POV 3Langit pagi ini tampak cerah, sang sinar orange dengan gagahnya muncul dari peraduan, menyinari jagat yang fana ini. Tetesan embun pagi masih belum kering dari sisa hujan semalam. Begitu terasa hangat saat sang Surya kini terbit menggantikan malam yang dingin karena guyuran hujan.Hampir dua tahun sudah Sintya menjalani hidupnya sendiri memeluk luka atas Penghianatan yang di lakukan sang suami dulu, meski berusaha ikhlas rasa sakit itu masih ada, bahkan ia merasa begitu sulit melupakan semua itu. Hingga menjelang siang, wanita 37 tahun itu masih berkutat dengan layar laptop di meja kerjanya.Dering ponselnya mengagetkan dirinya yang sedang duduk termenung di meja kerjanya, ia hanya melirik sekilas ke lapar pipih yang tergeletak di sampingnya. Dhani. Seperti biasa Dhani selalu mengirim chat sebatas mengingatkan makan atau istirahat, ia tak ingin pujaan hatinya itu terus menerus terbelenggu dalam sebuah jerat masa lalu. Rasa cinta yang membumbung tinggi di dalam hatinya, segala
"Rizki mau ngucapin makasih sama Om Dhani. Dia baik banget ya Mah. Ini kan salah satu menu makanan di restorannya Om Dhani Mah." Sintya mengerutkan keningnya. Anak laki-lakinya itu memang sudah sangat dekat dengan Dhani, dan Rizki juga pernah di ajak Dhani jalan-jalan dan kemudian mampir ke restoran Dhani."Boleh Sayang, sebentar Mamah telpon Om Dhani ya." Sintya kemudian merogoh ponselnya yang tersemat di sakunya, kemudian memenuhi permintaan anak semata wayangnya.Tak berapa lama telepon panggilannya pun tersambung, terdengar suara laki-laki yang selalu menunggu hatinya, di seberang sana."Assalamualaikum, selamat siang, Dhan.""Wa'alaikumsalam, Sintya.""Terimakasih atas makanannya, ya. Ehm, ini Rizki ingin bicara denganmu."Sintya menekan tombol loud speaker pada ponselnya, sebelum memberikannya pada Rizki."Halo jagoan, lagi ngapain?""Lagi maem, Om. Om makasih ya, makanannya enak banget, Rizki suka," ucap bocah tujuh tahun itu dengan sumringah.Sesungguhnya di lubuk hati Sintya
Sudah beberapa hari ini Sintya melakukan salat istikharah, dan hatinya seakan yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.Tiga hari berturut-turut ia bermimpi tengah melaksanakan salat dengan seorang laki-laki berdiri di hadapannya sebagai imam, saat laki-laki itu menoleh ia bisa melihatnya wajahnya, Dhani.Mungkin ini jawaban dari Allah atas istikharahnya. Sintya mulai mantapkan hati untuk menerima Dhani, tapi tak mungkin juga jika tiba-tiba ia menelepon laki-laki itu dan mengutarakan menerimanya. Sintya akhirnya memilih menunggu saat Dhani kembali mengungkapkan isi hatinya, kemudian saat itu ia akan mengatakan keputusan itu.Hari ini seperti biasa ia akan sibuk di galeri saat Rizki belajar di sekolah.Ting. Sudah seperti candu bagi Dhani di saat jam makan siang ia akan mengirimkan sebuah pesan untuk Sintya, walau hanya sekedar mengingatkan makan siang, atau bertanya sedang ingin makan apa, karena khawatir Sintya bosan dengan menu makanan yang ia kirim setiap hari, walau menu maka
Beliau selalu mendoakan semoga pernikahannya kali ini, menjadi pernikahan terakhirnya. Pun dengan kedua mempelai memiliki doa dan harapan yang sama.Acara sederhana yang di gelar di kampung halaman mereka, di rumah Pak Imran. Hanya mengundang kerabat dekat dan beberapa tetangga yang hadir.Sintya memang menginginkan acara yang sederhana saja, mengingat dirinya hanya seorang janda, rasanya ia tak perlu menggelar pesta mewah cukup baginya dengan acara sederhana yang penting sah di mata agama dan negara.Usai acara ijab qobul, keluarga Sintya menggelar acara walimah. Alhamdulillah semua sudah berjalan lancar. Hingga malam hari rumah mereka masih rame dengan saudara yang masih sekedar duduk dan ngobrol bersama."Mah, Rizki udah ngantuk, Mah." Rizki terlihat beberapa kali menguap, saat Sintya melirik jam, jarum pendeknya telah menunjuk ke arah angka sepuluh."Rizki sudah ngantuk ya, kita bobok Yuk. Dhan, aku antar Rizki tidur dulu ya."Dhani hanya mengangguk karena ia juga masih mengobrol
