Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.
Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.
Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenangkan untuk menambah pengetahuan dan keahliannya. Dan Elena, mahluk yang selalu terlihat indah di matanya itu ... tidak bisa memasak sama sekali! Lagi-lagi Eugene tersenyum-senyum sendiri. Tetiba ia rindu menyiapkan makan malam untuk mereka berdua seperti dulu.
Eugene menghabiskan dua porsi soto betawi tanpa nasi dan teh hangat. Setelah membayar ia lalu beranjak pergi. Ia melangkah menuju sebuah pusat perbelanjaan. Selama berhubungan dengan Elena, sedikit banyak ia telah menjelajahi kota ini.
Sejak melihat gambar Al, Eugene sudah tau persis hadiah apa yang akan diberikannya pada anak itu. Tapi ternyata menemukan yang terbaik membutuhkan waktu yang lumayan lama. Setelah memasuki beberapa toko akhirnya ia menemukan yang cocok.
Hari sudah gelap ketika Eugene keluar dari pusat perbelanjaan membawa hadiah untuk Al. Ia merasa sedikit letih dan memutuskan kembali ke hotel dengan naik taksi.
Sesampainya di kamar hotel, ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang bertelanjang dada hanya mengenakan celana boxer. Matanya terpejam tapi tidak tidur. Ia tak sabar menunggu besok. Wajah Al melintas lalu berganti bayangan Elena yang menghampiri.
Elena. Perempuan itu ... ia sudah mengenalnya lama. Tapi terlalu lama sampai akhirnya terlambat menyadari bahwa ia sangat mencintainya. Ia mengikuti setiap metaforsa Elena. Dari mulai gadis manja, selalu bercelana jeans dan kaos oblong ke mana-mana. Lalu tiba-tiba Elena memutuskan menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya. Sampai akhirnya yang paling mengejutkan yang ia lihat siang tadi. Elena terlihat anggun keibuan bersahaja dengan baju panjang dan penutup kepala lebarnya. Ia begitu ... terjaga ... sampai-sampai Eugene tak berani menyentuhnya walaupun sangat ingin. Baginya Elena sudah melewati masa metamorfosa dan mencapai bentuk terindahnya. Apakah ini berhubungan dengan telepon terakhirnya tujuh tahun lalu? Ia ingin hijrah dan meninggalkannya. Apa itu hijrah? Elena tak pernah menjelaskannya dan ia sendiri belum pernah mencari tau.
Lalu Al? Bagaimana dengan Al? Apakah ia tak berhak tau tentang Al? Eugene menutup wajahnya dengan bantal. Tapi semakin dalam ia menenggelamkan wajahnya semakin ingatannya tentang Elena tujuh tahun lalu sebelum akhirnya perempuan itu mengilang, berdesakan di kepala.
*** tujuh tahun lalu ***
Elena baru bersiap pulang kantor ketika telepon genggamnya berbunyi.
"Elena!" seru suara yang sangat dikenalnya.
"Eugene! Di mana kau?"
"Masih di apartemen. Tunggu, aku jemput kau setengah jam lagi di tempat biasa."
"Aku pikir kau sudah terbang pulang ke Kanada siang tadi."
"Tidak, aku menambah cutiku sampai besok. Aku masih ingin bersamamu. Tunggu aku." lalu telepon di tutup.
Elena duduk di sebuah kedai kopi sambil memainkan gawainya ketika merasakan ubun-ubunnya dikecup seseorang dari belakang. Ia hapal betul siapa yang melakukannya.
Eugene tersenyum, duduk berhadap-hadapan. Elena tak pernah bisa berhenti jatuh cinta pada sosok di depannya, bahkan setelah ia menikah sekalipun.
"Kau sudah selesai dengan kopimu? Ayo kita pergi." Ajak Eugene bersemangat.
"Kau tak ingin minum dulu?"
"Tidak. Ayolah aku sudah tak sabar ingin menunjukkan sesuatu padamu."
Eugene meninggalkan selembar uang di bawah cangkir kopi dan menggamit lengan Elena keluar dari kedai kopi. Mereka berjalan ke arah apartemen tempat Eugene tinggal sementara selama di Jakarta.
