POV YudiSaat tiba di depan rumah, aku sedikit heran mengapa banyak lalu lalang para tetangga yang datang ke rumah ini, hingga di teras rumah juga ada karpet yang di gelar, ada acara apa ini sebenarnya, kemarin Sintya mengirim pesan padaku, mengundangku untuk datang ke rumah juga memintaku mengajak serta Kakak perempuanku Mbak Siska.Hubunganku dengan Sintya sudah lebih baik, meskipun Sintya tidak pernah lagi berbasa-basi dengan kata-kata manis seperti saat kami masih bersama dulu, tapi setidaknya ia tak lagi bersikap ketus saat bicara denganku, sepertinya hatinya sudah mulai melunak dan benar-benar telah memaafkanku.Sejujurnya dari dalam lubuk hatiku paling dalam, sungguh aku ingin Sintya mau kembali dan membuka lembaran baru di kehidupan rumah tangga ini, aku ingin kami bisa bersama lagi, walaupun beberapa kali Sintya berkata sudah tak ada lagi rasa, tapi demi Rizki aku yakin cinta yang dulu pernah bersemi dan mengakar di dalam sana, akan bisa kembali tumbuh.Akan aku beri pupuk un
Dhani memang kelihatanya laki-laki yang baik, terbukti ia bisa dekat dengan Rizki, dan Rizki tampak begitu senang saat bersama dengannya.Tak mungkin aku perlihatkan sebuah rasa kecemburuan di depannya, bagaimanapun aku laki-laki pantang bagiku terlihat lemah di depan laki-laki yang kini menjadi pendamping mantan istriku."Selamat atas pernikahan kalian, aku mohon jaga dan rawat Rizki dengan baik walau dia bukan anak kandungmu," bisikku pelan saat menjabat tangan Dhani, laki-laki tampan dengan tubuh tegap dan murah senyum itu."Tanpa kau katakan itupun aku sudah melakukannya, aku sudah menganggap Rizki seperti anakku sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," Dhani menyahutinya dengan penuh keyakinan.Satu sisi hati ini terasa sakit dengan kenyataan ini, namun sisi lain, ada rasa tenang, aku merasa Dhani memang begitu tulus menyayangi anakku seperti anaknya sendiri, itu artinya aku tak perlu khawatir tentang bagaimana Rizki kedepannya, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik di tangan
"Mas." Aku menoleh saat suara Sintya memanggilku. Ia berdiri dengan Dhani di sampingnya. "Pakai ini saja, Mas." Sintya memberikan sebuah kunci motor. Kunci motorku dulu, motor yang nyaris setiap hari menemaniku kemana-mana, jika di bilang rindu? Tentu aku sangat rindu, motor ini sudah seperti sahabatku, kemana-mana menemani. Tapi mengapa Sintya memberikannya padaku. Apa Dia kasihan melihatku kemana-mana naik ojek. "Pakailah Motor ini, Mas." Melihatku terdiam, Sintya kembali berucap. "Tapi, itu bukan lagi milikku, Sin. Aku bisa naik ojek, sebentar lagi juga driver ojol akan tiba." Aku menolak, aku memang sudah tak memiliki apapun saat ini, tapi aku juga gengsi Sintya memberikan motor itu semata-mata karena kasihan. "Motor ini juga dulu kamu yang beli mas, lagian di rumah ini nggak di pakai, Mas Dhani dan aku sudah ada motor sendiri," sahut Sintya. "Bawa aja nggak apa-apa Mas, anggap aja ini yang ngasih Rizki, bukan kami. Karena Rizki masih anak-anak belum bisa bawa motor." Dhani
Aku hanya menghela napas panjang, dalam hatiku, masih belum terbersit untuk berumah tangga lagi, setelah Eva wanita murahan itu, hati ku seakan masih merasakan luka. Luka karena merasa di tipu, juga Luka karena kini aku telah hancur, hanya Rizki satu-satunya alasan aku tetap bekerja dan menjalani hari-hariku."Udah lah Mbak, aku lelah. Aku tak ingin membahas tentang pernikahan atau sebagainya," ucapku lirih."Yud, kamu harus semangat, nggak mungkin kan kita sampai tua hidup seperti ini, kita juga butuh pendamping untuk menemani kita di masa tua nanti.Aku bangkit tanpa menghiraukan ucapan Mbak Siska, jujur aku memang lelah, aku tak ingin membahas masalah itu dulu, hatiku masih belum baik-baik saja.Aku melangkah ke kamar mandi, mengguyur badan yang terasa lengket, berharap guyuran air bisa mendinginkan hati dan otakku. Ya, hari ini begitu terasa melelahkan, cukup menguras pikiran dan energiku.Semoga dengan mandi aku bisa lebih segar.***Tok! Tok! Suara ketukan pintu mengagetkanku sa
