"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas.
"Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.
Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka.
"Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.
Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani.
"Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.
Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam.
"Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibawa.
"Baik, Bu!" jawab keduanya berbarengan.
"Please follow me, (Silahkan ikut Saya,)" katanya pada Eugene, tanpa senyum.
"Thank you, thank you so much Mam," sahut Eugene lega. Ia berjalan dua langkah di belakangnya, sekilas memperhatikan penutup kepala lebar wanita itu berkibar-kibar terhembus angin.
Mereka berjalan diantara riuhnya murid-murid, melintasi lorong sekolah sampai ke depan ruangan yang bertuliskan 'Izzatunnisa - Kepala Sekolah'.
"Silahkan masuk dan duduk." Wanita itu mempersilahkan dengan tetap membuka lebar pintu ruangannya.
"Terima kasih." Eugene menarik kursi agak ke belakang, menjaga jarak. Lalu duduk.
"Nama saya Izzatunnisa, Saya yang bertanggung jawab di sekolah ini. Anda siapa? Apa tujuan Anda datang ke sini?" Wanita itu bertanya tegas tanpa basa-basi.
"Nama saya Eugene. Saya berasal dari Kanada. Saya hanya beberapa hari di Jakarta. Datang kemari untuk bertemu Al memenuhi janji saya padanya," terang Eugene berusaha tenang. Diambilnya sebuah buku dari tas selempangnya, dibuka tepat di halaman yang terdapat tulisan Al. Diletakkan di atas meja, menyodorkannya ke hadapan wanita itu.
Hati Eugene berdebar memperhatikan wanita itu membaca tulisan Al dan membolak
-balik beberapa halaman bukunya. Wanita itu kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi, menghela napas."Apa hubungan Anda dengan Al?" selidiknya.
"Saya ... saya temannya ..."
"Saya tidak paham maksud Anda!"
"Baiklah ... Saya berteman dengan Elena, ibunya Al. Kami kemarin tidak sengaja bertemu di sebuah mini market. Dan Al meminta Saya datang ke sini hari ini, seperti yang Anda baca di buku."
Wanita itu meraih gagang telepon, jemarinya hendak memutar tombol-tombol angka ketika Eugene dengan sigap menjauhkan benda itu darinya. Tau persis siapa yang akan ditelepon wanita itu.
"Tolong ... jangan hubungi Elena. Saya mohon. Saya berjanji akan berlaku baik dan segera pergi setelah bertemu Al."
"Assalamualaykum ..." Terdengar salam diiringi suara pintu diketuk pelan. Seorang perempuan muda, lagi-lagi dengan cara berpakaian yang sama dengan Elena masuk menggandeng seorang anak laki-laki.
"Om Eugene!!!" Al memanggil Eugene hampir menghambur ke arah Eugene tapi tangan perempuan muda itu menahannya.
"Wa alaykumsalam, silahkan masuk. Tolong tutup pintunya,"
Perempuan yang dipanggil Bu Dewi itu menutup pintu di belakangnya perlahan. Ia mencium aroma ketegangan. Al mengambil kesempatan itu, Ia berlari ke arah Eugene dan menggandeng tangannya.
Demi melihat Al dan Eugene berdiri berdampingan, baik Ibu Kepala Sekolah dan Bu Dewi terperangah. Betapa mirip.
"Al, kau kenal laki-laki ini?" tanya Ibu Kepala Sekolah setelah berhasil menetralisir keterkejutannya.
"Tentu saja, Bu. Namanya Eugene, kami bertemu dengannya kemarin. Ia sangat menyukai Ibuku!" papar Al antusias, Ia maju menunjukkan halaman-halamandi buku Eugene yang dipenuhi tulisan nama Elena.
"Ya Tuhan ...." Eugene menepuk keningnya dengan telapak tangan kanan, mukanya terasa panas, memerah. Malu.
Ibu Kepala Sekolah sekali lagi menatap Eugene. Dari tatapannya Eugene merasa yakin bahwa Ia mengetahui lebih banyak dari yang seharusnya tapi tak tau apa.
