Khair merasa sangat lega. Kakaknya sudah dilamar dan akan segera menikah. Dia pun tidak perlu meanggar sumpah. Sebab, dia sudah mendaftar S2 dan mengantongi beasiswa ke Malaysia. Pada akhirnya, dia bisa melanjutkan kuliah setelah Khaira menikah.
“Paman, Khair datang ...!” sorak Khair dalam benaknya.
Dia sendiri belum mengabarkan apa-apa kepada sang Paman. Rencananya, dia mau bikin kejutan.
Sejauh ini segalanya berjalan lancar. Konfirmasi dari kampus yang ditujunya sudah di tangan. Khair juga sudah mendapatkan jadwal ujian masuk. Dia hanya tinggal menyiapkan semua keperluan untuk keberangkatannya bulan depan.
Wisuda tinggal menghitung hari. Hanya tanggal pernikahan Khaira saja yang belum ditentukan. Dokter Huda masih harus berdiskusi dengan keluarganya. Jarak membuat proses itu sedikit terhambat. Namun
“Mau Khair antar, Teh?” tawar Khair ketika Khaira bersiap pergi ke rumah sakit. Pagi itu dia hanya datang sebentar untuk membuka kedai dan membantu Bi Ocih menyiapkan keperluan di kedai. Setelahnya, dia pamitan.“Enggak usah. Teteh jalan sendiri aja, biar lebih hemat.”Khair tertawa. Namanya juga antar jemput naik angkot, ongkos pasti doble jadinya. “Kalau gitu, naik taksi online aja, teh. Atau ... minta jemput sama Aa dokter.”Khaira melotot. Sedangkan Bi Ocih cekikikan di belakang gadis itu.“Sudah, ya.Teteh pergi dulu! Assalamualaikum.” Khaira berusaha menghindar. Sungguh pun dia dan dokter Huda sudah berencana menikah, tapi tetap saja Khaira malu jika apa-apa tentang dirinya dihubung-hubungkan terus dengan lelaki itu.Di rumah sakit pun, Khaira tidak menemui dokter Huda karena memang tidak ada jadwal psikoteraphy hari itu. Dia ke sana khusus untuk menjenguk nenek dan mengiriminya makanan.K
Lepas subuh, Khaira ditelepon Mbak pengurus panti yang menjaga neneknya.“Mbak Khaira bisa ke rumah sakit sekarang?”“Ada apa, Mbak?”“Neneknya Mbak ... meninggal dunia.”Bak disambar petir, Khaira menjatuhkan gawainya tanpa sadar. Bulir bening sudah membasahi pipinya. Dia langsung memanggil Khair.Adiknya itu tidak bisa menolak ketika sang Kakak memintanya mengantar ke rumah sakit. Mereka langsung meluncur dengan motor pinjaman dari Mang Ajat.Sepanjang jalan Khaira menangis di punggung adiknya. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi kepada neneknya, sebab kemarin semuanya baik-baik saja.“Tabah ya, Mbak. Ikhlaskan ....” Mbak pengurus panti memeluk Khaira.“Apa yang terjadi dengan nenek? Kenapa Mbak enggak ngabarin dari semalam?”“Tadi sore, anak dan menantunya nenek kemari. Saya tahu mereka karena dulu mereka yang membawa nenek ke panti.” Mba
“Selamat datang di kedai kopi Khaira,” sambut Khaira, bersama segaris senyum yang mempercantik wajahnya. “Ibu mau pesan apa?” tanyanya kepada seorang pelanggan wanita setengah tua yang muncul di kedainya sore itu.Wanita itu berwajah ayu, hasil perawatan yang tentunya tidak murah. Usianya sudah diatas 50, namun masih terlihat segar seperti masih berusia 40-an. Menenteng tas tangan tangan, penampilannya memang sederhana, tapi harganya pasti luar biasa. Tasnya branded, outfitnya stylish, bahkan kaca matanya saja dari merek terkenal.Khaira dan apronenya nampak kumal di hadapan dia.“Kamu yang bernama Khaira?” tanya wanita itu dengan tatapan tajam.“Iya. Ibu siapa?”Wanita itu tegas dan luga menjawab, “Saya ibunya Huda.”Khaira tergagap. “Ibu ... oh, iya.” Dia mengulurkan tangan untuk menyalami wanita itu. Namun, tak ditanggapi. “Mari duduk dulu, Bu.” Khaira lan
Ambyar sudah mimpi indah Riang untuk bisa meresmikan hubungan dengan Khair, setelah pemuda itu bicara baik-baik kepadanya ketika menutup kedai hari itu. “Soal tadi, aku minta maaf!” ucap Khair. Riang mengangguk lemah. “Yang jelas, aku mau fokus kuliah S2. Aku belum mau menikah, dengan kamu atau siapapun juga. Kecuali, jika Allah berkehendak. Paham, kan?” Riang mengangguk semakin lemah. “Salam buat Abi kamu, ya!” Khair mengunci pintu kedai. “Semoga kamu dapat jodoh yang terbaik, Riang!” Mata Riang berkaca-kaca. Dia tidak pernah menyerah memperjuangkan sesuatu yang diinginkannya. Namun tentang Khair, dia pun tidak bisa memaksa. Soal jodoh, Allah lah yang mengaturnya. Riang sadar akan hal itu. Dia hanya merasa malu karena ini pertama kalinya dia ditolak. Padahal biasanya, dia yang menampik orang orang lain. Dia juga merasa takut, jika dijodhkan dengan orang yang tidak dia suka. Namun, dia tidak mungkin menahan langka
