Beranda / Romansa / Kisah Cinta Ludwina & Andrea / Bab 1 - Pertemuan Di Bandara

Share

Kisah Cinta Ludwina & Andrea
Kisah Cinta Ludwina & Andrea
Penulis: Josephine VDW

Bab 1 - Pertemuan Di Bandara

Aku adalah kekasih serius Andrea yang kedua. Semasa sekolah menengah dan kuliah dulu ia jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan seorang gadis dari kalangan berada yang keluarganya menganggap Andrea tidak layak menjadi pasangan putri mereka, bukan hanya karena berbeda status, melainkan juga beda agama.

Bertahun-tahun mereka memperjuangkan cinta namun akhirnya sang gadis menyerah dan mengucap selamat tinggal setahun sebelum lulus kuliah dan melanjutkan pendidikannya di Inggris. Andrea menjadi seorang pria yang dingin terhadap wanita dan memilih bekerja sebagai peneliti yang hanya berurusan dengan komputer dan benda2 mati lainnya.

Aku bertemu pertama kali dengannya saat kami bertubrukan di bandara karena aku kebingungan mencari pasporku yang terjatuh dari tas dan ia sedang melamun membaca jadwal penerbangan. Ia akan berangkat ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional dan aku baru kembali dari Hong Kong untuk mencari inspirasi menulis, sekaligus menghadiri pembukaan hotel terbaru ayahku.

Ia membalikkan badannya tepat saat aku berjalan di belakangnya dengan pandangan kalut melihat ke lantai siapa tahu paspor sialan itu ada di sana. Tabrakan itu cukup hebat karena tubuhnya tinggi besar sementara tinggiku tak sampai sebahunya, dan aku jatuh terbanting cukup keras.

"Maaf, saya nggak sengaja". katanya seraya membantuku berdiri. "Sini saya bantu..."

Aku sangat marah (sebenarnya aku marah kepada diriku sendiri karena kehilangan paspor, handphone, tas, dan barang-barang kecil lainnya sudah untuk kesekian ratus kalinya) dan mengibaskan tangannya.

"Nggak usaaah, gue bisa sendiri."

Ia mengernyitkan kening melihatku dan mengangkat bahu lalu berlalu. Aku berusaha bangkit berdiri tapi kakiku tak mau bekerja sama. Ternyata hak stilletoku copot sebelah dan baru kusadari dampak jatuh tadi kaki kananku terkilir.

"Eh, kamu! Sini! Tanggung jawab, kamu. Gue ga bisa jalan, tauk!" seruku. Beberapa orang mencoba membantuku tapi aku mengebaskan tangan-tangan yang terulur. Dulu aku memang putri manja yang terbiasa mendapat semua keinginanku. Andrea menyipitkan matanya dengan pandangan tidak percaya atas kelakuanku tapi ia berjalan kembali ke arahku dan membantuku berdiri.

Tanpa banyak bicara dia menggendongku ke bangku terdekat dan membawakan tasku. Ia menanyakan aku mau berangkat kemana supaya dia bisa membawaku ke gerbang boarding. Kujawab dengan ketus bahwa aku baru tiba dan sedang mencari pasporku yang terjatuh entah di mana agar aku bisa melewati imigrasi untuk keluar bandara. Ia melihat jam tangannya dan mendesah.

"Ayo kuantar ke imigrasi. Harusnya bisa diurusin kalo memang paspornya hilang."

Kubiarkan saja dia mengurusiku berjam-jam. Menghubungi pihak keamanan bandara untuk membuat laporan bahwa aku kehilangan paspor, kemudian mengantarku ke pihak imigrasi agar aku boleh keluar bandara, lalu mengambilkan koperku dari karusel. Aku bisa saja sih menelepon ayahku yang kemudian menelepon kepala bandara atau kepala kantor imigrasi biar aku diberi keringanan, tapi aku ingin memberi orang ini pelajaran.

Aku ingin tahu sampai mana kesabarannya.

Ternyata... oh, ia sabar sekali, seolah tidak ada batasnya, sampai-sampai akhirnya putri manja bernama Ludwina ini merasa tidak enak telah merepotkannya sedemikian rupa. Bisa ditebak Andrea ketinggalan pesawatnya dan berakhir dengan mengantarku pulang menggunakan taksi.

Di perjalanan aku mulai merasa malu atas tindakanku yang sudah merepotkan pria tak dikenal ini sampai ia ketinggalan pesawat. Waktu ia akan meninggalkan rumahku, aku memaksanya meninggalkan nomor telepon supaya aku bisa menghubunginya untuk menagih biaya rumah sakit seandainya cederaku parah.