"Baiklah. Anda hanya boleh tinggal sampai jam istirahat pertama usai. Hari ini adalah hari pengenalan profesi ayah. Ibu Dewi adalah wali kelas Al, akan menjelaskannya lebih lanjut. Ia bisa berbahasa Inggris dengan baik. Dan jangan macam-macam, kami bisa bertindak tegas!"
"Baik, baik. Tentu saja."
"Bu Dewi, tolong temani mereka. Awasi, jangan sampai lengah. Laporkan setiap detilnya kepada Saya siang nanti!"
"Baik," sahut Ibu Dewi.
"Terima kasih banyak!" Eugene menyodorkan tangannya, Ibu Kepala Sekolah membalas dengan menganggukkan kepala sambil menarik kedua telapak tangannya ke dada. Eugene sontak menirunya. Lalu mereka bertiga meninggalkan ruangan.
Al menggandeng tangan Eugene masuk ke dalam kelas. Raut mukanya cerah. Di dalam kelas, Eugene menyalami beberapa orang wali murid yang hadir sebelum akhirnya duduk bersebelahan dengan Al di baris paling depan. Tempat yang sengaja dipilihkan oleh Ibu Guru Dewi supaya lebih mudah berkomunikasi dan mengawasi Eugene.
"Baiklah, anak-anak. Hari ini kalian akan memperkenalkan ayah kalian di depan kelas dan para ayah silahkan menceritakan sedikit tentang profesi Anda. Dari sini diharapkan anak-anak bisa lebih banyak tau tentang macam-macam profesi dan semoga bisa menginspirasi mereka dalam memilih cita-cita. Kita mulai sesuai abjad. Al Fatih! Silahkan urutan pertama, waktunya sepuluh menit."
Al maju ke depan kelas, berdiri berdampingan dengan Eugene.
"Hai teman-teman, perkenalkan Eugene. Ia akan menggantikan ayahku untuk hari ini karena ayahku masih di luar kota dan tidak dapat hadir di sini."
"Hai Al! Hai Eugene!" sapa kelas serentak.
"Baiklah. Namaku Eugene. Saya berasal dari Kanada. Saat ini Saya bekerja sebagai dosen bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Taipei. Tapi saat ini Saya tidak akan menceritakan tentang menjadi seorang guru. Saya akan menceritakan tentang hobi saya memasak. Ya Saya juga seorang koki, di Kanada Saya mengelola sebuah restauran keluarga. Hampir setiap malam restauran kami penuh pengunjung terutama di akhir pekan. Intinya jadikanlah pekerjaanmu sesuatu yang kalian sukai agar kalian bahagia."
Eugene bercerita dengan sesekali memberi jeda kepada Bu Dewi untuk menterjemahkannya.
"Semua pasti sayang bukan dengan Ibu-ibu kalian? Saya akan memberikan satu resep sarapan yang mudah dan lezat. Kalian bisa membuatnya bekerjasama dengan ayah dan menyajikannya sebagai kejutan sarapan untuk Ibu kalian akhir pekan ini. Setuju?!?"
Seisi kelas bersorak girang, Eugene melirik Al yang sedang tersenyum dalam hati Eugene berkata 'akan tiba giliran kita suatu hari nanti bersabarlah'.
Tepat setelah penampilan anak dan ayah terakhir selesai, bel istirahat pertama berbunyi. Seisi kelas keluar dengan tertib kecuali tiga orang, Al, Eugene dan Bu Dewi yang membantu menerjemahkan sekaligus mengawasi. Mereka tetap di tempatnya.
Al mengeluarkan kotak makan dan botol minumnya.
"Kau mau, Om?" Al menawarkan biskuit yang dibawanya dari rumah.
"Panggil Eugene saja," sahutnya sambil mengambil sekeping biskuit dan hendak memasukan ke dalam mulutnya dengan tangan kiri.
"Oke. Makanlah dengan tangan kanan, Eugene."
Bu Dewi tersenyum mendengar ucapan Al, Eugene serta merta menarik tangan kiri kemudian menjulurkan tangan kanannya, canggung.
"Aku membawakanmu sesuatu," Eugene membuka tas selempang dan mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Apa ini?" Mata Al berbinar.
"Bukalah."
"WOW! Miniatur kereta! Terima kasih Eugene! Aku suka sekali!" Al memeluk Eugene yang turut tertawa bahagia.
"Ini miniatur kereta pertama dibuat lebih dari dua ratus tahun yang lalu. Kereta-kereta itu terdiri atas gerbong-gerbong yang ditarik dengan sejenis mesin uap yang disebut lokomotif. Mesin ini sebagai tenaga utama pada kereta. Lokomotif uap ini diberi nama Big Boy yang mempunyai kekuatan menarik seratus gerbong yang terisi penuh."
Eugene terus menjelaskan sementara Al memperhatikan miniatur kereta itu dengan terkagum-kagum.
Tidak lama bel berbunyi tanda jam istirahat pertama berakhir. Eugene mendesah berat, Ia masih ingin bersama Al tapi waktunya sudah selesai.
"Aku harus pergi, Al. Jaga dirimu dan Ibumu baik-baik. Kita akan bertemu lagi secepatnya."
"Kau janji?"
"Ya, Aku akan berusaha. Kau pun janji akan menjadi anak tangguh demi Ibumu?"
Al mengangguk, matanya berkaca-kaca. Ia sungguh-sungguh menyukai Eugene.
"Waktunya sudah habis, Sir. Al harus kembali belajar," Bu Dewi mengingatkan sambil bangkit dari duduknya.
"Baiklah. Baiklah." Eugene bangkit dari duduknya kemudian berlutut di dekat Al. Dipeluknya lelaki kecil itu hangat, lalu mencium rambut dan mengacaknya.
"Terima kasih sudah datang. Aku senang sekali."
"Terima kasih kembali. Aku pun sangat menikmatinya. Sampai jumpa, Al!"
Eugene beranjak pergi. Al mengikuti sampai ke depan pintu kelas, melambaikan tangannya sekali. Memperhatikan punggung Eugene sampai hilang dibalik tikungan lorong sekolah.
Eugene menghela nafas berat. Antara sedih dan senang. Tapi paling tidak Ia semakin yakin apa yang ia perjuangkan.
Pak Iwan mensejajari langkah Eugene. Ia menyodorkan sesuatu.
"Bukumu, mister, ketinggalan."
"Ah ya ya ya, terima kasih, Pak Iwan."
"Saya diminta Ibu Kepala Sekolah untuk mengantar mister sampai benar-benar meninggalkan sekolah," ujarnya jujur. Eugene hanya mengangguk-angguk tak paham tapi Ia bisa mengira-ngira kenapa Pak Iwan belum juga kunjung meninggalkannya.
"Baiklah. Terima kasih," Eugene tersenyum.
Sebuah taksi berhenti di hadapan mereka berdua. Eugene masuk ke dalamnya. Belum sempat ia menutup pintu, Pak Iwan menyodorkan kembali sebuah amplop.
"Ada titipan surat dari Ibu Kepala Sekolah, beliau berpesan agar Saya memberikannya kepada mister setelah masuk ke dalam taksi."
"Baiklah, Pak Iwan. Terima kasih," entah sudah berapa kali Ia mengucapkan terima kasih, paling tidak hanya itu yang kedua orang itu mengerti artinya.
Taksi melaju perlahan menuju kembali ke hotel. Eugene menyobek amplopnya dengan hati-hati. Ia menemukan secarik kertas, dan membacanya.
Dear Sir,
Datanglah pukul lima sore ini ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Kamu dan KenanganAir muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibuka dan belum terbayar ...Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang terlanjur dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa."Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya." ujarnya pelan pada kasir."Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya." jawab perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua."I'll pay! (Aku yang bayar!)" sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju