Beliau selalu mendoakan semoga pernikahannya kali ini, menjadi pernikahan terakhirnya. Pun dengan kedua mempelai memiliki doa dan harapan yang sama.Acara sederhana yang di gelar di kampung halaman mereka, di rumah Pak Imran. Hanya mengundang kerabat dekat dan beberapa tetangga yang hadir.Sintya memang menginginkan acara yang sederhana saja, mengingat dirinya hanya seorang janda, rasanya ia tak perlu menggelar pesta mewah cukup baginya dengan acara sederhana yang penting sah di mata agama dan negara.Usai acara ijab qobul, keluarga Sintya menggelar acara walimah. Alhamdulillah semua sudah berjalan lancar. Hingga malam hari rumah mereka masih rame dengan saudara yang masih sekedar duduk dan ngobrol bersama."Mah, Rizki udah ngantuk, Mah." Rizki terlihat beberapa kali menguap, saat Sintya melirik jam, jarum pendeknya telah menunjuk ke arah angka sepuluh."Rizki sudah ngantuk ya, kita bobok Yuk. Dhan, aku antar Rizki tidur dulu ya."Dhani hanya mengangguk karena ia juga masih mengobrol
Kemudian mereka berwudlu dan melaksanakan salat Isya berjamaah. Sintya mengamini setiap doa yang di lantunkan sang suami.Tok. Tok. Tok."Mbak Sintya!" Terdengar ketukan halus pada pintu kamarnya, saat ia tengah melipat mukenanya. Itu suara Nuri adiknya."Iya, Nur," sahutnya pelan, ia masih memakai mukena bagian atasnya dan membuka pintu kamar, suaminya masih duduk di atas sajadahnya menghadap kiblat yang membelakangi pintu."Ada apa Nur?" tanyanya saat pintu dibukanya."Hehe, maaf ganggu, Rizki di mana? Sini biar tidur sama aku aja," ucapnya pelan."Tuh Rizki udah pulas dari tadi, udah biarin aja tidur di sini, ribet harus gendong pindah kamar." Sintya menunjuk Rizki yang tengah terlelap di kasur."Apa tidak mengganggu, Mbak?" tanya Nuri nyengir."Nggak kamu tenang aja. Udah kamu istirahat sekarang udah malam, Mbak juga mau istirahat.""Oh, baiklah. Selamat bersenang-senang." godanya sambil berlalu."Ada apa Sayang?" Dhani yang baru saja bangkit dan melepas kopyahnya."Itu Nuri, nany
Wajah tampan seakan terpahat sempurna dengan rahang kokoh dengan jambang halus di sekitar pipinya, hidung mancung dengan manik hitam tajam pada tatapan matanya, sempurna dengan bentuk alis tebal yang hampir menyatu. Semua seakan perpaduan yang pas, begitu indah ciptaan Tuhan yang kini berada di hadapan wanita itu.Berlahan ia memejamkan mata, menikmati semua sentuhan lembut dari suami tampannya. "Kamu cantik, Sayang" bisiknya pelan, saat sentuhannya kini merambah di dekat telinganya. Membuat wajahnya merona, dengan lembut tubuhnya direbahkan di pembaringan, hingga sesuatu yang lembut dan hangat kini menyentuh bibirnya.Ia masih memejamkan mata menikmati setiap sentuhan lembut dari kekasih halalnya. Meski ini bukan kali pertama ia merasakan ini, tapi entahlah yang ia rasakan ini begitu membuatnya terbuai. Sintya mencoba membuka matanya saat ia rasakan suaminya terdiam, setelah mencumbunya dengan sedemikian memabukkan.Dilihatnya sang suami tengah tersenyum menatap wajahnya yang kian
