Tiba-tiba saja Andrea mengirimku email dan menanyakan bagaimana kabarku dalam pencarian inspirasi menulis. Entah darimana dia mendapatkan emailku tapi aku langsung merasa bahagia. Kayaknya aku belum pernah deh sebahagia waktu membuka komputerku di pagi hari dan mendapatkan email darinya.
Kami kemudian mulai sering berkirim email dan akhirnya kalau dia pulang dari Singapura untuk menjenguk ibunya, dia akan memberitahuku sehingga aku bisa mengatur jadwal perjalananku mencari inspirasi menulis. Kami pun mulai bertemu dengan normal, artinya tidak lagi melibatkan kunjungan terapi pura-pura ke rumah sakit. Kami menjadi sering janjian makan malam dan berbincang-bincang.
Pelan-pelan aku jadi tahu semua tentang dirinya, dan aku semakin menyukai pria itu. Aku pun mulai kembali bepergian ke Singapura agar bisa bertemu dengannya. Dulu aku pergi ke sana dengan ibuku hampir setiap minggu untuk belanja sehingga rasanya bosan dan aku memutuskan untuk puasa ke Singapura selama beberapa tahun. Lagipula Singapura bukanlah kota yang baik untuk mendapatkan inspirasi menulis.
Suatu kali ia berkata bahwa ia akan menjemputku di Bandara Changi. Aku sangat senang, karena biasanya Andrea sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk hal remeh temeh. Ia mengajakku makan malam di Clarke Quay dan kami pulang ke apartemennya.
Kami membuka sebotol prosecco untuk merayakan promosinya di tempat kerja. Bosnya yang berasal dari Kanada sekarang dipindahkan kembali ke negara asalnya dan sebagai penggantinya, Andrea dipromosikan ke posisi manajer di departemennya.
Aku sangat bangga padanya. Diam-diam aku sedih, karena sampai saat itu, satu-satunya prestasiku hanyalah menerbitkan beberapa tulisan perjalanan wisata di Kompas. Aku berkeras bahwa panggilan hidupku adalah menulis, dan aku yakin suatu hari nanti aku akan dapat memperoleh gebrakan yang kutunggu-tunggu. Aku tak mau membuang waktu dengan bekerja di perusahaan ayahku melakukan hal-hal yang tidak kusukai.
Malam itu, setelah dua gelas wine, Andrea melamarku. Aku ketakutan karena aku tidak pernah menginginkan menikah di usia semuda ini, 25 tahun. Dan aku tidak mau punya anak. Aku takut membayangkan bayi keluar dari vaginaku, belum lagi rasa sakitnya yang kata orang luar biasa. Aku saja masih belum becus mengurus diriku sendiri, apalagi makhluk-makhluk kecil lemah yang akan menguras waktu dan tenagaku. Lagipula populasi manusia di planet ini kan sudah banyak banget...
Tapi... aku tak mau Andrea berubah pikiran. Aku mencintai dan memuja pria serius penyabar ini. Aku tak mau kehilangan dirinya karena aku belum pernah merasakan perasaan seperti ini dengan siapa pun sebelumnya. Akhirnya aku menjawab aku bersedia, asalkan ia tidak keberatan bila aku tidak bisa memberinya anak. Ia menciumku sebagai tanda persetujuan.
***
Aku kemudian sadar bahwa Andrea menginginkan anak. Ia menganggap bahwa ketakutanku tidak nyata dan suatu hari nanti aku akan berubah pikiran dan menginginkan kehadiran buah hati, sama seperti dirinya. Kami menikah secara sederhana dan syahdu karena Andrea tidak menyukai konsumerisme, dan ia berhasil meyakinkan ibuku yang setengah mati menentang pernikahan yang tidak mewah.
Hanya ada aku dan dia dan pendeta serta orangtua kami di pantai pribadi salah satu hotel ayah di Bali. Aku belum pernah sebahagia di hari pernikahanku.
Tiga tahun menikah kami masih tidak membicarakan tentang anak. Aku mulai menulis dengan lebih aktif dan bahkan menyelesaikan dua novel. Tidak laku keras sih, tapi setidaknya aku berhasil menerbitkan sesuatu dengan upayaku sendiri.
