"Mas Yudi tunggu!" Aku sedikit terkejut tiba-tiba Dia memegang erat tanganku."Iya, ada apa lagi Mbak?" tanyaku sambil menatap lekat ke arahnya."Tunggulah sebentar di sini, Mas. Temani aku, aku tahu kamu juga kedinginan kan kalau malam?" tanyanya lirih sembari tangannya mulai merayap naik hingga menyentuh pipiku, aku lirik Gani sudah jalan duluan di depan, mungkin Dia sudah duduk di sofa dan makan kue. Karena sedari tadi kan dia bilang lapar dan ingin makan kue. Ah itu anak kenapa tidak menungguku.Ah ini orang, malah bikin aku panas dingin dengan ulahnya."Maaf Mbak lepaskan tangan saya, saya masih punya iman, jadi tolong jangan berpikiran macam-macam!" ketusku."Ih, Mas Yudi kok gitu banget, ayolah, aku tahu kok. Aku juga penasaran gimana bentuk sixpack perut kamu," ucapnya lagi, dengan suara mendayu dan tangannya bermain di lenganku.Sebelum semakin membangunkan perangkat lain dalam tubuhku, aku hentakkan tanganku dengan kasar, dengan sekali hentak. Susi yang tadi mulai menggelayu
Sebelum Dia mulai mengomel, segera aku berjalan cepat masuk ke kamar mandi."Aku mandi dulu Mbak, gerah!" seruku.Hari yang melelahkan. Usai mandi, aku tunaikan salat tiga rakaat, sekarang ini aku memang sudah berubah, keadaan yang mengajarkan aku untuk lebih giat lagi beribadah, segala dosa masa lalu yang pernah kuperbuat, kerap kali menghantui, hanya dengan salat dan terus mendekati pada Allah aku merasa tenang.Baru saja aku mengucap salam, terdengar suara Mbak Siska tengah berbincang dengan seseorang, sayup-sayup terdengar suara serak Mbak Siska."Untuk apa lagi kamu kemari, Mas?!""Siska, aku mohon maafkan aku, aku benar-benar khilaf, dan sekarang aku ingin kembali, kita mulai hidup baru lagi.""Setelah kau hancurkan semuanya, kini kau datang dan meminta kembali padaku, Mas! Kamu benar-benar membuatku muak!"Semakin lama suara Mbak Siska semakin meninggi, siapa sebenarnya yang datang berkunjung hingga membuat Mbak Siska geram, segera kuselesaikan dzikir singkat setelah salat, dan
Aku tahu Mbak Siska pun merasakan luka yang begitu dalam pada lelaki yang dulu begitu dicintainya."Baik kalau kamu tak mau kembali padaku, Sis! Tapi aku mohon maafkan aku! Sekarang aku sudah menderita, aku kehilangan semuanya, pun rasa bersalah terus menghantuiku," ucap Mas Ridwan."Maaf! Maaf kamu bilang, setelah apa yang sudah kamu lakukan pada kakakku, kamu masih mengharapkan maaf darinya! Asal kamu tahu, dulu aku bisa saja melaporkanmu ke polisi saat kamu pergi bersama jalangmu membawa tabungan Mbak Siska, bahkan membawa uang yang kamu pinjam dari bank dengan jaminan rumah orang tua kami, aku bisa saja melaporkanmu saat itu! Tapi Mbak Siska masih punya hati, dan mencegahku melakukan itu, sekarang kamu datang dan meminta maaf! Tak ada maaf bagimu, pergilah! Pergi dari sini Baji***n!" hardikku.Aku menatap tajam dan nyalang, Mbak Siska masih terisak, mungkin ia teringat semua yang dilakukan Mas Ridwan dulu."Mbak Siska, masuk Mbak!" titahku.Ia pun menurut, Ia masuk ke dalam rumah
Pagi ini aku kembali berangkat ke tempat kerjaku dengan hati riang, karena hari ini hari Jum'at dan besok aku akan menemui Rizki anakku. Bayu baru saja membuka ruko saat aku baru saja tiba di parkiran motor di depan ruko tempatku bekerja. "Setelah buka Ruko, mulai kami beres-beres, nyapu, lap etalase sebelum ada pelanggan datang. Tiba-tiba terdengar dering ponsel milik Bayu yang tergeletak di atas meja."Bay, telpon tuh!" Panggilku."Oh, Mas Zaki," ucap Bayu saat meraih ponselnya. Aku kembali sibuk dengan pekerjaanku."Halo Mas, ada apa?" tanya Bayu pada Kakaknya di seberang sana."....""Mas Yudi? Ada. Ada apa emang?"Aku sempat menoleh ke arah Bayu yang sedang bercakap dengan kakaknya di sambungan telepon, ketika Ia menyebut namaku, dan Bayu pun melirik ke arahku."....""Owh, Oke sebentar.""Mas Yudi, ini Mas Zaki mau ngomong katanya," ucap Bayu menghampiriku dan menyodorkan ponselnya."Eehm, ada apa?" tanyaku. Bayu hanya mengendikan bahunya.Aku pun meraih ponselnya dan mendeka
"Tak perlu merendah begitu Pak, kerja apapun yang penting halal, dan ambil pelajaran dari semua yang telah terjadi." Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya. Hesti menanggapinya dengan mengulas senyum di bibirnya."Jangan panggil saya Pak lagi ya Hes! Sekarang saya bukan atasan kamu lagi," ucapku terkekeh. Karena sekarang aku sudah bukan siapa-siapa di galeri, jadi tak sepatutnya Hesti masih memanggilku dengan sebutan 'Pak'."Oh, baiklah Pak, ehm maksud saya Mas," ucapanya dengan sedikit salah tingkah.Aku tersenyum melihatnya, mengapa saat Ia salah tingkah terlihat begitu menggemaskan. Ah Yudi, kamu ini apa-apaan sih, rutukku dalam hati. Tapi sungguh mengapa aku jadi merasa begitu senang melihat senyuman itu, padahal beberapa tahun aku di galeri, bertemu Hesti setiap hari, tapi kenapa sekarang rasanya berbeda."Mau duduk dulu di depan?" tawarku karena merasa nggak enak saat ada kawan yang datang harus bicara sambil berdiri di depan etalase begini."Ehm, nggak perlu Mas. Ini juga uda
"Kamu kenal baik dengan Hesti?" "Kenal Bude, dulu kita satu tempat kerja, tapi sekarang saya sudah tidak bekerja di sana lagi," jawabku sedikit heran mengapa Beliau bertanya begitu.Terdengar hembusan napas berat, dari wanita paruh baya itu, sebelum lanjut bicara."Hesti itu di tinggal pergi suaminya, hanya karena suaminya lebih mendengarkan perkataan ibunya. Ibunya Damar sejak awal memang tak setuju dengan Hesti, entah karena apa, meskipun Hesti sosok perempuan yang cantik, pekerja keras, dan baik, tapi semua itu tak mampu membuka mata hati ibunya Damar. Meski akhirnya mereka menikah tanpa restu sepenuhnya dari ibunya Damar. Setelah delapan bulan pernikahan mereka perlahan ibunya Damar menunjukkan sikap baik dan mulai mau menerima Hesti. Tentu itu semua menjadi kabar membahagiakan bagi kami sebagai orang tua Hesti. Namun ternyata kebaikan ibunya Damar hanya sandiwara semata, di depan kami semua beliau baik. Namun ternyata di belakang Dia perlahan menghasut anaknya dengan fitnah-fitn
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K