POV YudiSaat tiba di depan rumah, aku sedikit heran mengapa banyak lalu lalang para tetangga yang datang ke rumah ini, hingga di teras rumah juga ada karpet yang di gelar, ada acara apa ini sebenarnya, kemarin Sintya mengirim pesan padaku, mengundangku untuk datang ke rumah juga memintaku mengajak serta Kakak perempuanku Mbak Siska.Hubunganku dengan Sintya sudah lebih baik, meskipun Sintya tidak pernah lagi berbasa-basi dengan kata-kata manis seperti saat kami masih bersama dulu, tapi setidaknya ia tak lagi bersikap ketus saat bicara denganku, sepertinya hatinya sudah mulai melunak dan benar-benar telah memaafkanku.Sejujurnya dari dalam lubuk hatiku paling dalam, sungguh aku ingin Sintya mau kembali dan membuka lembaran baru di kehidupan rumah tangga ini, aku ingin kami bisa bersama lagi, walaupun beberapa kali Sintya berkata sudah tak ada lagi rasa, tapi demi Rizki aku yakin cinta yang dulu pernah bersemi dan mengakar di dalam sana, akan bisa kembali tumbuh.Akan aku beri pupuk un
Dhani memang kelihatanya laki-laki yang baik, terbukti ia bisa dekat dengan Rizki, dan Rizki tampak begitu senang saat bersama dengannya.Tak mungkin aku perlihatkan sebuah rasa kecemburuan di depannya, bagaimanapun aku laki-laki pantang bagiku terlihat lemah di depan laki-laki yang kini menjadi pendamping mantan istriku."Selamat atas pernikahan kalian, aku mohon jaga dan rawat Rizki dengan baik walau dia bukan anak kandungmu," bisikku pelan saat menjabat tangan Dhani, laki-laki tampan dengan tubuh tegap dan murah senyum itu."Tanpa kau katakan itupun aku sudah melakukannya, aku sudah menganggap Rizki seperti anakku sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," Dhani menyahutinya dengan penuh keyakinan.Satu sisi hati ini terasa sakit dengan kenyataan ini, namun sisi lain, ada rasa tenang, aku merasa Dhani memang begitu tulus menyayangi anakku seperti anaknya sendiri, itu artinya aku tak perlu khawatir tentang bagaimana Rizki kedepannya, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik di tangan
"Mas." Aku menoleh saat suara Sintya memanggilku. Ia berdiri dengan Dhani di sampingnya. "Pakai ini saja, Mas." Sintya memberikan sebuah kunci motor. Kunci motorku dulu, motor yang nyaris setiap hari menemaniku kemana-mana, jika di bilang rindu? Tentu aku sangat rindu, motor ini sudah seperti sahabatku, kemana-mana menemani. Tapi mengapa Sintya memberikannya padaku. Apa Dia kasihan melihatku kemana-mana naik ojek. "Pakailah Motor ini, Mas." Melihatku terdiam, Sintya kembali berucap. "Tapi, itu bukan lagi milikku, Sin. Aku bisa naik ojek, sebentar lagi juga driver ojol akan tiba." Aku menolak, aku memang sudah tak memiliki apapun saat ini, tapi aku juga gengsi Sintya memberikan motor itu semata-mata karena kasihan. "Motor ini juga dulu kamu yang beli mas, lagian di rumah ini nggak di pakai, Mas Dhani dan aku sudah ada motor sendiri," sahut Sintya. "Bawa aja nggak apa-apa Mas, anggap aja ini yang ngasih Rizki, bukan kami. Karena Rizki masih anak-anak belum bisa bawa motor." Dhani
Aku hanya menghela napas panjang, dalam hatiku, masih belum terbersit untuk berumah tangga lagi, setelah Eva wanita murahan itu, hati ku seakan masih merasakan luka. Luka karena merasa di tipu, juga Luka karena kini aku telah hancur, hanya Rizki satu-satunya alasan aku tetap bekerja dan menjalani hari-hariku."Udah lah Mbak, aku lelah. Aku tak ingin membahas tentang pernikahan atau sebagainya," ucapku lirih."Yud, kamu harus semangat, nggak mungkin kan kita sampai tua hidup seperti ini, kita juga butuh pendamping untuk menemani kita di masa tua nanti.Aku bangkit tanpa menghiraukan ucapan Mbak Siska, jujur aku memang lelah, aku tak ingin membahas masalah itu dulu, hatiku masih belum baik-baik saja.Aku melangkah ke kamar mandi, mengguyur badan yang terasa lengket, berharap guyuran air bisa mendinginkan hati dan otakku. Ya, hari ini begitu terasa melelahkan, cukup menguras pikiran dan energiku.Semoga dengan mandi aku bisa lebih segar.***Tok! Tok! Suara ketukan pintu mengagetkanku sa