Andrea berkata bahwa walaupun kesedihan dan penderitaan adalah sumber inspirasi paling kuat, namun kebahagiaan juga bisa membuatku merasakan emosi-emosi besar yang membantuku menulis. Aku yakin ia benar.
Pada tahun keempat, aku mulai sering melihat pandangan sedihnya saat melihat anak-anak kecil berkeliaran di sekitar apartemen. Aku tahu ia takkan membicarakan tentang anak sama sekali karena ia menghormati janjinya kepadaku. Namun, akhirnya aku tersentuh dan memutuskan untuk diam-diam mengunjungi dokter kandungan dan mencari tahu kehamilan dan cara melahirkan yang paling nyaman.
Dokter memberikan beberapa tes dan menyuruhku untuk datang kembali. Sehari sebelum janji temu berikutnya, ia menelponku dan menyuruh aku datang ke klinik bersama Andrea. Aku seketika mendapat firasat buruk dan alih-alih pergi kesana sendiri.
Hasil tesku sungguh mematahkan hati. Dokter menemukan kelainan pada rahimku yang membuatku tidak bisa punya anak.
Ini terasa bagai kutukan.
Karena keenggananku memiliki anak selama bertahun-tahun....sekarang aku dihukum.
Aku sangat sedih, aku tak tahu bagaimana menyampaikan hal ini kepada Andrea, aku tahu ia sangat menginginkan anak.
Ketika aku tiba di rumah, aku menemukan Andrea terduduk di kursi balkon dengan wajah bingung. Seharusnya ia bekerja, tetapi malah ada di rumah seperti ini. Aku menjadi sangat keheranan dan seketika perasaanku menjadi tidak enak.
"Wina...aku..." ia menelan ludahnya seakan sulit mencari kata-kata. "Aku punya anak laki-laki."
Bagai petir di siang bolong, kesedihanku seketika terganti oleh kemarahan. Dengan terbata-bata Andrea menjelaskan bahwa ia baru menerima email dari kekasih pertamanya dulu, yang bertahun-tahun menjalin hubungan cinta dengannya dan berjuang memperoleh restu orangtua namun akhirnya gadis itu menyerah dan pindah ke Inggris untuk melanjutkan kuliah. Ternyata ia meninggalkan Andrea karena dipaksa orangtuanya.
Gadis itu hamil dan mereka malu bila relasi dan kerabat mengetahui hal itu, sementara menikahkannya dengan Andrea bukanlah pilihan yang mereka sukai. Anak itu sekarang sudah berumur 6 tahun, lahir dan besar di Inggris. Aku melihat fotonya, sangat mirip dengan Andrea. Hatiku terkoyak mengingat ketidakmampuanku sendiri memberikan keturunan bagi pria yang sangat kucintai ini.
Hanya ada satu alasan mengapa perempuan itu mengirimkan foto anaknya. Ia masih belum melupakan Andrea dan ingin mereka kembali bersama sebagai sebuah keluarga. Dalam suratnya perempuan itu mengatakan bahwa sekarang ia sudah dewasa dan bisa mengambil keputusan sendiri, tidak lagi peduli pada kungkungan orangtua. Dan ia ingin anaknya mengenal Andrea sebagai ayah.
Aku tahu aku bersikap egois, tapi aku tidak mengizinkan Andrea menemui anak itu. Aku tak ingin setiap menatap anak itu ia melihat kehilangan apa yang dia alami... Anak yang seharusnya dia miliki, keluarga sempurna yang seharusnya mengisi hidupnya. Aku hanya kekasih kedua.
Andrea tidak marah. Ia menghormati keputusanku sebagai istrinya untuk tidak menemui anaknya dari perempuan lain, tetapi aku bisa melihat kesedihannya semakin hari semakin mendalam. Aku tak sampai hati melihatnya.
Akhirnya ketika ia datang memberitahuku bahwa ada tawaran untuk bergabung dengan mantan bosnya yang mendirikan perusahaan cyber security di Inggris dan ia berniat menerimanya, aku katakan bahwa aku bangga kepadanya dan mendukungnya untuk pindah ke Inggris sementara aku memilih kembali ke Indonesia.
