*masih flashback tujuh tahun lalu*
Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.
'Selamat atas Pernikahan
IBNU dan ELENA'
Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.
Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan duduk di sisi tempat tidur sambil melanjutkan tilawah mengusap-usap kakinya dan tidak beranjak sampai ia benar-benar bangun untuk sholat. Ia ingat betapa banyak sepertiga malam yang telah dihabiskan oleh suaminya dalam sholat dan mendengar namanya disebut dalam doa setelahnya. Ia ingat kebiasaan suaminya mencium ubun-ubun kepalanya setiap pagi sebelum berangkat kerja, membacakan satu ayat yang sama dari Al Quran dan sampai saat ini ia tak paham apa artinya. Ia ingat entah berapa banyak gamis dan kerudung yang dihadiahkan padanya tapi hanya ucapan basa-basi terima kasih yang ia berikan sebagai balasan tanpa ada keinginan untuk mengenakannya. Pun begitu Ibnu tak pernah berlaku kasar, jika ia marah maka ia akan meninggalkannya sendirian dan tidur di kamar Maryam. Kini rasa bersalah dan menyesal mulai merasuki hatinya, 'ya Allah dosa dan maksiatku pastilah sudah sedemikian banyaknya sampai-sampai hatiku mati dan tidak peduli dengan kebaikan yang hadir di depan mata'.
Elena terisak pelan, sakit kepalanya semakin tak tertahan dan ia pun tertidur dalam kelelahan.
Beberapa jam kemudian, Elena terbangun. Ia mendengar langkah kaki yang dikenalnya mendekat tapi rasa bersalahnya menahannya untuk tetap memejamkan matanya dan pura-pura tidur.
Ibnu masuk ke dalam kamar, meletakkan segelas teh manis hangat di atas meja rias. Lalu ia duduk di tepi tempat tidur, diperhatikannya Elena yang meringkuk membelakanginya. Punggung telapak tangan kanannya terjulur ke dahi Elena, yakin istrinya tidak demam tangannya turun mengusap punggung Elena beberapa kali.
Jantung Elena berdebar merasakan pembaringannya sedikit terguncang ketika Ibnu memperbaiki posisi tubuhnya separuh berbaring, mendekatkan kepalanya ke kepala Elena. Sungguh Elena takut Ibnu bisa mencium rasa bersalahnya.
Elena bisa merasakan hangat napas Ibnu ketika mencium ubun-ubun Elena, dibisikkannya sebuah doa yang sama yang sering ia dengar sebelumnya. 'Rabbana hablana min azwajinaa wadhurriyatinaaqurrota'ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa ...'
"Elena ... bangun," Ibnu mengguncang lembut bahu Elena.
Elena pura-pura menggeliat lalu membuka matanya perlahan dan menemukan wajah Ibnu yang tersenyum begitu dekat dengan wajahnya. Untuk kali pertama ia mampu membalas kelembutan tatapan suaminya dan menikmati keindahan itu dengan rasa syukur dan hati yang berdebar.
"Bangun, aku buatkan teh manis supaya perutmu hangat. Sholat Ashar dulu sudah jam empat lewat, aku mau mengajakmu dan Maryam ke suatu tempat."
Seperti biasa, Ibnu tak akan beranjak sebelum ia benar-benar bangkit dari tempat tidur. Disodorkannya segelas teh manis, Elena hampir meminumnya ketika tangan Ibnu menahan gelasnya. "Bismillah dulu,"
Elena tersipu. "Bismillah ..."
***
Elena, Ibnu dan Maryam tiba di sebuah pemakaman. Di sebuah gundukan tanah tanpa bata hanya sepotong papan sebagai nisan langkah mereka terhenti. Ibnu berjongkok mengusap nisan, mengucapkan salam lalu berdoa dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Maryam berjongkok dekat ayahnya, gadis kecil itu tak pernah bisa dekat dengan Elena. Bisa jadi karena Elena yang enggan. Elena hanya bisa terpaku diam memperhatikan keduanya.
Tak lama, mereka bertiga meninggalkan area pemakaman. Ibnu mengajak mereka ke sebuah taman. Sementara Maryam bermain ayunan, Elena dan Ibnu duduk berhadap-hadapan di bangku yang disediakan di bawah tenda payung. Mereka memesan minuman dan kudapan.
"Kau tahu makam siapa yang barusan kita kunjungi?"
"Mendiang istrimu ..."