Aku membuka pintu depan dan mengeluarkan motor, baru saja aku pasang standar motor, terdengar seseorang memanggil namaku."Mbak Susi!" sahutku."Iya, Mas Yudi, ini ada sedikit makanan untuk sarapan." Sebuah kantong plastik yang berisi styrofoam. "Buat saya?" tanyaku, sedikit heran, karena sebelumnya belum pernah dia memberikan makanan pada kami."Buat Mbak Siska, Mas. Tadi kebetulan saya beli nasi kuning untuk sarapan, tapi saya ingat tadi malam sempat tak enak hati dengan Mbak Siska, jadi saya belikan juga untuk Dia.""Oh, tapi Mbak Siska udah berangkat sejak pagi," jawabku."Ya sudah buat sarapan Mas Yudi aja, kalau begitu. Saya permisi.""Oke terimakasih, Mbak," seruku saat Susi sudah berbalik badan.Dia pun membalikkan badan dan tersenyum ke arahku, dengan tatapan yang menurutku tak seperti biasanya.Tak ingin berpikiran macam-macam, aku pun langsung masuk ke dalam dan menyantap nasi kuning pemberian Susi itu, enak juga ya. Alhamdulillah di saat aku sedang lapar belum sarapan, ad
Aku tertunduk dalam, lidahku terasa kelu, seolah tak mampu lagi untuk bicara, degup jantungku terasa semakin cepat, ada rasa malu, ada rasa bahagia bersua dengannya, ada rasa takut aku ditolak, semuanya campur aduk jadi satu di dalam sini. Aku hirup udara banyak-banyak, kemudian Perlahan mengangkat wajahku, tampak Hesti masih setia menunggu aku melanjutkan kata-kataku."Mas, semua yang sudah terjadi biarlah terjadi, jadikan itu semua sebagai pelajaran berharga untuk menapaki kehidupan masa depan, agar tak terulang kembali." Pelan Hesti bicara, seolah mengerti apa yang kini kurasakan.Aku mengangguk setuju dengan perkataannya."Beberapa bulan terakhir, kita semakin dekat, dan kurasa tidak ada lagi yang harus kita tunggu, aku berniat ingin meminangmu, jika kau bersedia, aku ingin kau menjadi istriku, tapi ...."Mendengar ucapanku yang menggantung, keningnya mengerenyit, namun ia tak bertanya apapun."Ta–Tapi, aku seperti ini kondisinya, mungkin, bisa dibilang aku lelaki tak tahu malu,
Satu Minggu sudah kepergian Mbak Siska, segala tetek bengek keperluan administrasi saat di rumah sakit, Dhani banyak membantu, bahkan tak segan membantu biaya administrasi untuk membawa pulang jenazah Mbak Sintya.Selama tujuh hari kemarin, aku memang mengadakan acara tahlil di rumah, walaupun rumah kecil, aku mengundang tetangga dekat untuk hadir dalam acara tahlil kepergian Mbak Siska, tak lain harapanku hanyalah Doa kebaikan untuk Mbak Siska, semoga Doa dari semua jamaah tahlil bisa mengiringi kepergian Mbak Siska ke alam sana dengan kedamaian.Dua hari acara tahlil, Sintya ikut datang kemari, dan hari ke tiga hingga selesai tujuh hari, Dhani datang berdua dengan Rizki. Karena Sintya kurang enak badan katanya.Tiga hari Mbak Siska berpulang, aku memang izin tak masuk kerja, dan hari keempat hingga tujuh hari aku masuk kerja tapi hanya sampai siang, tak sampai sore, karena aku harus mengurus keperluan acara tahlil, beruntung tetangga di sini semuanya baik dan mau membantu untuk semu
