"Rizki mau ngucapin makasih sama Om Dhani. Dia baik banget ya Mah. Ini kan salah satu menu makanan di restorannya Om Dhani Mah." Sintya mengerutkan keningnya. Anak laki-lakinya itu memang sudah sangat dekat dengan Dhani, dan Rizki juga pernah di ajak Dhani jalan-jalan dan kemudian mampir ke restoran Dhani."Boleh Sayang, sebentar Mamah telpon Om Dhani ya." Sintya kemudian merogoh ponselnya yang tersemat di sakunya, kemudian memenuhi permintaan anak semata wayangnya.Tak berapa lama telepon panggilannya pun tersambung, terdengar suara laki-laki yang selalu menunggu hatinya, di seberang sana."Assalamualaikum, selamat siang, Dhan.""Wa'alaikumsalam, Sintya.""Terimakasih atas makanannya, ya. Ehm, ini Rizki ingin bicara denganmu."Sintya menekan tombol loud speaker pada ponselnya, sebelum memberikannya pada Rizki."Halo jagoan, lagi ngapain?""Lagi maem, Om. Om makasih ya, makanannya enak banget, Rizki suka," ucap bocah tujuh tahun itu dengan sumringah.Sesungguhnya di lubuk hati Sintya
Sudah beberapa hari ini Sintya melakukan salat istikharah, dan hatinya seakan yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.Tiga hari berturut-turut ia bermimpi tengah melaksanakan salat dengan seorang laki-laki berdiri di hadapannya sebagai imam, saat laki-laki itu menoleh ia bisa melihatnya wajahnya, Dhani.Mungkin ini jawaban dari Allah atas istikharahnya. Sintya mulai mantapkan hati untuk menerima Dhani, tapi tak mungkin juga jika tiba-tiba ia menelepon laki-laki itu dan mengutarakan menerimanya. Sintya akhirnya memilih menunggu saat Dhani kembali mengungkapkan isi hatinya, kemudian saat itu ia akan mengatakan keputusan itu.Hari ini seperti biasa ia akan sibuk di galeri saat Rizki belajar di sekolah.Ting. Sudah seperti candu bagi Dhani di saat jam makan siang ia akan mengirimkan sebuah pesan untuk Sintya, walau hanya sekedar mengingatkan makan siang, atau bertanya sedang ingin makan apa, karena khawatir Sintya bosan dengan menu makanan yang ia kirim setiap hari, walau menu maka
Beliau selalu mendoakan semoga pernikahannya kali ini, menjadi pernikahan terakhirnya. Pun dengan kedua mempelai memiliki doa dan harapan yang sama.Acara sederhana yang di gelar di kampung halaman mereka, di rumah Pak Imran. Hanya mengundang kerabat dekat dan beberapa tetangga yang hadir.Sintya memang menginginkan acara yang sederhana saja, mengingat dirinya hanya seorang janda, rasanya ia tak perlu menggelar pesta mewah cukup baginya dengan acara sederhana yang penting sah di mata agama dan negara.Usai acara ijab qobul, keluarga Sintya menggelar acara walimah. Alhamdulillah semua sudah berjalan lancar. Hingga malam hari rumah mereka masih rame dengan saudara yang masih sekedar duduk dan ngobrol bersama."Mah, Rizki udah ngantuk, Mah." Rizki terlihat beberapa kali menguap, saat Sintya melirik jam, jarum pendeknya telah menunjuk ke arah angka sepuluh."Rizki sudah ngantuk ya, kita bobok Yuk. Dhan, aku antar Rizki tidur dulu ya."Dhani hanya mengangguk karena ia juga masih mengobrol
Kemudian mereka berwudlu dan melaksanakan salat Isya berjamaah. Sintya mengamini setiap doa yang di lantunkan sang suami.Tok. Tok. Tok."Mbak Sintya!" Terdengar ketukan halus pada pintu kamarnya, saat ia tengah melipat mukenanya. Itu suara Nuri adiknya."Iya, Nur," sahutnya pelan, ia masih memakai mukena bagian atasnya dan membuka pintu kamar, suaminya masih duduk di atas sajadahnya menghadap kiblat yang membelakangi pintu."Ada apa Nur?" tanyanya saat pintu dibukanya."Hehe, maaf ganggu, Rizki di mana? Sini biar tidur sama aku aja," ucapnya pelan."Tuh Rizki udah pulas dari tadi, udah biarin aja tidur di sini, ribet harus gendong pindah kamar." Sintya menunjuk Rizki yang tengah terlelap di kasur."Apa tidak mengganggu, Mbak?" tanya Nuri nyengir."Nggak kamu tenang aja. Udah kamu istirahat sekarang udah malam, Mbak juga mau istirahat.""Oh, baiklah. Selamat bersenang-senang." godanya sambil berlalu."Ada apa Sayang?" Dhani yang baru saja bangkit dan melepas kopyahnya."Itu Nuri, nany