Ibnu mengangguk. Lalu ia mengeluarkan dari tas pinggangnya belasan foto yang diantaranya kusam termakan waktu.
"Kau mengenalnya?"
Elena menggeleng sekilas tak yakin, tapi kemudian matanya tertarik pada sebuah foto lama. Dua orang anak kecil duduk di sebuah bangku panjang memakan es krim sambil tertawa.
"Itu aku!" Elena berseru terkejut. Tangannya meraih foto-foto yang bertebaran di atas meja mengumpulkan dalam genggamannya dan melihatnya dengan seksama satu per satu. Air matanya turun perlahan.
"Kenal?" Ibnu kembali bertanya.
Elena mengangguk-anggukkan kepalanya cepat sambil beberapa kali mengusap air matanya. Tangannya masih terus menggilir foto-foto itu.
"Ini ... Pipit, aku memanggilnya Pipit. Jadi Safitri itu Pipit ... sahabat kecilku, adalah istrimu dulu. Ia telah lama berpulang dan aku baru saja tahu ..." Elena tak kuasa menahan kesedihannya, kedua telapak tangannya ditelungkupkan di wajah piasnya. Tangisnya menghebat.
Pipit adalah sahabatnya dari kecil. Orangtuanya memiliki beberapa yayasan dan pondok pesantren. Ia mulai jarang bertemu dengannya ketika mereka mengambil tempat kuliah yang berbeda. Pipit mendalami agama sementara ia memilih bahasa asing sesuai ambisinya, keliling dunia.
Walaupun hampir tidak pernah bertemu tapi mereka seringkali bertukar kabar dan cerita melalui telepon. Kalaulah ada yang paling rajin mengingatkan hubungan tidak sehatnya dengan Eugene, Pipitlah orangnya. Jika ada yang mengingatkan untuk memegang teguh keislamannya, Pipitlah yang paling gigih. Dan bila ada yang berhasil mengurungkan niatnya untuk kabur bersama Eugene, sudah pasti Pipitlah satu-satunya yang melakukannya.
Elena berhenti pada satu foto pernikahan yang ia ada di dalamnya. Ia mendongak menatap Ibnu tak percaya.
"Aku hadir di pernikahan kalian ..." Elena mencoba mengingat-ingat, ya itulah terakhir kali ia bertemu Safitri.
"Ya, hanya sebentar saja. Kau datang terburu-buru dan bisa dibilang sama sekali tak menghiraukanku."
"Kau ... sekarang terlihat jauh berbeda dari foto ini," Elena menatap Ibnu masih tak percaya.
"Kami dulu dijodohkan. Orangtuaku memohon agar orangtua Safitri berkenan menikahkan anaknya denganku. Aku dulu bukan orang baik, Elena. Entah mengapa pada akhirnya mereka menerima lamaran orangtuaku. Saat itu Safitri hanya meminta satu syarat, agar aku tidak pernah berbohong padanya. Aku dulu tak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu, akhirnya Allah mengijinkan keshalihannya menjadi pembuka pintu hidayah untukku. Ia mengajariku banyak hal. Dan pada saat aku benar-benar jatuh cinta padanya, Allah mengambilnya kembali." Ibnu meletakkan punggungnya ke sandaran kursi, menghela napas panjang dan dalam. Sementara Elena masih terisak.
Ibnu mengeluarkan secarik kertas yang kusut karena terlalu sering dibaca. Menyodorkannya pada Elena.
"Di hari-hari terakhirnya, ia memaksaku untuk berjanji akan menikahimu dan aku tak kuasa untuk tidak mengabulkannya," tutur Ibnu dengan suara bergetar.
Elena tiba-tiba ingat telepon konyol Pipit beberapa tahun lalu, yang memintanya menikah dengan suaminya dan menjadi adik madu. Elena cuma bisa tertawa keras dan menganggapnya tidak waras. Tentu saja ia menolak.
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.
— — — bersambung — — —
● Doa: 'Rabbana hablana min azwajinaa wadhurriyatinaa qurrota'ayun wajalnaa lil muttaqina imamaa'. Diambil dari QS. Al-Furqon: 74 yang artinya “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.”
(QS. Al-Furqon: 74)
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Kamu dan KenanganAir muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibuka dan belum terbayar ...Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang terlanjur dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa."Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya." ujarnya pelan pada kasir."Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya." jawab perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua."I'll pay! (Aku yang bayar!)" sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju