Kemudian mereka berwudlu dan melaksanakan salat Isya berjamaah. Sintya mengamini setiap doa yang di lantunkan sang suami.Tok. Tok. Tok."Mbak Sintya!" Terdengar ketukan halus pada pintu kamarnya, saat ia tengah melipat mukenanya. Itu suara Nuri adiknya."Iya, Nur," sahutnya pelan, ia masih memakai mukena bagian atasnya dan membuka pintu kamar, suaminya masih duduk di atas sajadahnya menghadap kiblat yang membelakangi pintu."Ada apa Nur?" tanyanya saat pintu dibukanya."Hehe, maaf ganggu, Rizki di mana? Sini biar tidur sama aku aja," ucapnya pelan."Tuh Rizki udah pulas dari tadi, udah biarin aja tidur di sini, ribet harus gendong pindah kamar." Sintya menunjuk Rizki yang tengah terlelap di kasur."Apa tidak mengganggu, Mbak?" tanya Nuri nyengir."Nggak kamu tenang aja. Udah kamu istirahat sekarang udah malam, Mbak juga mau istirahat.""Oh, baiklah. Selamat bersenang-senang." godanya sambil berlalu."Ada apa Sayang?" Dhani yang baru saja bangkit dan melepas kopyahnya."Itu Nuri, nany
Wajah tampan seakan terpahat sempurna dengan rahang kokoh dengan jambang halus di sekitar pipinya, hidung mancung dengan manik hitam tajam pada tatapan matanya, sempurna dengan bentuk alis tebal yang hampir menyatu. Semua seakan perpaduan yang pas, begitu indah ciptaan Tuhan yang kini berada di hadapan wanita itu.Berlahan ia memejamkan mata, menikmati semua sentuhan lembut dari suami tampannya. "Kamu cantik, Sayang" bisiknya pelan, saat sentuhannya kini merambah di dekat telinganya. Membuat wajahnya merona, dengan lembut tubuhnya direbahkan di pembaringan, hingga sesuatu yang lembut dan hangat kini menyentuh bibirnya.Ia masih memejamkan mata menikmati setiap sentuhan lembut dari kekasih halalnya. Meski ini bukan kali pertama ia merasakan ini, tapi entahlah yang ia rasakan ini begitu membuatnya terbuai. Sintya mencoba membuka matanya saat ia rasakan suaminya terdiam, setelah mencumbunya dengan sedemikian memabukkan.Dilihatnya sang suami tengah tersenyum menatap wajahnya yang kian
POV YudiSaat tiba di depan rumah, aku sedikit heran mengapa banyak lalu lalang para tetangga yang datang ke rumah ini, hingga di teras rumah juga ada karpet yang di gelar, ada acara apa ini sebenarnya, kemarin Sintya mengirim pesan padaku, mengundangku untuk datang ke rumah juga memintaku mengajak serta Kakak perempuanku Mbak Siska.Hubunganku dengan Sintya sudah lebih baik, meskipun Sintya tidak pernah lagi berbasa-basi dengan kata-kata manis seperti saat kami masih bersama dulu, tapi setidaknya ia tak lagi bersikap ketus saat bicara denganku, sepertinya hatinya sudah mulai melunak dan benar-benar telah memaafkanku.Sejujurnya dari dalam lubuk hatiku paling dalam, sungguh aku ingin Sintya mau kembali dan membuka lembaran baru di kehidupan rumah tangga ini, aku ingin kami bisa bersama lagi, walaupun beberapa kali Sintya berkata sudah tak ada lagi rasa, tapi demi Rizki aku yakin cinta yang dulu pernah bersemi dan mengakar di dalam sana, akan bisa kembali tumbuh.Akan aku beri pupuk un
Dhani memang kelihatanya laki-laki yang baik, terbukti ia bisa dekat dengan Rizki, dan Rizki tampak begitu senang saat bersama dengannya.Tak mungkin aku perlihatkan sebuah rasa kecemburuan di depannya, bagaimanapun aku laki-laki pantang bagiku terlihat lemah di depan laki-laki yang kini menjadi pendamping mantan istriku."Selamat atas pernikahan kalian, aku mohon jaga dan rawat Rizki dengan baik walau dia bukan anak kandungmu," bisikku pelan saat menjabat tangan Dhani, laki-laki tampan dengan tubuh tegap dan murah senyum itu."Tanpa kau katakan itupun aku sudah melakukannya, aku sudah menganggap Rizki seperti anakku sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," Dhani menyahutinya dengan penuh keyakinan.Satu sisi hati ini terasa sakit dengan kenyataan ini, namun sisi lain, ada rasa tenang, aku merasa Dhani memang begitu tulus menyayangi anakku seperti anaknya sendiri, itu artinya aku tak perlu khawatir tentang bagaimana Rizki kedepannya, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik di tangan
"Mas." Aku menoleh saat suara Sintya memanggilku. Ia berdiri dengan Dhani di sampingnya. "Pakai ini saja, Mas." Sintya memberikan sebuah kunci motor. Kunci motorku dulu, motor yang nyaris setiap hari menemaniku kemana-mana, jika di bilang rindu? Tentu aku sangat rindu, motor ini sudah seperti sahabatku, kemana-mana menemani. Tapi mengapa Sintya memberikannya padaku. Apa Dia kasihan melihatku kemana-mana naik ojek. "Pakailah Motor ini, Mas." Melihatku terdiam, Sintya kembali berucap. "Tapi, itu bukan lagi milikku, Sin. Aku bisa naik ojek, sebentar lagi juga driver ojol akan tiba." Aku menolak, aku memang sudah tak memiliki apapun saat ini, tapi aku juga gengsi Sintya memberikan motor itu semata-mata karena kasihan. "Motor ini juga dulu kamu yang beli mas, lagian di rumah ini nggak di pakai, Mas Dhani dan aku sudah ada motor sendiri," sahut Sintya. "Bawa aja nggak apa-apa Mas, anggap aja ini yang ngasih Rizki, bukan kami. Karena Rizki masih anak-anak belum bisa bawa motor." Dhani
Aku hanya menghela napas panjang, dalam hatiku, masih belum terbersit untuk berumah tangga lagi, setelah Eva wanita murahan itu, hati ku seakan masih merasakan luka. Luka karena merasa di tipu, juga Luka karena kini aku telah hancur, hanya Rizki satu-satunya alasan aku tetap bekerja dan menjalani hari-hariku."Udah lah Mbak, aku lelah. Aku tak ingin membahas tentang pernikahan atau sebagainya," ucapku lirih."Yud, kamu harus semangat, nggak mungkin kan kita sampai tua hidup seperti ini, kita juga butuh pendamping untuk menemani kita di masa tua nanti.Aku bangkit tanpa menghiraukan ucapan Mbak Siska, jujur aku memang lelah, aku tak ingin membahas masalah itu dulu, hatiku masih belum baik-baik saja.Aku melangkah ke kamar mandi, mengguyur badan yang terasa lengket, berharap guyuran air bisa mendinginkan hati dan otakku. Ya, hari ini begitu terasa melelahkan, cukup menguras pikiran dan energiku.Semoga dengan mandi aku bisa lebih segar.***Tok! Tok! Suara ketukan pintu mengagetkanku sa
Aku membuka pintu depan dan mengeluarkan motor, baru saja aku pasang standar motor, terdengar seseorang memanggil namaku."Mbak Susi!" sahutku."Iya, Mas Yudi, ini ada sedikit makanan untuk sarapan." Sebuah kantong plastik yang berisi styrofoam. "Buat saya?" tanyaku, sedikit heran, karena sebelumnya belum pernah dia memberikan makanan pada kami."Buat Mbak Siska, Mas. Tadi kebetulan saya beli nasi kuning untuk sarapan, tapi saya ingat tadi malam sempat tak enak hati dengan Mbak Siska, jadi saya belikan juga untuk Dia.""Oh, tapi Mbak Siska udah berangkat sejak pagi," jawabku."Ya sudah buat sarapan Mas Yudi aja, kalau begitu. Saya permisi.""Oke terimakasih, Mbak," seruku saat Susi sudah berbalik badan.Dia pun membalikkan badan dan tersenyum ke arahku, dengan tatapan yang menurutku tak seperti biasanya.Tak ingin berpikiran macam-macam, aku pun langsung masuk ke dalam dan menyantap nasi kuning pemberian Susi itu, enak juga ya. Alhamdulillah di saat aku sedang lapar belum sarapan, ad
"Ehm, Iya Tante. Kenakalan Saya Yudi." Aku bangkit kemudian meraih punggung tangan wanita paruh baya itu."Oh, saya kira teman dekat Hesti. Maaf ya, maklum Hesti sudah cukup lama sendiri, jadi saya selalu berharap Dia bisa segera bertemu dengan jodohnya," selorohnya membuat ekspresi Hesti merah dan melebarkan kedua matanya."Mamah! Ehm Maaf ya, Pak Yudi jangan dengarkan omongan Mamah saya.""Kalian ngobrol lah, Mamah bikinin minum dulu sebentar ya," ucap Mamahnya Hesti dan berbalik badan hendak masuk ke dalam."Ehm nggak perlu repot-repot Tante. Saya datang ke sini cuma sebentar kok. Ini saya mau ngasih ini, dompet Hesti tadi ketinggalan." Aku menyerahkan dompet berbentuk persegi panjang dengan warna hitam itu."Oh, Alhamdulillah. Terimakasih Pak. Saya kira ini jatuh di jalan, saya sudah menyusuri jalan yang tadi, dan sudah cari ke semua sudut rumah tapi nggak ada, aduh kalau beneran hilang saya pusing ngurusnya, Pak. Makasih banyak ya." Hesti menerima dengan mata berbinar, benar duga