Kemudian mereka berwudlu dan melaksanakan salat Isya berjamaah. Sintya mengamini setiap doa yang di lantunkan sang suami.Tok. Tok. Tok."Mbak Sintya!" Terdengar ketukan halus pada pintu kamarnya, saat ia tengah melipat mukenanya. Itu suara Nuri adiknya."Iya, Nur," sahutnya pelan, ia masih memakai mukena bagian atasnya dan membuka pintu kamar, suaminya masih duduk di atas sajadahnya menghadap kiblat yang membelakangi pintu."Ada apa Nur?" tanyanya saat pintu dibukanya."Hehe, maaf ganggu, Rizki di mana? Sini biar tidur sama aku aja," ucapnya pelan."Tuh Rizki udah pulas dari tadi, udah biarin aja tidur di sini, ribet harus gendong pindah kamar." Sintya menunjuk Rizki yang tengah terlelap di kasur."Apa tidak mengganggu, Mbak?" tanya Nuri nyengir."Nggak kamu tenang aja. Udah kamu istirahat sekarang udah malam, Mbak juga mau istirahat.""Oh, baiklah. Selamat bersenang-senang." godanya sambil berlalu."Ada apa Sayang?" Dhani yang baru saja bangkit dan melepas kopyahnya."Itu Nuri, nany
Wajah tampan seakan terpahat sempurna dengan rahang kokoh dengan jambang halus di sekitar pipinya, hidung mancung dengan manik hitam tajam pada tatapan matanya, sempurna dengan bentuk alis tebal yang hampir menyatu. Semua seakan perpaduan yang pas, begitu indah ciptaan Tuhan yang kini berada di hadapan wanita itu.Berlahan ia memejamkan mata, menikmati semua sentuhan lembut dari suami tampannya. "Kamu cantik, Sayang" bisiknya pelan, saat sentuhannya kini merambah di dekat telinganya. Membuat wajahnya merona, dengan lembut tubuhnya direbahkan di pembaringan, hingga sesuatu yang lembut dan hangat kini menyentuh bibirnya.Ia masih memejamkan mata menikmati setiap sentuhan lembut dari kekasih halalnya. Meski ini bukan kali pertama ia merasakan ini, tapi entahlah yang ia rasakan ini begitu membuatnya terbuai. Sintya mencoba membuka matanya saat ia rasakan suaminya terdiam, setelah mencumbunya dengan sedemikian memabukkan.Dilihatnya sang suami tengah tersenyum menatap wajahnya yang kian
POV YudiSaat tiba di depan rumah, aku sedikit heran mengapa banyak lalu lalang para tetangga yang datang ke rumah ini, hingga di teras rumah juga ada karpet yang di gelar, ada acara apa ini sebenarnya, kemarin Sintya mengirim pesan padaku, mengundangku untuk datang ke rumah juga memintaku mengajak serta Kakak perempuanku Mbak Siska.Hubunganku dengan Sintya sudah lebih baik, meskipun Sintya tidak pernah lagi berbasa-basi dengan kata-kata manis seperti saat kami masih bersama dulu, tapi setidaknya ia tak lagi bersikap ketus saat bicara denganku, sepertinya hatinya sudah mulai melunak dan benar-benar telah memaafkanku.Sejujurnya dari dalam lubuk hatiku paling dalam, sungguh aku ingin Sintya mau kembali dan membuka lembaran baru di kehidupan rumah tangga ini, aku ingin kami bisa bersama lagi, walaupun beberapa kali Sintya berkata sudah tak ada lagi rasa, tapi demi Rizki aku yakin cinta yang dulu pernah bersemi dan mengakar di dalam sana, akan bisa kembali tumbuh.Akan aku beri pupuk un
Dhani memang kelihatanya laki-laki yang baik, terbukti ia bisa dekat dengan Rizki, dan Rizki tampak begitu senang saat bersama dengannya.Tak mungkin aku perlihatkan sebuah rasa kecemburuan di depannya, bagaimanapun aku laki-laki pantang bagiku terlihat lemah di depan laki-laki yang kini menjadi pendamping mantan istriku."Selamat atas pernikahan kalian, aku mohon jaga dan rawat Rizki dengan baik walau dia bukan anak kandungmu," bisikku pelan saat menjabat tangan Dhani, laki-laki tampan dengan tubuh tegap dan murah senyum itu."Tanpa kau katakan itupun aku sudah melakukannya, aku sudah menganggap Rizki seperti anakku sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," Dhani menyahutinya dengan penuh keyakinan.Satu sisi hati ini terasa sakit dengan kenyataan ini, namun sisi lain, ada rasa tenang, aku merasa Dhani memang begitu tulus menyayangi anakku seperti anaknya sendiri, itu artinya aku tak perlu khawatir tentang bagaimana Rizki kedepannya, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik di tangan
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K