Aku lebih dulu ke bagian administrasi untuk mengurus semuanya, setelah semuanya selesai aku melenggang ke Musala rumah sakit ini. Setelah selesai aku kembali ke depan ruang UGD, tapi mereka semua sudah tidak ada di sana. Aku pun langsung masuk ke tempat dimana Mbak Siska terbaring. Kosong. "Maaf Pak, cari pasien atas nama Bu Siska ya?" tanya seorang perawat yang sedang jaga. "I–Iya Sus." "Tadi Dokter memutuskan untuk memindahkan ke ruang ICU Pak, Karen kondisinya Bu Siska terus menurun, ruang ICU ada di sebelah sana Pak," ucap perawat itu sambil menunjuk ke arah dimana ruang ICU itu berada. Degh. Mbak Siska semakin menurun. Sintya dan Dhani pasti sudah ikut ke ruang ICU tadi. "Terimakasih, Sus," ucapku kemudian setengah berlari aku menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Terlihat Sintya dan Dhani berdiri di depan sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Juga ada Rizki diantara mereka. "Sintya, Dhani!" sapaku sembari mengatur napas. "Mbak Siska di dalam, Dokter masih men
Sintya membersihkan tangan Mbak Siska. Sedangkan Mbak Siska terlihat begitu lemas."Mas kita bawa Mbak Siska ke rumah sakit sekarang," tegas Sintya."I–Iya Sin.""Ayo Mas cepat, bawa dengan mobilku," ucap Dhani.Dengan sigap aku mengangkat tubuh Mbak Siska, Sintya pun mengekor di belakangku.Dhani yang sudah lebih dulu di depan, segera membuka pintu mobilnya, kemudian duduk di belakang kemudi, tak berapa lama Sintya dan Rizki, muncul dari dalam rumah, dan masuk ke dalam mobil, dengan langkah cepat, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil dompet dan ponselku, juga mengunci pintu.Setelah itu aku pun ikut masuk mobil dan duduk di samping Dhani. Dhani mulai melajukan mobilnya. Aku menoleh ke belakang, tampak Mbak Siska terkulai lemah tak berdaya.Aku mohon Mbak, bertahanlah.Dhani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, kami yang berada di dalam mobil, terdiam dengan pikiran masing-masing, Sintya menggenggam erat jemari Mbak Siska, seolah menyalurkan kekuatan d
"Cukup Mbak! Maaf saya bukan lelaki seperti itu. Jika Mbak Mau, silahkan cari orang lain, tapi bukan saya! Permisi!" Aku melenggang masuk usai mengucapkan itu, kemudian membuka pintu dan menutup serta mengunci pintunya, masih jelas kulihat bibirnya mencebik seperti tak suka dengan penolakan yang tadi aku katakan. Ada yah, wanita semurahan itu, bahkan menawarkan diri seperti itu. Memang awal aku tinggal di sini, dan berkenalan dengan Susi, kami sempat ngobrol dan Dia bertanya apa tidak ada niat untuk menikah lagi, dan waktu itu aku jawab belum ingin menikah lagi, karena memang aku belum menemukan sosok yang pas untuk mengisi ruang hati ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah dengan Susi, Dia bukan wanita yang aku idamkan menjadi istri. Aku menarik napas panjang dan menghembuskanya perlahan, usai menutup rapat pintu rumah ini, tak kuperdulikan Susi yang masih berdiri di halaman rumah.Bergegas aku masuk untuk menengok kondisi Mbak Siska, Ia masih terbaring di tempat tidur, kemudian m
Pagi ini seperti biasa aku akan bekerja, sebelum berangkat aku siapkan makanan untuk aku dan Mbak Siska sarapan, juga untuk Mbak Siska makan siang, semenjak Dia sakit aku memang harus ekstra melakukan ini dan itu agar Mbak Siska tidak perlu repot memasak untuk makan siangnya.Setelah semuanya siap, aku mengajaknya sarapan, aku tatap wajah yang kian hari kian pucat itu."Mbak hari ini kita ke rumah sakit aja yuk," ajakku."Ah, tak perlu lah Yud, kamu juga kan harus kerja, lagian obat Mbak yang dari klinik juga masih ada," tolaknya."Mbak, soal kerjaan gampang, aku bisa ijin datang siang hari setelah mengantar Mbak dari rumah sakit." Lagi aku berusaha meyakinkan Mbak Siska, apapun alasannya kesehatannya adalah jauh lebih penting."Gampang nanti saja Yud, nunggu obat yang sekarang ini habis aja, ya!" "Hm, baiklah kalau begitu Mbak. Yudi cuma pengin Mbak bisa segera sembuh," pungkasku.Usai sarapan aku langsung berangkat ke tempat kerjaku. Entah mengapa aku merasa Mbak Siska seolah pasra
