“Mang Ajat!” Khair memanggil kerabat Bi Ocih yang sedang mangkal di disi jalan itu dari pelataran kedai kopi kakaknya. Dia mengacungkan bungkusan kopi yang harus diantarkan oleh lelaki sepantaran pamannya itu.
“Siap grak!” Mang Ajat sigap mengampiri Khair yang sepertinya sibuk pada hari itu.
“Mang, tolong antarkan ini ke rumahnya Riang! Tadi dia pesan lewat WA ke Teh Khaira.”
Mang Ajat mengerjapkan mata. “Kenapa enggak diantar langsung sama Cep Khair aja atuh, kan Mamang mah enggak tahu rumahnya.”
“Nanti Khair sharelok deh. Khair enggak bisa kemana-mana, lagi nunggu dokter Huda.”
Mang Ajat manggut-manggut. “Ya sudah atuh, Mamang yang antarkan! Mau titip salam tidak buat Neng Riang?”
“Hm ... ya, boleh lah, tapi enggak usah pake manis-manis atau sayang-sayang, ya, Mang.”
“Siap grak!”
“Eh, sebentar, Mang!” Khair menghentikan gerak Mang Ajat. “Dokumen untuk pernikahannya Teh Khaira sudah beres di KUA?”
Mang Aj
Dokumen perjalan dan koper yang sudah Khair siapkan kini teronggok di sudut kamar. Pemiliknya sudah berhari-hari larut dalam kesedihan. Di siang hari, Khair beraktivitas seperti biasa, membantu kakaknya di kedai kopi. Sedangkan di malam hari, dia hanya bisa tidur sebentar saja.Diingatnya lagi kejadian tiga hari lalu. Saat itu dia nekad datang ke lapas tempat Guntur ditahan.“Kamu?” Lelaki berperawakan tegap itu mengangkat sebelah alis sambil tersenyum sinis begitu mendapati Khair duduk menunggunya di ruang besuk tahanan. “Saya kira Khaira yang datang ke sini.”Dengan santainya lelaki itu duduk menghadap Khair yang sedari tadi memasang wajah tak ramah.“Jangan harap kamu bisa melihat kakak saya lagi!”Guntur menyeringai. “Penjara ini tidak akan bisa menghentikan niat saya untuk memiliki Khaira,” kata dia sambil mendekatkan wajah menyebalkannya itu ke muka Khair. “Kakak kamu itu harus merasakan d
Khair bolak-balik memikirkan perkataan kakaknya. Dia pun memutuskan untuk menemui seseorang untuk dimintai pendapat.“Ada apa?” tanya orang tersebut ketika dihubungi Khair via telepon.“Ada yang ingin saya konsultasikan,” ungkap Khair.Mereka kemudian sepakat untuk bertemu di resto sebuah hotel. Setibanya di luar, Khair baru sadar bahwa hotel yang didatanginya adalah hotel yang sama dengan yang pernah dia datangi dulu ketika mencari tahu tentang kejadian yang menimpa kakaknya.Meski gamang, Khair tetap melangkah dan masuk ke sana. Siang itu keadaan di lobi cukup lengang. Khair diarahkan seorang petugas hotel menuju bagian dalam. Tepatnya, ke sebuah ruangan dengan area cukup luas, dekat kolam renang.Sepanjang jalan Khair teringat kepada kakaknya. Di gedung sebesar itu, dengan pengaturan yang tertib dan pelayanan sebaik itu, kenapa tidak ada seorang pun yang peduli kepada kakaknya saat dibawa ke sana dalam keadaan tidak sadar
Khair pergi ke hotel tersebut bukan untuk menemui bos pemiliknya ataupun berniat mengungkap kembali kasus Khaira. Dia kesana hanya dengan satu tujuan, yakni berkonsultasi tentang kafarat sumpah yang akan dibatalkannya.Mereka beremu di restoran sebelum pertemuan tak terduga dengan bos besar itu terjadi.Ketika Khair tiba, seorang pria berperawakan proporsional dengan raut wajah ramah menyambut Khair di salah satu meja. Dia memakai jas bergaya single breasted sebagai outer yang dipadukan dengan kurta.Khair tertegun sejenak sebelum berani menyapa. Penampilan pria itu membuatnya khawatir salah mengenali orang. Dari kejauhan dia memang terlihat seperti artis India atau Pakistan. Namun, dari dekat nampak bahwa wajahnya familiar.“Syukurlah kamu bisa datang lebih awal,” kata Ahsan, lelaki yang ditemui Khair di tempat tersebut. Senyumnya mengembang tanpa baking soda, namun terlihat manis seperti mengandung gula.“Alhamdulill
Khair tiba di kedai sesaat setelah Khaira pergi. Jadi dia tidak bisa langsung memberitahu ‘kabar ajaib’ yang dibekalnya dari restoran.“Teh Khaira kemana gitu, Bi?” tanya Khair gemas sekali. Tidak mungkin kan dia menyampaikan kabar sepenting itu di telepon atau pesan teks.“Katanya sih ke panti, nemenin Neng Riang yang mau perpisahan,” terang Bi Ocih.”Perpisahan?” Khair mengernyitkan dahi.Bi Ocih mengangguk sambil kipas-kipas melepas lelah.“Perpisahan apa?” tanya Khair sambil tetap jaga image. Jangan sampai Bi Ocih beranggapan dia kepo atau penasaran soal Riang.Dari cengiran wanita itu Khair bisa menebak apa yang akan dikatakan, “Kepo, ya?”“Bibi mah ....” Khair jadi salah tingkah. Akhirnya dia mengalah dan memutuskan mengakhiri pembicaraan. Biar nanti dia tanya Teh Khaira saja sepulang dari sana. Begitu rencana dia.***“Teh Kh
Khaira percaya kepada Khair. Dia bahkan tidak mencari tahu soal calon yang disodorkan adiknya hingga mereka dipertemukan di kedai. Hari itu Khaira keluar untuk memberi makan kucing-kucing di pelataran. Seorang ibu berpakaian rapi nampak berdiri mengamati kedainya dari pinggir jalan. Khaira pun memperhatikan gerak-gerik wanita itu sambil memberi makan kucing-kucing yang mengerubungi kakinya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah kedai kopi sambil menenteng beberapa paper bag. Lamat-lamat, Khaira dapat melihat wajahnya dengan jelas. “Maaf, bukankah ibu yang waktu itu belanja di mini market rumah sakit?” tanya Khaira. Ekspresi terkejut di wajah wanita itu berubah sumringah. Dia tersenyum ramah sambil menganggukan kepala. “Apakah kamu Khaira?” “Iya. Saya Khaira.” Wanita itu mengulurkan tangan meski heran, bagaimana ibu tersebut bisa menebak dengan tepat siapa dirinya. “Mungkin karena aprone dan kedai ini,” pikir Khaira. “Masya Allah.”
Persoalan nikah membuat Khaira gelisah, terutama karena calon suaminya adalah Ahsan. “Kenapa harus dia sih?” pikir Khaira. Lama-lama wanita itu jadi greget ingin mengintrogasi adiknya. Namun, sejak acara lamaran di kedai waktu itu, Khaira menahan keinginan itu demi kelancaran Khair dalam menempuh studinya. Meski hari pernikahannya kian dekat, Khaira berusaha tidak terlalu memikirkannya. Meski begitu, masih ada satu ganjalan di hatinya yakni tentang seseorang yang dia lihat tanpa sengaja di rumah sakit tempo hari. “Apa Ahsan mengenalnya?” Pertanyaan itu terus berkelindan di kepalanya tanpa berani dia utarakan kepada siapapun. Sampai pada jadwal terapi berikutnya, Khaira datang ke rumah sakit. Untuk pertama kalinya, dia bertemu psikiater baru pengganti dokter Huda. Di sana, seusai terapi, tanpa sengaja Khaira berpapasan dengan Ahsan. Dia merasa sangat canggung. Namun seulas senyum hangat yang disuguhkan lelaki di depannya itu mampu mencairkan suasana. “
Ketika segala sesuatu berlaku sesuai kehendak-Nya, maka segala jalan terbuka dengan sendirinya. Tidak ada aral apapun yang merintangi perjalanan sang Waktu hingga menyatukan Ahsan dan Khaira di depan penghulu.Sebagai wali dari kakaknya, Khair menjabat tangan Ahsan dan mengucap ijab dengan mantap. Demikian juga Ahsan, mengucap qabul dengan mantap dalam satu tarikan napas. Saat itu, tepat sehari sebelum jadwal keberangkatan Khair, arasy berguncang tersebab sebuah ikrar yang beratnya seperti perjanjian ketika Allah mengangkat seorang rasul bagi manusia. Itulah akad yang disebut sebagai mitsaqan Ghaliza.Hari itu, telah Khair tunaikan sumpahnya. Telah tunai pula tanggung jawabnya menjaga sang Kakak sebagaimana diamanahkan orang tuanya. Meski bahagia, air matanya tumpah juga. Apalagi ketika Khaira dan Ahsan bergantian memeluknya.“Teteh jangan nangis!” kata Khair sambil mengusap pipi kakaknya. Padahal air mata dia lebih deras daripada bulir bening di mat
Ekspresi muka Khaira tidak berubah. Dia belum dapat jawaban yang diinginkannya. Eh, malah ditertawakan. Menyebalkan sekali suaminya. Mana bisa Khaira percaya.“Saya sudah suka sama kamu sejak lama,” kata Ahsan. Kali ini mukanya serius supaya bisa dipercaya.“Sejak kapan?” Khaira sama sekali tidak mengubah ekspresinya. Selama ini dia pikir Ahsan bahkan tidak pernah memperhatikannya sama sekali. Boro-boro jatuh cinta, jika saling bertatapan saja dia langsung buang muka.Ahsan nyengir lagi. “Hm ... itu sepertinya sejak nama kita tertulis di lauhul mahfudz.”Khaira menghela napas. Lelah hayati dia mengharapkan jawaban serius dari orang serius yang ternyata suka bercanda.Ekspresi kesal itu terbaca. Ahsan lantas berkata, “Saya tidak tahu tepatnya, tapi sejak melihat kamu sepuluh atau sebelas tahun lalu, saya tidak bisa melupakan kamu.”Khaira memicingkan mata sambil menghitung mundur ke