Aku mencintainya lebih daripada diriku sendiri. Karena itulah aku mengalah dan membiarkan ia bahagia dengan keluarga yang seharusnya ia miliki.
“Aku hanya akan ambil kerjaan ini selama duatahun” kata Andrea sambil meremas tanganku. Aku mengangguk. Aku tak perlu susah payah meyakinkan suamiku bahwa aku tidak sanggup ikut dengannya ke London. Mungkin ia mengira suatu saat nanti aku akan berubah pikiran dan menyusulnya, sama seperti aku berubah pikiran tentang punya anak.After 5 years together, he still hasn't realized that I rarely change my mind.Aku mengantarnya ke bandara malam itu dan melepas kepergiannya dengan tersenyum. Andrea akan tinggal di hotel selama sebulan sampai ia menemukan rumah yang pas untuk jadi tempat tinggal. Perusahaan yang membayar semuanya.
"Hai, Wina.Are you feeling better?Mau ikut ke pantai, nggak?" tanya Johann saat melihatku keluar kamar menenteng laptop. "Di sana enak lho kalau mau nulis."Sebelum aku menjawab ia sudah mengambil laptop dari tanganku dan menarikku berjalan mengikuti keluar. Hanya 10 menit berjalan kami tiba di Pantai Lakey Peak yang cantik. Di sana ada sebuah paviliun kecil dengan kursi yang nyaman menghadap laut dan Johann mengajakku duduk.Beberapa turis asing terlihat asyik berselancar di tengah lautan. Aku melihat anak-anak bermain di pantai dengan ceria dan sebagian juga ada yang menenteng papan selancar. Anehnya ada beberapa anak itu yang berambut pirang dan terlihat campuran.
Aku tidak pernah membalas email Andrea. Panggilan teleponnya pun tidak pernah kuangkat, dia pasti sekarang mengerti bahwa aku masih belum sanggup bicara dengannya. Pengacaraku bilang dia sudah menerima dokumen perceraian enam bulan lalu tetapi hingga kini tidak ada tanggapan darinya.Diam-diam aku berharap Andrea akan memperlambat prosesnya, walaupun aku tahu cepat atau lambat kami akan berpisah secara resmi, dan akan tiba hari di mana aku bisa menatap matanya dan berbicara.Tanpa sadar aku menjelajahi Facebook dan mencari berita tentang Adelina Surya lagi. Kali ini aku melihat akun media sosialnya sudah aktif. Adelina tampak bahagia tinggal di London dengan anaknya. Di foto profilnya tampak ia dan Ronan, anaknya, serta Andrea berfoto dengan
Aku sudah terkenal pelupa sejak masih kecil. Tidak terhitungberapa puluh kali aku kehilangan dompet, handphone, tas dan bahkan paspor. Namun aku tidak pernah lupa saat pertama kali bertemu Andrea di bandara 6 tahun yang lalu. Waktu itu aku seperti burung, selalu terbang kesana kemari dengan alasan mencari inspirasi menulis. Aku juga tidak mengerti kenapa aku selalu merasa gelisah jika berdiam di suatu tempat lebih dari dua bulan.Mungkin karena saat itu aku belum menemukan "rumahku". Setelah menikah dengan Andrea rasa gelisah itu hilang, diganti dengan rasa nyaman dan cepat puas. Duduk mengetik di balkon apartemen kami setiap sore sambil menunggu Andrea pulang kerja rasanya sangat menentramkan.Kadang-kadang kami makan di luar dan mengo
Aku mula-mula diundang panitia UWRF untuk berbicara karena novel Tasi, tetapi kemudian novel baruku terbit dan Genta Publishing ingin menggunakannya sebagai ajang promosi juga. Aku tak menyangka banyak sekali peserta yang memadati sesiku di hari kedua UWRF.Mbak Ria dari penerbit memberitahuku bahwa stok buku yang kami bawa juga sudah habis, sungguh di luar dugaan. Tahun lalu waktu aku menghadiri acara ini, aku masih bukan siapa-siapa."Saya suka baca novel Mbak Ludwina, karena selain idenya segar, saya bener-bener bisa masuk ke dunia yang Mbak sampaikan, karakter-karakternya jugabelievablebanget. Novel Tasi bikin saya tertarik untuk baca sejarah Indonesia. Dear Sophia juga sangat penuh dengan
Aku pernah menulis bucketlist (daftar keinginan) waktu masih kuliah. Dengan kekayaan orangtuaku hal-hal yang bisa dibeli dengan uang cepat sekali terpenuhi. Sky diving di Dubai? Sudah. Makan di restoran gantung di Belgia? Sudah. Melihat aurora, sudah beberapa kali. Safari di Afrika untuk melihat Big Five juga sudah.Yang sulit untuk dipenuhi dan memerlukan waktu lama adalah hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Misalnya mengunjungi semua negara di dunia. You don't just need money, but also time...
OKTOBER 2012Andrea belum pernah keluar negeri sebelumnya. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kaki di bandara. Hari ini ia harus terbang ke Singapura untuk wawancara pekerjaan di sebuah perusahaan IT internasional. Bandara sekarang cukup banyak berubah dibandingkan tiga tahun lalu saat ia pertama kali ke sini.Ia masih ingat peristiwa tiga tahun lalu itu. Ia tidak tahu pasti jadwal penerbangan Adelina, yang jelas ia akan terbang ke London malam itu. Andrea sudah memeriksa semua jadwal penerbangan yang masuk akal dan memutuskan untuk datang lebih awal.
Adelina balas mencium Andrea dengan penuh cinta, dan semua kekuatiran yang selama ini menggelayuti hati mereka tentang masa depan perlahan sirna. Andrea dan Adelina hanya memikirkan rencana pernikahan diam-diam mereka di Singapura tiga bulan lagi dan rasanya semesta turut berbahagia dengan keberanian sepasang pemuda itu mengambilkeputusan."Kita harus merayakan pertunangan kita!" Adelina mengeluarkan sebotol red wine dari tasnya dan menaruh di meja makan bersama makan malam yang telah siap dimasak."I cannot wait to spend the rest of my life with you."Malam itu adalah malam paling membahagiakan dalam hidup Andrea. Mereka merayakan cinta mereka yang sudah tumbuh sejak mereka berusia 16 tahun, d
"Aku sayang banget sama kamu, Andrea," bisik Ludwina ke telinga Andrea, "Aku ingin menghabiskan setiap hari mencintaimu."Andrea membantu Ludwina membuka pakaiannya dan dengan sangat hati-hati mencumbu istrinya. Ia sungguh merindukan tubuh Ludwina dan bercinta dengannya. Ia selalu menahan diri setelah mereka berkumpul bersama karena takut membuat Ludwina sakit, tetapi hari ini istrinya yang berinisiatif untuk bercinta dan ia tidak akan mengecewakannya.Mereka bercinta dengan sangat lembut dan menikmati setiap detik kebersamaan itu, jauh lebih syahdu dari biasanya, karena mereka tahu setiap detik mereka bersama adalah sangat berharga.Andrea sangat lega melihat rona wajah kemerah-merahan Ludwina yang diliputi rasa bahagia saat mereka tidur malam itu. Ia berharap dapat membekukan momen itu selamanya.***Bu Inggrid, Pak Kurniawan dan Johann kaget setengah mati ketika akhirnya Andrea memberi tahu mereka tentang penyakit Ludwina. Atas permintaan istrin
Mereka tiba di coffee shop langganan mereka dan barulah Andrea meletakkan Ludwina di kursi. Ia memesan kopi favorit keduanya lalu duduk di samping Ludwina sambil menggenggam tangannya. Ia tak mau melepaskan gadis itu sama sekali. Takkan pernah lagi!"Kamu mau berapa lama di New York?" tanyanya saat mereka sedang menikmati kopinya. "Aku mesti beli baju banyak kalau kita akan lama di sini.""Aku nggak tahu..." jawab Ludwina. "Aku mesti ketemu dokterku untuk konsultasi lagi besok.""Oke, aku ikut ya." kata Andrea cepat.Ludwina mengangguk.Mereka tidak membahas penyakit Ludwina sampai keduanya tiba di hotel. Andrea merasa lebih baik jika ia mendengar langsung dari dokter. Ia tak ingin membuat istrinya stress dengan berbagai pertanyaannya.Setelah memastikan Ludwina beristirahat, Andrea pergi ke toko terdekat dan membeli pakaian. Ia menolak ditemani karena tidak ingin Ludwina menjadi kelelahan. Setelah kembali ke hotel ia memesan makanan dan mer