Aku tersenyum dan kembali mendaratkan bobotku di sampingnya."Iya, Mbak. Aku baru pulang. Maaf ya Mbak, Yudi pulang malam karena memang baru selesai." Mbak Siska mengangguk."Mbak sudah makan? Obatnya sudah di minum?" tanyaku."Sudah, kamu sendiri sudah makan?" "Sudah Mbak, tadi makan di sana.""Gimana keadaan Mbak? Apa kita ke rumah sakit aja besok?" tawarku sesungguhnya aku tak tega melihat kondisinya yang semakin menurun. Tubuhnya kurus, kelopak matanya cekung, dengan bibir memucat, di tambah lagi batuk yang tak kunjung sembuh."Tak perlu lah Yud, lagi pula ke rumah sakit kan biayanya mahal, kita ndak punya banyak uang, Mbak nggak mau di sisa umur Mbak hanya merepotkan dan menjadi beban kamu," ucapnya lirih."Tapi Mbak, kondisi Mbak Siska makin menurun, Yudi nggak tega Mbak."Walaupun uang yang kupunya masih belum banyak tapi setidaknya cukup untuk berobat Mbak Siska.Namun, lagi-lagi Mbak Siska menolak untuk berobat ke rumah sakit. "Ya sudah sekarang sudah malam, Mbak istirahat
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Manusia di ciptakan dengan karakter dan watak yang berbeda, pun dengan nasib yang berbeda-beda, jika saat ini nasib kami seperti ini, mungkin ini adalah akibat dari perbuatan buruk di masa lalu.Setiap orang pasti akan menuai apa yang ditanamnya, hanya dengan Doa yang tulus aku persembahkan, agar Allah berkenan mengampuni semua dosa khilafku di masa lalu itu, karena kini aku hanya ingin hidup tenang dan tentram, dengan lembaran baru. Aku hanya ingin hidupku ke depan, lebih baik, dan lebih bermakna.Hari terus berganti hingga kini satu bulan sudah aku melewati waktu, kondisi kesehatan Mbak Siska makin menurun, badannya pun kurus, saat aku ajak untuk berobat ke rumah sakit, Ia selalu menolak, dengan berbagai alasan. Aku paham Mbak Siska mungkin berpikir seribu kali untuk berobat ke rumah sakit karena memikirkan biaya, kami berdua, untuk hidup dan makan saja pas-pasan. Penghasilanku bekerja di tempat fotokopi,
Hingga adzan Maghrib berkumandang, Pakde Mul mengajakku untuk salat berjamaah di masjid tak jauh dari rumah ini. Aku merasa seolah memiliki keluarga baru di sini, walaupun aku bukan siapa-siapa Mereka.Selepas Maghrib Ibunya Hesti mempersilahkan kami untuk makan bersama di ruang tengah, ada pula Bude Ning dan suaminya, Ibunya Hesti dan Hesti. Kami semua makan lesehan di ruang tengah, makanan yang tersaji bukanlah makanan mewah, tapi sangat enak dan dinikmati bersama. Beberapa kali aku melirik ke arah wanita cantik yang duduk di depanku, entah kenapa senyuman itu membuatku ingin selalu meliriknya.Setelah selesai makan, aku ngobrol-ngobrol santai dengan Pakde Mul, yang merupakan Suaminya Bude Ning, beliau seorang petani. Melihat perawakannya aku jadi teringat Pak Imran ayahnya Sintya. Jujur masih terselip di dalam sini rasa bersalah yang begitu besar terhadap Beliau. "Sudah mulai larut, saya pamit dulu Pakde," pamitku.Melihatku ngobrol dengan Pakde Mul, Hesti lebih banyak di dalam. K