Wajah tampan seakan terpahat sempurna dengan rahang kokoh dengan jambang halus di sekitar pipinya, hidung mancung dengan manik hitam tajam pada tatapan matanya, sempurna dengan bentuk alis tebal yang hampir menyatu. Semua seakan perpaduan yang pas, begitu indah ciptaan Tuhan yang kini berada di hadapan wanita itu.Berlahan ia memejamkan mata, menikmati semua sentuhan lembut dari suami tampannya. "Kamu cantik, Sayang" bisiknya pelan, saat sentuhannya kini merambah di dekat telinganya. Membuat wajahnya merona, dengan lembut tubuhnya direbahkan di pembaringan, hingga sesuatu yang lembut dan hangat kini menyentuh bibirnya.Ia masih memejamkan mata menikmati setiap sentuhan lembut dari kekasih halalnya. Meski ini bukan kali pertama ia merasakan ini, tapi entahlah yang ia rasakan ini begitu membuatnya terbuai. Sintya mencoba membuka matanya saat ia rasakan suaminya terdiam, setelah mencumbunya dengan sedemikian memabukkan.Dilihatnya sang suami tengah tersenyum menatap wajahnya yang kian
POV YudiSaat tiba di depan rumah, aku sedikit heran mengapa banyak lalu lalang para tetangga yang datang ke rumah ini, hingga di teras rumah juga ada karpet yang di gelar, ada acara apa ini sebenarnya, kemarin Sintya mengirim pesan padaku, mengundangku untuk datang ke rumah juga memintaku mengajak serta Kakak perempuanku Mbak Siska.Hubunganku dengan Sintya sudah lebih baik, meskipun Sintya tidak pernah lagi berbasa-basi dengan kata-kata manis seperti saat kami masih bersama dulu, tapi setidaknya ia tak lagi bersikap ketus saat bicara denganku, sepertinya hatinya sudah mulai melunak dan benar-benar telah memaafkanku.Sejujurnya dari dalam lubuk hatiku paling dalam, sungguh aku ingin Sintya mau kembali dan membuka lembaran baru di kehidupan rumah tangga ini, aku ingin kami bisa bersama lagi, walaupun beberapa kali Sintya berkata sudah tak ada lagi rasa, tapi demi Rizki aku yakin cinta yang dulu pernah bersemi dan mengakar di dalam sana, akan bisa kembali tumbuh.Akan aku beri pupuk un
Dhani memang kelihatanya laki-laki yang baik, terbukti ia bisa dekat dengan Rizki, dan Rizki tampak begitu senang saat bersama dengannya.Tak mungkin aku perlihatkan sebuah rasa kecemburuan di depannya, bagaimanapun aku laki-laki pantang bagiku terlihat lemah di depan laki-laki yang kini menjadi pendamping mantan istriku."Selamat atas pernikahan kalian, aku mohon jaga dan rawat Rizki dengan baik walau dia bukan anak kandungmu," bisikku pelan saat menjabat tangan Dhani, laki-laki tampan dengan tubuh tegap dan murah senyum itu."Tanpa kau katakan itupun aku sudah melakukannya, aku sudah menganggap Rizki seperti anakku sendiri, jadi kau tak perlu khawatir," Dhani menyahutinya dengan penuh keyakinan.Satu sisi hati ini terasa sakit dengan kenyataan ini, namun sisi lain, ada rasa tenang, aku merasa Dhani memang begitu tulus menyayangi anakku seperti anaknya sendiri, itu artinya aku tak perlu khawatir tentang bagaimana Rizki kedepannya, ia pasti akan tumbuh menjadi anak yang baik di tangan
"Mas." Aku menoleh saat suara Sintya memanggilku. Ia berdiri dengan Dhani di sampingnya. "Pakai ini saja, Mas." Sintya memberikan sebuah kunci motor. Kunci motorku dulu, motor yang nyaris setiap hari menemaniku kemana-mana, jika di bilang rindu? Tentu aku sangat rindu, motor ini sudah seperti sahabatku, kemana-mana menemani. Tapi mengapa Sintya memberikannya padaku. Apa Dia kasihan melihatku kemana-mana naik ojek. "Pakailah Motor ini, Mas." Melihatku terdiam, Sintya kembali berucap. "Tapi, itu bukan lagi milikku, Sin. Aku bisa naik ojek, sebentar lagi juga driver ojol akan tiba." Aku menolak, aku memang sudah tak memiliki apapun saat ini, tapi aku juga gengsi Sintya memberikan motor itu semata-mata karena kasihan. "Motor ini juga dulu kamu yang beli mas, lagian di rumah ini nggak di pakai, Mas Dhani dan aku sudah ada motor sendiri," sahut Sintya. "Bawa aja nggak apa-apa Mas, anggap aja ini yang ngasih Rizki, bukan kami. Karena Rizki masih anak-anak belum bisa bawa motor." Dhani