Karena Ludwina tidak mengangkat ponselnya, Andrea akhirnya menghubungi Johann untuk mencari tahu keberadaan istrinya. Dari Johann ia mengetahui bahwa Ludwina sudah berangkat ke New York. Andrea segera memesan penerbangan ke sana tetapi kemudian ia sadar bahwa visa Amerika yang ada di paspornya baru saja kedaluwarsa.Ia ingat 5 tahun lalu mengajukan visa Amerika karena berniat traveling ke sana bersama Ludwina tetapi mereka malah menikah di Bali dan baru berangkat setahun kemudian. Visa yang diperolehnya valid untuk 5 tahun dan baru berakhir minggu ini.Sungguh mematahkan hati. Ketika akhirnya ia mengetahui apa yang terjadi dengan Ludwina, Andrea tak bisa segera menyusulnya.Andrea buru-buru pulang ke Inggris dan mengajukan visa Amerika lewat kedutaan Amerika Serikat di London. Ia sangat gelisah dan tidak bisa tidur sambil menunggu visanya diproses. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dari Ludwina dengan bekerja, tetapi tidak berhasil."Joe, aku perlu bicar
Sebenarnya Ludwina patah hati saat meninggalkan Andrea di pantai. Ia tak pernah melihat suaminya menangis sebelumnya dan hatinya tercabik-cabik saat ia harus menampilkan wajah dingin dan pergi meninggalkannya begitu saja.Ini demi kebaikan Andrea, berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri.Ludwina segera memintaconciergememesankan taksi untuknya dan kembali ke Hotel Kanawa. Setibanya di sana ia segera masuk ke kamar dan mengurung diri. Tubuhnya merasa sangat lelah dan ia tak mampu bertemu siapa pun. Telepon dari Mbak Ria, editornya, pun harus ia tolak. Ia hanya mengirim SMS bahwa ia akan datang ke sesinya di UWRF besok dan hari ini ia ingin beristirahat dengan tanpa gangguan.***Andrea sebenarnya tergoda untuk datang ke UWRF dan melihat Ludwina lagi. Tetapi setiap mengingat betapa gadis itu masih belum memaafkannya, Andrea merasa sakit dan mengurungkan niatnya. Sepanjang hari ia hanya mencoba menghilangkan ke
Ludwina yang tiba di Hotel Hilton keesokan harinya mengira guest relation officer yang menemuinya juga mengenalinya sama seperti beberapa penggemar yang ia temui di Central Park. Ia mengikuti saja ketika staf itu membawanya ke kamar cantik menghadap laut yang ditinggali Andrea.Ia sebenarnya sudah check in di Hotel Kanawa milik ayahnya, sehingga ke Hilton hanya dengan membawa tas tangannya. Ia ingat bahwa hari ini adalah ulang tahun pernikahannya dengan Andrea. Mungkin ia akan menerima untuk makan malam bersama Andrea terakhir kalinya sebelum meminta dokumen perceraian itu dari suaminya dan mengakhiri pernikahan mereka.Ia melihat bunga dan prosecco dengan pita merah di kamar itu. Hatinya seketika terasa sakit, ia masih ingat dengan jelas malam itu ketika Andrea melamarnya. Ia melihat dua kemeja Andrea yang dibelikannya sebelum suaminya itu berangkat ke London dan pertahanannya runtuh.Ludwina kembali menangis untuk kesekian kalinya. Tadinya ia sudah mampu bersi
Suasana menjadi syahdu dengan hujan rintik-rintik di luar jendela. Andrea lalu mengeluarkan sebotol wine dan dua gelas serta segelas jus untuk Ronan. Ia menuangkan wine untuk dirinya dan Adelina. Ia menyerahkan gelas berisi wine kepada gadis itu. Adelina menerimanya dengan sepassang mata masih berkaca-kaca."Sore-sore begini pas sekali untuk minum wine. Lumayan bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik." Andrea mendentingkan gelasnya ke gelas Adelina dan meneguk wine-nya. "Minumlah... biar kau merasa baikan."Adelina mengangguk dan menyesap wine-nya. Wajahnya yang suram perlahan-lahan tampak mulai cerah."Wine makes adulting bearable(Wine membuat orang dewasa bisa bertahan hidup)." katanya dengan senyum mulai menghiasi wajahnya. Keduanya tertawa kecil. Andrea mengangguk juga, membenarkan."Aku tahu kamu perempuan kuat, tapi kalau kamu merasa sedang sedih dan ingin berbagi, tempatku dan segelas wine selalu siap menunggu," kata Andrea kemu
SEPTEMBER 2018.Sudah setahun Ludwina dan Andrea berpisah. Andrea sudah mulai menerima kenyataan bahwa mungkin Ludwina tidak akan pernah memaafkannya, tetapi ia sungguh sangat ingin bertemu istrinya satu kali saja, untuk berusaha meyakinkannya...Email dari panitia international cyber security conference di Bali tiba pada suatu pagi. Mereka mengundang Andrea untuk menjadi salah satu pembicara di acara bergengsi itu. Ia sudah dikenal sebagai pakar security terbaik di Asia Pasifik dan panitia sangat bangga bahwa di acara mereka akan hadir seorang pakar dari Indonesia.Tanggalnya bertepatan dengan hari ulang tahun pernikahan mereka yang ke-5. Seharusnya bulan depan mereka mengadakan pesta, untuk memenuhi janji kepada Bu Inggrid yang dulu sangat ingin merayakan pernikahan mereka secara besar-besaran.Tiba-tiba kerinduan Andrea kepada Ludwina terasa menyesakkan... Ia hampir meneteskan air mata saat mengingat pernikahan mereka di Bali l
Setelah enam bulan di London, Andrea masih belum menerima balasan dari email-emailnya. Ia tetap setia mengirim email setiap hari Minggu, tetapi kini ia sudah belajar untuk menerima kenyataan bahwa Ludwina tidak akan membalas.Kondisi perusahaan sudah stabil dan ia sudah bisa mengambil cuti. Andrea sangat tergoda untuk membeli tiket dan menyusul Ludwina di mana pun gadis itu sekarang berada. Ia menemukan akun instagram atas nama Ludwina dan setiap beberapa hari Ada foto yang menunjukkan keberadaan gadis itu. Mungkin sekarang Ludwina sudah kembali seperti Ludwina yang dulu, yang senang pamer foto travelingnya saat masih belum bersama Andrea.Kalau ia mengikuti keberadaan Ludwina dari akun instagramnya, ia tidak melanggar janjinya untuk tidak menguntit istrinya karena informasi yang dibagikannya di Instagram dibuat publik, demikian pikir Andrea meyakinkan dirinya sendiri"You want to take some leave(Kau mau ambil cuti)?" tanya Joe siang itu ketika An
Ludwina tidak mengira bahwa novel sejarah yang ditulisnya mendapatkan sambutan sangat baik. Ini membuatnya sedikit terhibur. Ia sudah tidak memiliki akun di media sosial, tetapi ia banyak membaca review positif di internet dan berbagai artikel yang memuji ceritanya. Hal ini membuatnya semakin bersemangat menulis.Setelah menenangkan diri di Italia, Ludwina memutuskan untuk ke Belanda untuk meneliti sumber-sumber sejarah untuk novel lain yang sedang ditulisnya. Ia sangat tertarik mengeksplor sejarah Indonesia pasca Perang Dunia 2 saat orang-orang keturunan Belanda, atau indo, dipaksa pergi dari Indonesia karena dianggap sebagai keturunan penjajah, padahal banyak dari mereka lahir dan besar di Indonesia, dan tak pernah mengenal negeri Belanda.Ludwina meminum banyak obat tetapi ia masih menolak kemoterapi karena ia tidak mau keluarganya mengetahui penyakitnya. Penampilannya setelah kemo akan sangat kentara dan ia tidak ingin mereka curiga karena tubuhnya akan menjadi san