Khair celingukan mencari dosen kesayangannya. Ustaz Ahsan memang tidak terlihat dimanapun ketika Khair selesai berurusan dengan kerumunan kawan-kawannya yang menyalami dan minta foto bersama. Dia bahkan belum berfoto bersama dosen yang juga kawan baiknya itu.
“Teteh lihat Ustaz Ahsan enggak?” tanya Khair begitu mendapati tempat duduk Khaira di ruang makan.
“Tadi sepertinya lewat, tapi enggak tahu kemana.”
“Hm ....”
“Kenapa?”
“Khair belum foto bareng dia.”
“Memang harus, ya?”
“Dia dosen pembimbing Khair, Teh. Dia sudah banyak bantu Khair di kampus. Dia juga baik banget sama Khair. Pokoknya, enggak ada duanya deh Ustaz Ahsan mah. Khair mau foto sama dia buat kenang-kenangan.”
“Tapi, makan dulu!”
“Sip.”
Tak lama kemudian, Riang yang baru kembali dari toilet nampak terkejut melihat Khair menempati kursinya. &nbs
Saat pamitan kepada Ustaz Ahsan, gawai Khair berbunyi. Dia langsung menjawab panggilan masuk dari calon kakak iparnya.Dokter Huda mengucapkan selamat atas wisudanya sekaligus minta maaf karena tidak bisa ikut hadir atau menemuinya secara langsung.“Tidak apa-apa,” ucap Khair. “Yang penting semuanya berjalan lancar.”“Oh iya, salam buat Khaira, ya!”Khair mesem sambil menatap kakaknya. Setelah telepon ditutup, dia berbisik kepada Khaira di depan Ahsan yang kepanasan meski mentari tidak terlalu terik siang itu. “Teh, ada salam dari kakak ipar!”“Wa’alaikumsalam,” jawab Khaira datar.“Enggak pake manis-manis dikit gitu, Teh?” goda Khair.“Enggak usah, nanti diabetes.”Khair cengar-cengir. Dia paling suka menggoda kakaknya yang sebentar lagi akan menikah itu. Padahal, saat itu Khaira benar-benar tidak nyaman karena harus menyembunyikan sesuat
Khaira menatap kalender yang menempel di dinding rumah. Hari ini, dia ada jadwal psikoterapy. Khair sudah mewanti-wanti agar dia langsung pergi ke rumah sakit tanpa mampir dulu ke kedai. Namun, Khaira merasa sangat berat untuk bertemu kembali dengan dokter Huda. Saat sedang galau itulah, Khair meneleponnya. “Teh Khaira sudah berangkat?” tanya dia, seolah memeastikan keberadaan kakaknya. “Belum.” “Pantesan dokter nanyain. Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan, jadi Teh Khaira harus datang. Teteh bisa kesana sekarang atau mau Khair antar?” “Hm ....” Khaira masih memikirkan jawabannya. “Teh, kedai sepi gini ... Riang kemana? Bolos terus dia,” lapor Khair tiba-tiba. “Kangen, ya?” goda Khaira. “Ish ....” “Hm ... Riang sudah resign.” “Hah ... kapan?” “Beberapa hari yang lalu, waktu kamu mau wisuda.” “Ko enggak bilang-bilang?” Suara Khair sendu. “Ke Teteh mah bilang. Ke Bi Ocih ju
Sesi psikoterapy yang biasanya hanya berlangsung satu jam menjadi mulur hingga dua jam. Dokter Huda bahkan melewatkan jam makan siang demi memastikan Khaira baik-baik saja. Namun, selepas shalat dzuhur, wanita itu bahkan menolak tawarannya untuk diantar pulang. Dengan berat hati, dokter Huda membiarkan Khaira pergi pangeran yang ditinggalkan Cinderella tepat pada jam 12 malam. Dicegah pun tak bisa, Cinderellanya sudah kadung menutup pintu hati. Melangkah keluar dari ruang psikoteraphy, Khaira menuju pintu belakang, melewati area ruang VIP. Langkah gontainya terhenti saat mendapati sepasang mata terbelalak menatapnya dari kejauhan. Khaira tertegun sejenak. Lamat-lamat dia mengingat wajah lelaki di atas kursi roda yang kini masih menatapnya seakan tak percaya. “Tunggu!” kata lelaki itu, seraya menggerakkan kursi khusus yang didudukinya itu. Khaira menggelenggkan kepala. Dia memang lupa dengan wajah sepuh yang dulu sangat tegas dan angkuh itu. Na
Entah untuk kali kesekian, Khaira kembali duduk di mobil Ahsan. Mereka tidak saling kenal secara personal, namun Khaira sendiri heran kenapa dosen Khair itu selalu ada di mana-mana, tepatnya dimana pun Khaira berada. Setiap kali menumpangi mobil mewah Ahsan, kondisi Khaira selalu dalam keadaan tidak menyenangkan. Pertama, waktu ke puskeswan karena kucing yang kecelakaan. Kedua, ketika pingsan di tengah jalan. Ketiga, ketika neneknya dimakamkan. Bukan pembawa sial, Khaira justru merasa dosen Khair ini sangat baik, terlalu baik malah. Diam-diam dia bersyukur dan sangat berterima kasih kepada pria itu. Namun, tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Jika diungkapkan, berapa banyak terima kasih yang harus Khaira ucapkan coba? Di dalam mobil, Khaira diam saja. Perasaannya campur baur. Segan iya, kesal juga ada. ‘Apa kata Khair jika melihat kakaknya pulang diantar dosen adiknya?’ pikir Khaira. Dia menggigit bibir saking bingungnya. Mau beralibi apa dia?