Aku membuka pintu depan dan mengeluarkan motor, baru saja aku pasang standar motor, terdengar seseorang memanggil namaku."Mbak Susi!" sahutku."Iya, Mas Yudi, ini ada sedikit makanan untuk sarapan." Sebuah kantong plastik yang berisi styrofoam. "Buat saya?" tanyaku, sedikit heran, karena sebelumnya belum pernah dia memberikan makanan pada kami."Buat Mbak Siska, Mas. Tadi kebetulan saya beli nasi kuning untuk sarapan, tapi saya ingat tadi malam sempat tak enak hati dengan Mbak Siska, jadi saya belikan juga untuk Dia.""Oh, tapi Mbak Siska udah berangkat sejak pagi," jawabku."Ya sudah buat sarapan Mas Yudi aja, kalau begitu. Saya permisi.""Oke terimakasih, Mbak," seruku saat Susi sudah berbalik badan.Dia pun membalikkan badan dan tersenyum ke arahku, dengan tatapan yang menurutku tak seperti biasanya.Tak ingin berpikiran macam-macam, aku pun langsung masuk ke dalam dan menyantap nasi kuning pemberian Susi itu, enak juga ya. Alhamdulillah di saat aku sedang lapar belum sarapan, ad
"Ehm, Iya Tante. Kenakalan Saya Yudi." Aku bangkit kemudian meraih punggung tangan wanita paruh baya itu."Oh, saya kira teman dekat Hesti. Maaf ya, maklum Hesti sudah cukup lama sendiri, jadi saya selalu berharap Dia bisa segera bertemu dengan jodohnya," selorohnya membuat ekspresi Hesti merah dan melebarkan kedua matanya."Mamah! Ehm Maaf ya, Pak Yudi jangan dengarkan omongan Mamah saya.""Kalian ngobrol lah, Mamah bikinin minum dulu sebentar ya," ucap Mamahnya Hesti dan berbalik badan hendak masuk ke dalam."Ehm nggak perlu repot-repot Tante. Saya datang ke sini cuma sebentar kok. Ini saya mau ngasih ini, dompet Hesti tadi ketinggalan." Aku menyerahkan dompet berbentuk persegi panjang dengan warna hitam itu."Oh, Alhamdulillah. Terimakasih Pak. Saya kira ini jatuh di jalan, saya sudah menyusuri jalan yang tadi, dan sudah cari ke semua sudut rumah tapi nggak ada, aduh kalau beneran hilang saya pusing ngurusnya, Pak. Makasih banyak ya." Hesti menerima dengan mata berbinar, benar duga
Jujur aku juga tak ingin ambil resiko, dengan hanya berdua di rumahnya. Bagaimanapun juga Mbak Susi adalah seorang janda, dan aku tak ingin menimbulkan fitnah gara-gara membantunya."Oke, Om siap."Mbak Susi hanya melebarkan matanya melihat Gani akan ikut juga ke rumahnya."Lho ngapain sama Gani juga to Mas," cetus Mbak Susi."Iya, biar nemenin saya, saya nggak enak jika hanya berdua di dalam rumah Mbak. Lebih baik ada Gani juga agar tidak jadi fitnah," sahutku sambil berjalan beriringan bersama Gani."Yo wes, terserah Mas Yudi aja wes. Saya juga ndak mau ngapa-ngapain kok," sahut Susi mencebik kemudian berjalan ke rumahnya."Mari masuk, silahkan duduk dulu. Sebentar ya, tak bikinin kopi dulu." Susi masuk ke dalam rumah, sedangkan aku dan Gani lebih memilih duduk di kursi teras sambil menunggu.Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Susi keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi susu dan beberapa potong kue di piring."Lho, kok duduk di luar to, ayo masuk sini lho Mas. Mi
"Mas Yudi tunggu!" Aku sedikit terkejut tiba-tiba Dia memegang erat tanganku."Iya, ada apa lagi Mbak?" tanyaku sambil menatap lekat ke arahnya."Tunggulah sebentar di sini, Mas. Temani aku, aku tahu kamu juga kedinginan kan kalau malam?" tanyanya lirih sembari tangannya mulai merayap naik hingga menyentuh pipiku, aku lirik Gani sudah jalan duluan di depan, mungkin Dia sudah duduk di sofa dan makan kue. Karena sedari tadi kan dia bilang lapar dan ingin makan kue. Ah itu anak kenapa tidak menungguku.Ah ini orang, malah bikin aku panas dingin dengan ulahnya."Maaf Mbak lepaskan tangan saya, saya masih punya iman, jadi tolong jangan berpikiran macam-macam!" ketusku."Ih, Mas Yudi kok gitu banget, ayolah, aku tahu kok. Aku juga penasaran gimana bentuk sixpack perut kamu," ucapnya lagi, dengan suara mendayu dan tangannya bermain di lenganku.Sebelum semakin membangunkan perangkat lain dalam tubuhku, aku hentakkan tanganku dengan kasar, dengan sekali hentak. Susi yang tadi mulai menggelayu