Aku tahu, kalian pasti bilang aku norak. Tapi di saat itu aku langsung tahu bahwa pria ini istimewa dan aku harus memilikinya. Aku belum pernah merasa sedemikian tertarik pada laki-laki. Biasanya merekalah yang berlomba merebut perhatianku.

Sejak itu aku mencari alasan untuk menghubunginya. Dimulai dari minta diantar ke rumah sakit untuk periksa kakiku, hingga menungguiku "terapi fisioterapi" seminggu sekali yang disarankan oleh dokter (yang merupakan teman sekelas kakakku di universitas). Ia tidak pernah menolak walaupun aku sempat melihat pandangan curiganya pada kakiku yang sebenarnya tidak apa-apa.

Sebulan kemudian aku sudah kehabisan akal untuk bertemu dengannya dan aku menangis seharian karena tidak bisa memikirkan dalih apa lagi yang dapat kugunakan untuk bertemu dengannya.

Kakakku, Johann, menyuruhku untuk menghentikan kekonyolanku dan bersikap dewasa. Itu berarti berhenti berbohong untuk mencari alasan bertemu Andrea. Ia menyuruhku untuk mengajak Andrea bertemu dengan cara yang benar. Aku berkeras bahwa aku tidak pernah mengejar laki-laki, bagaimana pun Andrealah yang harus menghubungiku.

Aku menunggunya menghubungi dengan hati nelangsa, tapi tetap keras kepala. Seminggu... dua minggu... tiga minggu... Akhirnya sebulan kemudian aku memberanikan diri meneleponnya. Ternyata Andrea sudah pindah ke Singapura. Wawancara pekerjaannya dulu gagal karenaku dan ia kehilangan peluang bekerja di negara tersebut, tetapi kemudian ada perusahaan lain yang lebih besar menghubunginya untuk bekerja bagi mereka dan setelah wawancara yang sangat mengesankan mereka segera mengurus visa kerjanya.

Ia baru saja berangkat ke Singapura sehari sebelum aku telepon. Saat menutup telepon aku baru sadar bahwa aku baru saja membuat dia membayar biaya roaming yang begitu mahal. Aneh, dia nggak membahas tentang roaming sama sekali.

Tiba-tiba saja aku merasa demikian sedih. Aku belum pernah menangisi kegagalan, tetapi hari itu aku menangis sedih sekali.

Entah bagaimana enam bulan kemudian kami bertemu kembali di bandara. Ia baru tiba di Jakarta dan aku sedang bersiap terbang ke Inggris. Kukatakan padanya mengenai rencana perjalananku yang lebih banyak melibatkan duduk merenung di kedai kopi di Skotlandia dan berharap mendapatkan ilham yang sama seperti J.K. Rowling saat menuliskan Harry Potter.

Ia menatapku dengan pandangan kasihan. "Kamu nggak bakat jadi penulis. Kamu terlalu bahagia."

Pernyataannya yang blak-blakan membuatku merasa tertampar. Belum pernah ada seorang pun yang menyatakannya secara terbuka.

Selama ini aku memang tidak pernah menyelesaikan novel-novelku dan paling hebat baru beberapa artikel perjalanan wisata yang kutulis berhasil dimuat di Kompas. Orangtuaku bangga sekali, tapi jauh di dalam hati aku tahu bahwa aku sebenarnya bukan siapa-siapa dalam dunia penulisan.

"Kenapa kamu bisa ngomong gitu?" tanyaku pelan.

"Kamu ga bisa nulis dengan kreatif karena kamu ga pernah susah. Semua seniman besar menghasilkan karya-karya terbaiknya saat mereka miskin atau kesusahan atau depresi. Lihat aja musisi Sting contohnya, sekarang dia bahagia dan ga pernah menghasilkan mahakarya apa pun lagi," Ia mengambil brosur tentang Skotlandia yang ada di tanganku.

"Kemana pun kamu pergi, yang kamu cari nggak akan ketemu. Inspirasi itu adanya di sini." Ia menaruh tanganku di dadanya.

Hatiku tergetar dan sampai aku mendarat di Heathrow, aku masih merasakan tanganku ada di dadanya. Akhirnya aku tak tahan lagi dan selama di Inggris aku mencari-cari Andrea di Facebook berharap bisa mencari tahu tentang dirinya lebih banyak, dan mencari alasan untuk menjalin kontak.

Sialan, ternyata ia tidak menggunakan situs jejaring sosial apa pun. Aku bahkan tidak tahu nama lengkap dan kantornya.

Aku merana di Edinburgh padahal seharusnya aku bersenang-senang liburan dan menikmati waktu teduh untuk memperoleh inspirasi menulis.

Akhirnya aku pulang dan menyerah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status