Khair sedang berjalan di trotoar saat melihat mobil Ahsan melintas dengan kencang dari arah kedai. Kecepatannya membuat sang Pengemudi tidak memperhatikan apapun selain jalanan di depannya. Dia bahkan tidak melihat Khair yang tertegun sejenak karena dosennya itu tidak berhenti untuk menyapa, bahkan membunyikan klakson pun tidak.‘Mungkin Ustaz Ahsan sedang buru-buru,’ pikir Khair. Dia yang baru kembali dari mengantar orderan kopi di sekitar kampus pun langsung meneruskan langkah kembali ke kedai dan disambut kakaknya dengan tiga bungkus batagor. Satu dia makan dan dua lainnya di berikan kepada Khaira dan Bi Ocih.“Kedai kopi jadi damai begini ... Khair bakal kangen nih nanti,” celetuk dia setelah menghabiskan batagornya.“Damai apa sepi?” tanya Khaira.“Kangen kedai atau kangen, ehm ... ‘seseorang’?” tanya Bi Ocih.Khair memasang kerung di wajahnya. “Maksudnya apa nih?” Dia bal
“Mang Ajat!” Khair memanggil kerabat Bi Ocih yang sedang mangkal di disi jalan itu dari pelataran kedai kopi kakaknya. Dia mengacungkan bungkusan kopi yang harus diantarkan oleh lelaki sepantaran pamannya itu. “Siap grak!” Mang Ajat sigap mengampiri Khair yang sepertinya sibuk pada hari itu. “Mang, tolong antarkan ini ke rumahnya Riang! Tadi dia pesan lewat WA ke Teh Khaira.” Mang Ajat mengerjapkan mata. “Kenapa enggak diantar langsung sama Cep Khair aja atuh, kan Mamang mah enggak tahu rumahnya.” “Nanti Khair sharelok deh. Khair enggak bisa kemana-mana, lagi nunggu dokter Huda.” Mang Ajat manggut-manggut. “Ya sudah atuh, Mamang yang antarkan! Mau titip salam tidak buat Neng Riang?” “Hm ... ya, boleh lah, tapi enggak usah pake manis-manis atau sayang-sayang, ya, Mang.” “Siap grak!” “Eh, sebentar, Mang!” Khair menghentikan gerak Mang Ajat. “Dokumen untuk pernikahannya Teh Khaira sudah beres di KUA?” Mang Aj
Dokumen perjalan dan koper yang sudah Khair siapkan kini teronggok di sudut kamar. Pemiliknya sudah berhari-hari larut dalam kesedihan. Di siang hari, Khair beraktivitas seperti biasa, membantu kakaknya di kedai kopi. Sedangkan di malam hari, dia hanya bisa tidur sebentar saja.Diingatnya lagi kejadian tiga hari lalu. Saat itu dia nekad datang ke lapas tempat Guntur ditahan.“Kamu?” Lelaki berperawakan tegap itu mengangkat sebelah alis sambil tersenyum sinis begitu mendapati Khair duduk menunggunya di ruang besuk tahanan. “Saya kira Khaira yang datang ke sini.”Dengan santainya lelaki itu duduk menghadap Khair yang sedari tadi memasang wajah tak ramah.“Jangan harap kamu bisa melihat kakak saya lagi!”Guntur menyeringai. “Penjara ini tidak akan bisa menghentikan niat saya untuk memiliki Khaira,” kata dia sambil mendekatkan wajah menyebalkannya itu ke muka Khair. “Kakak kamu itu harus merasakan d
Khair bolak-balik memikirkan perkataan kakaknya. Dia pun memutuskan untuk menemui seseorang untuk dimintai pendapat.“Ada apa?” tanya orang tersebut ketika dihubungi Khair via telepon.“Ada yang ingin saya konsultasikan,” ungkap Khair.Mereka kemudian sepakat untuk bertemu di resto sebuah hotel. Setibanya di luar, Khair baru sadar bahwa hotel yang didatanginya adalah hotel yang sama dengan yang pernah dia datangi dulu ketika mencari tahu tentang kejadian yang menimpa kakaknya.Meski gamang, Khair tetap melangkah dan masuk ke sana. Siang itu keadaan di lobi cukup lengang. Khair diarahkan seorang petugas hotel menuju bagian dalam. Tepatnya, ke sebuah ruangan dengan area cukup luas, dekat kolam renang.Sepanjang jalan Khair teringat kepada kakaknya. Di gedung sebesar itu, dengan pengaturan yang tertib dan pelayanan sebaik itu, kenapa tidak ada seorang pun yang peduli kepada kakaknya saat dibawa ke sana dalam keadaan tidak sadar