“Mau Khair antar, Teh?” tawar Khair ketika Khaira bersiap pergi ke rumah sakit. Pagi itu dia hanya datang sebentar untuk membuka kedai dan membantu Bi Ocih menyiapkan keperluan di kedai. Setelahnya, dia pamitan.
“Enggak usah. Teteh jalan sendiri aja, biar lebih hemat.”
Khair tertawa. Namanya juga antar jemput naik angkot, ongkos pasti doble jadinya. “Kalau gitu, naik taksi online aja, teh. Atau ... minta jemput sama Aa dokter.”
Khaira melotot. Sedangkan Bi Ocih cekikikan di belakang gadis itu.
“Sudah, ya.Teteh pergi dulu! Assalamualaikum.” Khaira berusaha menghindar. Sungguh pun dia dan dokter Huda sudah berencana menikah, tapi tetap saja Khaira malu jika apa-apa tentang dirinya dihubung-hubungkan terus dengan lelaki itu.
Di rumah sakit pun, Khaira tidak menemui dokter Huda karena memang tidak ada jadwal psikoteraphy hari itu. Dia ke sana khusus untuk menjenguk nenek dan mengiriminya makanan.
K
Lepas subuh, Khaira ditelepon Mbak pengurus panti yang menjaga neneknya.“Mbak Khaira bisa ke rumah sakit sekarang?”“Ada apa, Mbak?”“Neneknya Mbak ... meninggal dunia.”Bak disambar petir, Khaira menjatuhkan gawainya tanpa sadar. Bulir bening sudah membasahi pipinya. Dia langsung memanggil Khair.Adiknya itu tidak bisa menolak ketika sang Kakak memintanya mengantar ke rumah sakit. Mereka langsung meluncur dengan motor pinjaman dari Mang Ajat.Sepanjang jalan Khaira menangis di punggung adiknya. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi kepada neneknya, sebab kemarin semuanya baik-baik saja.“Tabah ya, Mbak. Ikhlaskan ....” Mbak pengurus panti memeluk Khaira.“Apa yang terjadi dengan nenek? Kenapa Mbak enggak ngabarin dari semalam?”“Tadi sore, anak dan menantunya nenek kemari. Saya tahu mereka karena dulu mereka yang membawa nenek ke panti.” Mba
“Selamat datang di kedai kopi Khaira,” sambut Khaira, bersama segaris senyum yang mempercantik wajahnya. “Ibu mau pesan apa?” tanyanya kepada seorang pelanggan wanita setengah tua yang muncul di kedainya sore itu.Wanita itu berwajah ayu, hasil perawatan yang tentunya tidak murah. Usianya sudah diatas 50, namun masih terlihat segar seperti masih berusia 40-an. Menenteng tas tangan tangan, penampilannya memang sederhana, tapi harganya pasti luar biasa. Tasnya branded, outfitnya stylish, bahkan kaca matanya saja dari merek terkenal.Khaira dan apronenya nampak kumal di hadapan dia.“Kamu yang bernama Khaira?” tanya wanita itu dengan tatapan tajam.“Iya. Ibu siapa?”Wanita itu tegas dan luga menjawab, “Saya ibunya Huda.”Khaira tergagap. “Ibu ... oh, iya.” Dia mengulurkan tangan untuk menyalami wanita itu. Namun, tak ditanggapi. “Mari duduk dulu, Bu.” Khaira lan
Ambyar sudah mimpi indah Riang untuk bisa meresmikan hubungan dengan Khair, setelah pemuda itu bicara baik-baik kepadanya ketika menutup kedai hari itu. “Soal tadi, aku minta maaf!” ucap Khair. Riang mengangguk lemah. “Yang jelas, aku mau fokus kuliah S2. Aku belum mau menikah, dengan kamu atau siapapun juga. Kecuali, jika Allah berkehendak. Paham, kan?” Riang mengangguk semakin lemah. “Salam buat Abi kamu, ya!” Khair mengunci pintu kedai. “Semoga kamu dapat jodoh yang terbaik, Riang!” Mata Riang berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyerah memperjuangkan sesuatu yang diinginkannya. Namun tentang Khair, dia pun tidak bisa memaksa. Soal jodoh, Allah lah yang mengaturnya. Riang sadar akan hal itu. Dia hanya merasa malu karena ini pertama kalinya dia ditolak. Padahal biasanya, dia yang menampik orang orang lain. Dia juga merasa takut, jika dijodhkan dengan orang yang tidak dia suka. Namun, dia tidak mungkin menahan langka