Malam itu Khair hanya bisa menyampaikan segala kekhawatirannya dan keresahannya kepada Allah. Dia tahu kakaknya tidak sedang baik-baik saja. Sejak nenek meninggal, mata Khaira selalu nampak sembab. Selain duka cita yang dalam, Khair merasa kakanya juga sedang memendam sebuah persoalan tentang hubungannya dengan dokter Huda.‘Mungkin itu yang membuat Teh Khaira menangis semalam,’ pikir Khair sambil melirik kalender di dinding ruang tengah. Tanggal hari ini menunjukkan jadwal pengambilan toga di kampus. Lusa, Khair Wisuda. Sementara Khaira juga ada jadwal psikoteraphy.Saat Khair sedang memikirkan managemen waktu sekaligus kekhawatiran soal kondisi Khaira, kakaknya itu keluar dari kamar. Tubuhnya masih berbalut piyama lengan panjang. Bergo yang dikenakannya juga masih sama dengan yang semalam.“Khair ....” panggil Khaira.“Iya, Teh. Ada apa?”Khaira menghampiri adiknya, lalu duduk di kursi dekat meja kecil yang mem
Kabut masih menggantung ketika Khair dan Khaira menginjakkan kaki di pelataran sebuah gedung. Wisuda di helat di sana pagi itu. Gedung serbaguna di sebuah kawasan wisata alam menjadi tempat digelarnya acara.Jejak sembab telah sempurna hilang dari mata Khaira. Keceriaan juga terpancar dari wajah adiknya yang hari itu akan diwisuda.Area parkir sudah dipenuhi barisan kendaraan saat motor Mang Ajat yang dikendarai Khair memasuki area. Para calon wisudawan dan keluarga mereka sudah memenuhi halaman. Mereka masing-masing membentuk kelompok dengan sesama teman ataupun keluarga.Khair segera mengenakan toga yang dibawanya dalam tas. Lantas, dia menemani Khaira menunggu tibanya waktu untuk memasuki ruangan wisuda. Ini adalah pengalaman pertama bagi Khair. Namun, justru kakaknya lah yang lebih gugup untuk megikuti prosesinya.Khaira tidak terbiasa berkumpul dengan para akademisi kecuali mahasiswa pelanggan kopi di kedainya. Ada beberapa orang yang dia kenal
Khair celingukan mencari dosen kesayangannya. Ustaz Ahsan memang tidak terlihat dimanapun ketika Khair selesai berurusan dengan kerumunan kawan-kawannya yang menyalami dan minta foto bersama. Dia bahkan belum berfoto bersama dosen yang juga kawan baiknya itu.“Teteh lihat Ustaz Ahsan enggak?” tanya Khair begitu mendapati tempat duduk Khaira di ruang makan.“Tadi sepertinya lewat, tapi enggak tahu kemana.”“Hm ....”“Kenapa?”“Khair belum foto bareng dia.”“Memang harus, ya?”“Dia dosen pembimbing Khair, Teh. Dia sudah banyak bantu Khair di kampus. Dia juga baik banget sama Khair. Pokoknya, enggak ada duanya deh Ustaz Ahsan mah. Khair mau foto sama dia buat kenang-kenangan.”“Tapi, makan dulu!”“Sip.”Tak lama kemudian, Riang yang baru kembali dari toilet nampak terkejut melihat Khair menempati kursinya. &nbs
Saat pamitan kepada Ustaz Ahsan, gawai Khair berbunyi. Dia langsung menjawab panggilan masuk dari calon kakak iparnya.Dokter Huda mengucapkan selamat atas wisudanya sekaligus minta maaf karena tidak bisa ikut hadir atau menemuinya secara langsung.“Tidak apa-apa,” ucap Khair. “Yang penting semuanya berjalan lancar.”“Oh iya, salam buat Khaira, ya!”Khair mesem sambil menatap kakaknya. Setelah telepon ditutup, dia berbisik kepada Khaira di depan Ahsan yang kepanasan meski mentari tidak terlalu terik siang itu. “Teh, ada salam dari kakak ipar!”“Wa’alaikumsalam,” jawab Khaira datar.“Enggak pake manis-manis dikit gitu, Teh?” goda Khair.“Enggak usah, nanti diabetes.”Khair cengar-cengir. Dia paling suka menggoda kakaknya yang sebentar lagi akan menikah itu. Padahal, saat itu Khaira benar-benar tidak nyaman karena harus menyembunyikan sesuat