mengingat pernikahan mereka di Bali l
Setelah enam bulan di London, Andrea masih belum menerima balasan dari email-emailnya. Ia tetap setia mengirim email setiap hari Minggu, tetapi kini ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa Ludwina tidak akan membalas.Kondisi perusahaan sudah stabil dan ia sudah bisa mengambil cuti. Andrea sangat tergoda untuk membeli tiket dan menyusul Ludwina di mana pun gadis itu sekarang berada. Ia menemukan akun instagram atas nama Ludwina dan setiap beberapa hari Ada foto yang menunjukkan keberadaan gadis itu. Mungkin sekarang Ludwina sudah kembali seperti Ludwina yang dulu, yang senang pamer foto travelingnya saat masih belum bersama Andrea.Kalau ia mengikuti keberadaan Ludwina dari akun instagramnya, ia tidak melanggar janjinya untuk tidak menguntit istrinya karena informasi yang dibagikannya di Instagram dibuat publik, demikian pikir Andrea meyakinkan dirinya sendiri"You want to take some leave(Kau mau ambil cuti)?" tanya Joe siang itu ketika An
Ludwina tidak mengira bahwa novel sejarah yang ditulisnya mendapatkan sambutan sangat baik. Ini membuatnya sedikit terhibur. Ia sudah tidak memiliki akun di media sosial, tetapi ia banyak membaca review positif di internet dan berbagai artikel yang memuji ceritanya. Hal ini membuatnya semakin bersemangat menulis.Setelah menenangkan diri di Italia, Ludwina memutuskan untuk ke Belanda untuk meneliti sumber-sumber sejarah untuk novel lain yang sedang ditulisnya. Ia sangat tertarik mengeksplor sejarah Indonesia pasca Perang Dunia 2 saat orang-orang keturunan Belanda, atau indo, dipaksa pergi dari Indonesia karena dianggap sebagai keturunan penjajah, padahal banyak dari mereka lahir dan besar di Indonesia, dan tak pernah mengenal negeri Belanda.Ludwina meminum banyak obat tetapi ia masih menolak kemoterapi karena ia tidak mau keluarganya mengetahui penyakitnya. Penampilannya setelah kemo akan sangat kentara dan ia tidak ingin mereka curiga karena tubuhnya akan menjadi san