Kantor Elena berada di sebuah area yang cukup lengkap. Selain berjejer ruko-ruko perkantoran, kedai-kedai kopi dan makanan, salon kecantikan, tempat hiburan, terdapat mall terbesar Asia Tenggara, juga tersedia apartemen-apartemen untuk disewakan baik jangka panjang maupun pendek.
Eugene selalu memilih tinggal di apartemen di sekitar kantor Elena selama mengunjunginya di Jakarta. Sehingga ia bisa sering-sering melewatkan waktu bersamanya mulai sarapan pagi, makan siang bahkan makan malam. Seringkali Eugene pamer keahliannya memasak untuk Elena. Entah apa alasan Elena pada suaminya setiap ia pulang larut, ia tidak peduli.
Sampai di depan pintu apartemen, Eugene menutup mata Elena dengan sapu tangan.
"Apa-apaan ini?" Elena tertawa geli.
"Ssst percayalah padaku, masuklah dan cari aku. Kalau kau benar mencintaiku pasti kau akan menemukanku." Eugene berbisik, napasnya terasa hangat di telinga. Lalu Eugene bergerak menjauh.
"Eugene, aku bisa jatuh menabrak sesuatu!"
"Jangan khawatir, aku akan menangkapmu jika kau jatuh."
Elena tertawa kecil, perasaannya campur aduk tak karuan tapi ia menyukai perasaan itu.
Elena melepaskan sepatu pantofelnya. Lalu ia merasakan telapak kakinya menyentuh benda-benda kecil yang lembut, banyak sekali dan wangi ... melati.
Eugene sama sekali tak bersuara. Elena benar-benar mengandalkan ingatannya tentang tata letak ruangan dan penciumannya. Ia berusaha mencari aroma khas dari tubuh Eugene diantara harumnya tebaran bunga melati ia melangkah pelan dan hati-hati.
Bruk! Elena menabrak Eugene lalu mereka tertawa bersama.
"Kau menemukanku." kata Eugene sambil membuka ikatan yang menutup mata Elena. Sejurus kemudian Elena terperangah. Ruangan yang biasanya berantakan kali ini terlihat begitu indah. Seluruh lantainya tertutup bunga melati dan buket-buket mawar merah di setiap sudutnya.
Eugene menggandeng Elena yang masih terus mengitarkan pandangan tak percaya, ke meja makan. Elena semakin terperangah, lampu yang temaram, dua batang lilin, setangkai mawar merekah sempurna di tengah meja. Berikut dua gelas air putih dan peralatan makan yang tertata rapih.
Eugene menarik kursi dan mempersilahkan Elena duduk. Ia lalu bergegas ke dapur, kembali lagi dengan dua porsi besar steak daging sapi. Tentu saja, ia yang memasaknya.
"Makanlah."
"Aku tak bernapsu melihat daging sebesar ini." Elena tertawa.
"Kau ingin langsung ke menu penutup?" kerling Eugene menggoda. Wajah Elena merah padam, malu.
Elena menghabiskan seperempat porsi, perutnya tak kuat lagi. Tapi seperti biasa masakan Eugene selalu pandai menyesuaikan cita rasa sehingga selalu cocok di lidahnya yang asli Indonesia.
Eugene bangkit, memutar instrumen lembut dengan volume pelan. Lalu menghampiri Elena, mengajaknya berdansa.
"Aku tidak bisa dansa." bisik Elena.
"Letakkan kakimu di atas kakiku." Eugene balas berbisik.
Elena menurutinya, Eugene meraih pinggang Elena dan mendekatkan rapat ke tubuhnya. Wajah Elena tepat di dada lelaki itu, ia menempelkan pipi kirinya di sana. Eugene mulai bergerak perlahan.
"Lihat, sekarang kau bisa berdansa." ujar Eugene lirih sambil menciumi kepala Elena. Harum rambutnya membangkitkan gairah. Napasnya mulai tak beraturan. Elena merasakan jantungnya seperti berloncatan di dalam dadanya.
"Elena ..."
"Ya ..."