Malam itu Khair hanya bisa menyampaikan segala kekhawatirannya dan keresahannya kepada Allah. Dia tahu kakaknya tidak sedang baik-baik saja. Sejak nenek meninggal, mata Khaira selalu nampak sembab. Selain duka cita yang dalam, Khair merasa kakanya juga sedang memendam sebuah persoalan tentang hubungannya dengan dokter Huda.‘Mungkin itu yang membuat Teh Khaira menangis semalam,’ pikir Khair sambil melirik kalender di dinding ruang tengah. Tanggal hari ini menunjukkan jadwal pengambilan toga di kampus. Lusa, Khair Wisuda. Sementara Khaira juga ada jadwal psikoteraphy.Saat Khair sedang memikirkan managemen waktu sekaligus kekhawatiran soal kondisi Khaira, kakaknya itu keluar dari kamar. Tubuhnya masih berbalut piyama lengan panjang. Bergo yang dikenakannya juga masih sama dengan yang semalam.“Khair ....” panggil Khaira.“Iya, Teh. Ada apa?”Khaira menghampiri adiknya, lalu duduk di kursi dekat meja kecil yang mem
Kabut masih menggantung ketika Khair dan Khaira menginjakkan kaki di pelataran sebuah gedung. Wisuda di helat di sana pagi itu. Gedung serbaguna di sebuah kawasan wisata alam menjadi tempat digelarnya acara.Jejak sembab telah sempurna hilang dari mata Khaira. Keceriaan juga terpancar dari wajah adiknya yang hari itu akan diwisuda.Area parkir sudah dipenuhi barisan kendaraan saat motor Mang Ajat yang dikendarai Khair memasuki area. Para calon wisudawan dan keluarga mereka sudah memenuhi halaman. Mereka masing-masing membentuk kelompok dengan sesama teman ataupun keluarga.Khair segera mengenakan toga yang dibawanya dalam tas. Lantas, dia menemani Khaira menunggu tibanya waktu untuk memasuki ruangan wisuda. Ini adalah pengalaman pertama bagi Khair. Namun, justru kakaknya lah yang lebih gugup untuk megikuti prosesinya.Khaira tidak terbiasa berkumpul dengan para akademisi kecuali mahasiswa pelanggan kopi di kedainya. Ada beberapa orang yang dia kenal
Khair celingukan mencari dosen kesayangannya. Ustaz Ahsan memang tidak terlihat dimanapun ketika Khair selesai berurusan dengan kerumunan kawan-kawannya yang menyalami dan minta foto bersama. Dia bahkan belum berfoto bersama dosen yang juga kawan baiknya itu.“Teteh lihat Ustaz Ahsan enggak?” tanya Khair begitu mendapati tempat duduk Khaira di ruang makan.“Tadi sepertinya lewat, tapi enggak tahu kemana.”“Hm ....”“Kenapa?”“Khair belum foto bareng dia.”“Memang harus, ya?”“Dia dosen pembimbing Khair, Teh. Dia sudah banyak bantu Khair di kampus. Dia juga baik banget sama Khair. Pokoknya, enggak ada duanya deh Ustaz Ahsan mah. Khair mau foto sama dia buat kenang-kenangan.”“Tapi, makan dulu!”“Sip.”Tak lama kemudian, Riang yang baru kembali dari toilet nampak terkejut melihat Khair menempati kursinya. &nbs
Saat pamitan kepada Ustaz Ahsan, gawai Khair berbunyi. Dia langsung menjawab panggilan masuk dari calon kakak iparnya.Dokter Huda mengucapkan selamat atas wisudanya sekaligus minta maaf karena tidak bisa ikut hadir atau menemuinya secara langsung.“Tidak apa-apa,” ucap Khair. “Yang penting semuanya berjalan lancar.”“Oh iya, salam buat Khaira, ya!”Khair mesem sambil menatap kakaknya. Setelah telepon ditutup, dia berbisik kepada Khaira di depan Ahsan yang kepanasan meski mentari tidak terlalu terik siang itu. “Teh, ada salam dari kakak ipar!”“Wa’alaikumsalam,” jawab Khaira datar.“Enggak pake manis-manis dikit gitu, Teh?” goda Khair.“Enggak usah, nanti diabetes.”Khair cengar-cengir. Dia paling suka menggoda kakaknya yang sebentar lagi akan menikah itu. Padahal, saat itu Khaira benar-benar tidak nyaman karena harus menyembunyikan sesuat
Khaira menatap kalender yang menempel di dinding rumah. Hari ini, dia ada jadwal psikoterapy. Khair sudah mewanti-wanti agar dia langsung pergi ke rumah sakit tanpa mampir dulu ke kedai. Namun, Khaira merasa sangat berat untuk bertemu kembali dengan dokter Huda. Saat sedang galau itulah, Khair meneleponnya. “Teh Khaira sudah berangkat?” tanya dia, seolah memeastikan keberadaan kakaknya. “Belum.” “Pantesan dokter nanyain. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan, jadi Teh Khaira harus datang. Teteh bisa kesana sekarang atau mau Khair antar?” “Hm ....” Khaira masih memikirkan jawabannya. “Teh, kedai sepi gini ... Riang kemana? Bolos terus dia,” lapor Khair tiba-tiba. “Kangen, ya?” goda Khaira. “Ish ....” “Hm ... Riang sudah resign.” “Hah ... kapan?” “Beberapa hari yang lalu, waktu kamu mau wisuda.” “Ko enggak bilang-bilang?” Suara Khair sendu. “Ke Teteh mah bilang. Ke Bi Ocih ju
Dear Good Novel readers, Terima kasih saya ucapkan untuk pembaca setia Khair dan Khaira. Semoga ending kisah ini menyenangkan. Saya harap pembaca bisa mengambil sesuatu di dalamnya. Bukan sekedar hiburan yang menyenangkan, tetapi saya juga ingin pembaca merasakan manfaat dari bacaannya. Semoga ada hikmah atau pelajaran yang bisa diambil dalam cerita ini dan bisa menjadi kebermanfaatan bagi semua pembacanya. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan yang mungkin tertulis di dalamnya. Saya sangat mengharapkan masukan dan saran dari semuanya sehingga saya bisa melakukan perbaikan pada karya-karya berikutnya. Oh, iya ... apakah Khair dan Khaira perlu dibuat sekuelnya? Sebenarnya, ide untuk melanjutkan kisah ini sudah ada. Namun, saya perlu pendapat dari pembaca juga. Tolong berikan masukan dan saran di kolom komentar, ya. Sekali lagi, terima kasih bayak atas dukungannya, baik dalam bentuk vote, komentar, maupun ulasan tentan
“Jangan nangis, Teh,” bisik Khair saat mereka berpelukan. “Khair enggak bawa sapu tangan.” Pemuda itu tertawa. Namun, matanya jelas berkaca-kaca. Dia juga merasa berat meninggalkan kakaknya.Khaira menggelengkan kepala. “Awas kamu ... jangan kangen sama tumis kangkung Teteh loh, ya ...!”Tanpa sadar keduanya sesenggukan.“Khair mau minta sesuatu sama Teteh ....” ucap dia sebelum melepas pelukan.“Apa?”“Khair minta keponakan!” Dia terkekeh sambil mengusap bulir yang jatuh jatuh dari sudut matanya.“Kamu mah ....” Khaira melepas pelukan sambil mencubit lengan adiknya.Khair meringis.“Kenapa?” tanya Ahsan khawatir.“Khair lupa minum obat,” sahut Khaira sekenanya. Mukanya sudah kemerah-merahan menahan malu campur kesal. Jika tidak ingat bahwa hari itu adalah pertemuan terakhirnya dengan sang Adik sebelum pergi dalam
Sehari setelah pernikahan Khaira dengan Ahsan, Khair dijadwalkan terbang ke Malaysia. Pemuda yang akan menjalani perkuliahan pascasarjana itu sudah menyiapkan koper dan bekal.Dia sudah janjian dengan Ahsan dan Khaira yang akan datang menjemput dan mengantarnya ke Bandara. Jadi, begitu terdengar ketukan di pintu, Khair langsung keluar dengan wajah ceria. Namun, langkahnya terhenti kala mendapati seseorang berdiri di dekat pintu masuk. Orang itu bukan kakaknya.Khair menatap heran. Keberadaan orang tersebut sungguh di luar dugaannya.“Hm ....” Khair jadi speechless. “Kenapa kamu ada di sini?” tanyanya kepada sosok wanita bercadar yang tampak sudah lama berdiri di depan pintu itu. Dari mata dan tatapannya saja Khair langsung bisa mengenali siapa wanita itu.“Riang ke sini hanya mau menyampaikan sesuatu.”Heran bercampur penasaran membuat jantung Khair sedikit berdebar. “Apa yang mau disampaikan Riang?”
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill