Jujur aku juga tak ingin ambil resiko, dengan hanya berdua di rumahnya. Bagaimanapun juga Mbak Susi adalah seorang janda, dan aku tak ingin menimbulkan fitnah gara-gara membantunya."Oke, Om siap."Mbak Susi hanya melebarkan matanya melihat Gani akan ikut juga ke rumahnya."Lho ngapain sama Gani juga to Mas," cetus Mbak Susi."Iya, biar nemenin saya, saya nggak enak jika hanya berdua di dalam rumah Mbak. Lebih baik ada Gani juga agar tidak jadi fitnah," sahutku sambil berjalan beriringan bersama Gani."Yo wes, terserah Mas Yudi aja wes. Saya juga ndak mau ngapa-ngapain kok," sahut Susi mencebik kemudian berjalan ke rumahnya."Mari masuk, silahkan duduk dulu. Sebentar ya, tak bikinin kopi dulu." Susi masuk ke dalam rumah, sedangkan aku dan Gani lebih memilih duduk di kursi teras sambil menunggu.Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Susi keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi susu dan beberapa potong kue di piring."Lho, kok duduk di luar to, ayo masuk sini lho Mas. Mi
"Mas Yudi tunggu!" Aku sedikit terkejut tiba-tiba Dia memegang erat tanganku."Iya, ada apa lagi Mbak?" tanyaku sambil menatap lekat ke arahnya."Tunggulah sebentar di sini, Mas. Temani aku, aku tahu kamu juga kedinginan kan kalau malam?" tanyanya lirih sembari tangannya mulai merayap naik hingga menyentuh pipiku, aku lirik Gani sudah jalan duluan di depan, mungkin Dia sudah duduk di sofa dan makan kue. Karena sedari tadi kan dia bilang lapar dan ingin makan kue. Ah itu anak kenapa tidak menungguku.Ah ini orang, malah bikin aku panas dingin dengan ulahnya."Maaf Mbak lepaskan tangan saya, saya masih punya iman, jadi tolong jangan berpikiran macam-macam!" ketusku."Ih, Mas Yudi kok gitu banget, ayolah, aku tahu kok. Aku juga penasaran gimana bentuk sixpack perut kamu," ucapnya lagi, dengan suara mendayu dan tangannya bermain di lenganku.Sebelum semakin membangunkan perangkat lain dalam tubuhku, aku hentakkan tanganku dengan kasar, dengan sekali hentak. Susi yang tadi mulai menggelayu
Sebelum Dia mulai mengomel, segera aku berjalan cepat masuk ke kamar mandi."Aku mandi dulu Mbak, gerah!" seruku.Hari yang melelahkan. Usai mandi, aku tunaikan salat tiga rakaat, sekarang ini aku memang sudah berubah, keadaan yang mengajarkan aku untuk lebih giat lagi beribadah, segala dosa masa lalu yang pernah kuperbuat, kerap kali menghantui, hanya dengan salat dan terus mendekati pada Allah aku merasa tenang.Baru saja aku mengucap salam, terdengar suara Mbak Siska tengah berbincang dengan seseorang, sayup-sayup terdengar suara serak Mbak Siska."Untuk apa lagi kamu kemari, Mas?!""Siska, aku mohon maafkan aku, aku benar-benar khilaf, dan sekarang aku ingin kembali, kita mulai hidup baru lagi.""Setelah kau hancurkan semuanya, kini kau datang dan meminta kembali padaku, Mas! Kamu benar-benar membuatku muak!"Semakin lama suara Mbak Siska semakin meninggi, siapa sebenarnya yang datang berkunjung hingga membuat Mbak Siska geram, segera kuselesaikan dzikir singkat setelah salat, dan
Aku tahu Mbak Siska pun merasakan luka yang begitu dalam pada lelaki yang dulu begitu dicintainya."Baik kalau kamu tak mau kembali padaku, Sis! Tapi aku mohon maafkan aku! Sekarang aku sudah menderita, aku kehilangan semuanya, pun rasa bersalah terus menghantuiku," ucap Mas Ridwan."Maaf! Maaf kamu bilang, setelah apa yang sudah kamu lakukan pada kakakku, kamu masih mengharapkan maaf darinya! Asal kamu tahu, dulu aku bisa saja melaporkanmu ke polisi saat kamu pergi bersama jalangmu membawa tabungan Mbak Siska, bahkan membawa uang yang kamu pinjam dari bank dengan jaminan rumah orang tua kami, aku bisa saja melaporkanmu saat itu! Tapi Mbak Siska masih punya hati, dan mencegahku melakukan itu, sekarang kamu datang dan meminta maaf! Tak ada maaf bagimu, pergilah! Pergi dari sini Baji***n!" hardikku.Aku menatap tajam dan nyalang, Mbak Siska masih terisak, mungkin ia teringat semua yang dilakukan Mas Ridwan dulu."Mbak Siska, masuk Mbak!" titahku.Ia pun menurut, Ia masuk ke dalam rumah
Pagi ini aku kembali berangkat ke tempat kerjaku dengan hati riang, karena hari ini hari Jum'at dan besok aku akan menemui Rizki anakku. Bayu baru saja membuka ruko saat aku baru saja tiba di parkiran motor di depan ruko tempatku bekerja. "Setelah buka Ruko, mulai kami beres-beres, nyapu, lap etalase sebelum ada pelanggan datang. Tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Bayu yang tergeletak di atas meja."Bay, telpon tuh!" Panggilku."Oh, Mas Zaki," ucap Bayu saat meraih ponselnya. Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Halo Mas, ada apa?" tanya Bayu pada Kakaknya di seberang sana."....""Mas Yudi? Ada. Ada apa emang?"Aku sempat menoleh ke arah Bayu yang sedang bercakap dengan kakaknya di sambungan telepon, ketika Ia menyebut namaku, dan Bayu pun melirik ke arahku."....""Owh, Oke sebentar.""Mas Yudi, ini Mas Zaki mau ngomong katanya," ucap Bayu menghampiriku dan menyodorkan ponselnya."Eehm, ada apa?" tanyaku. Bayu hanya mengendikan bahunya.Aku pun meraih ponselnya dan mendeka
"Tak perlu merendah begitu Pak, kerja apapun yang penting halal, dan ambil pelajaran dari semua yang telah terjadi." Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya. Hesti menanggapinya dengan mengulas senyum di bibirnya."Jangan panggil saya Pak lagi ya Hes! Sekarang saya bukan atasan kamu lagi," ucapku terkekeh. Karena sekarang aku sudah bukan siapa-siapa di galeri, jadi tak sepatutnya Hesti masih memanggilku dengan sebutan 'Pak'."Oh, baiklah Pak, ehm maksud saya Mas," ucapanya dengan sedikit salah tingkah.Aku tersenyum melihatnya, mengapa saat Ia salah tingkah terlihat begitu menggemaskan. Ah Yudi, kamu ini apa-apaan sih, rutukku dalam hati. Tapi sungguh mengapa aku jadi merasa begitu senang melihat senyuman itu, padahal beberapa tahun aku di galeri, bertemu Hesti setiap hari, tapi kenapa sekarang rasanya berbeda."Mau duduk dulu di depan?" tawarku karena merasa nggak enak saat ada kawan yang datang harus bicara sambil berdiri di depan etalase begini."Ehm, nggak perlu Mas. Ini juga uda
"Kamu kenal baik dengan Hesti?" "Kenal Bude, dulu kita satu tempat kerja, tapi sekarang saya sudah tidak bekerja di sana lagi," jawabku sedikit heran mengapa Beliau bertanya begitu.Terdengar hembusan napas berat, dari wanita paruh baya itu, sebelum lanjut bicara."Hesti itu di tinggal pergi suaminya, hanya karena suaminya lebih mendengarkan perkataan ibunya. Ibunya Damar sejak awal memang tak setuju dengan Hesti, entah karena apa, meskipun Hesti sosok perempuan yang cantik, pekerja keras, dan baik, tapi semua itu tak mampu membuka mata hati ibunya Damar. Meski akhirnya mereka menikah tanpa restu sepenuhnya dari ibunya Damar. Setelah delapan bulan pernikahan mereka perlahan ibunya Damar menunjukkan sikap baik dan mulai mau menerima Hesti. Tentu itu semua menjadi kabar membahagiakan bagi kami sebagai orang tua Hesti. Namun ternyata kebaikan ibunya Damar hanya sandiwara semata, di depan kami semua beliau baik. Namun ternyata di belakang Dia perlahan menghasut anaknya dengan fitnah-fitn
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K