"Run away with me, would you? (Maukah kau pergi bersamaku?" Eugene menghentikan gerak kakinya, diangkat dagu Elena. Mata keduanya bertemu.
"Kita bisa tinggal di manapun kau suka sampai kau bosan berpindah-pindah dan memutuskan hidup sederhana di tepi pantai. Itu kan yang kau mau dari dulu ..."
"Aku tak bisa ... " mata Elena mulai berkaca-kaca.
Eugene menghapus buliran bening yang jatuh di pipi Elena. Ia merasakan nyeri di dadanya setiap kali perempuan itu menangis.
"I hate to see you cry Elena. I'll wait till you ready. (Aku benci melihatmu menangis, Elena. Aku akan menunggumu sampai kau siap.)"
Eugene mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Sebuah kalung berinisial huruf E yang digandeng menjadi satu. Ia memakaikannya di leher Elena.
"Apa ini?"
"Ini kalung, masa kau tak tau. Hadiah dariku, supaya kau ingat aku selalu menunggumu sampai kapanpun."
Eugene mengelus rambut panjang Elena. Mengecup kedua matanya, hidungnya lalu turun ke bibirnya. Elena memejamkan mata, jemarinya meremas kemeja bagian belakang Eugene. Selanjutnya kedua insan itu lupa segalanya, makin dalam masuk kubangan dosa.
*** Kembali ke kamar hotel Eugene ***
Tok! Tok! Tok! Suara pintu kamar diketuk agak keras. Eugene terlonjak kaget. Ia ketiduran!
"Mister sudah jam tujuh pagi ..." ujar seseorang di balik pintu.
"Oke oke saya akan turun sepuluh menit lagi!" teriaknya dari dalam, panik.
"Baik, mister. Saya tunggu di bawah."
Eugene buru-buru mandi, berpakaian, tidak lupa memakai tas selempangnya dan melesat turun ke lobi hotel.
"I'm ready! (Saya siap!)" ujarnya sambil menghampiri meja resepsionis.
"Ini Pak Udin. Supir hotel, dia yang akan mengantarkan ke tujuan." sahut resepsionis sambil tersenyum ramah.
"Halo Pak Udin. Saya Eugene. Ayo kita berangkat!"
Dua puluh menit sudah terjebak kemacetan. Eugene gelisah.
"Masih jauh, Pak?" tanyanya dalam bahasa Inggris.
"Sebenarnya sudah dekat tapi karena macet jadi agak lebih lama. Mister lihat lampu merah itu? Belok kanan sudah terlihat sekolahannya."
"Baiklah, kalau begitu saya jalan saja. Ini Pak Udin, terima kasih." Eugene memberikan selembar uang kepada Pak Udin dan buru-buru keluar dari mobil.
Sepanjang jalan ia berlari. Tak sulit baginya yang sudah terbiasa berolahraga. Sampai di depan gerbang sekolah bercat merah, ia berhenti. Sejenak mengatur napasnya, lalu membuka pagar. Tampak halaman sekolah tengah ramai dengan anak-anak murid dan para ayah. Mata Eugene mencari-cari sosok Al.
Baru dua langkah masuk halaman, ia dihadang dua orang satpam.
"Maaf, ada yang bisa kami bantu?" tanya salah seorang dari mereka.
"Ya, saya sudah berjanji datang pada Al hari ini."
"Al siapa?"
"Al Fatih, anaknya Elena." terang Eugene mulai tak sabar.
"Anda siapa?"
Rasanya ingin sekali Eugene menjawab, 'Saya ayahnya' tapi tentu saja itu tidak mungkin.
"Saya temannya."
"Hah? Temannya?" kedua satpam itu saling berpandangan, merasakan adalah hal yang konyol anak kelas 1SD berteman dengan lelaki asing usia 40 tahunan.
"Tolonglah, saya sudah berjanji akan datang hari ini pada Al." Eugene setengah memohon.
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas.
"Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Kamu dan KenanganAir muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibuka dan belum terbayar ...Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang terlanjur dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa."Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya." ujarnya pelan pada kasir."Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya." jawab perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua."I'll pay! (Aku yang bayar!)" sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju