Beranda / Urban / Ketika cinta harus memilih / Kejutan cinta dari Al

Share

Kejutan cinta dari Al

Penulis: Ardiansyah Anieta
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.

Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.

Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.

Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi.

"Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu bersuara menggoda.

"Jangan, Anne. Ini bukan Taipei." Eugene melepaskan dirinya dari pelukan Anne. Lalu membalik badan, berhadapan dengannya.

"Mau apa kau kemari?" tanya Eugene dingin.

"Kau tak suka kedatanganku ya?"Anne mendengus kesal.

"Aku tak suka kejutan."

"Berhari-hari aku menghubungimu, meninggalkan pesan tapi tak ada balasan. Aku benci diabaikan. Rindu ini tak tertahankan," rajuk Anne menggelayuti lengan Eugene.

"Aku sibuk. Harusnya kau menunggu."

"Sibuk? Kupikir kau ke sini untuk liburan, bukan pekerjaan."

Eugene tidak menanggapi keheranan Anne. Ia melangkah kembali ke lobi menghampiri meja resepsionis.

"Aku tadi bermaksud memberi kejutan di kamarmu. Tapi mereka tak mengijinkan aku masuk," ujar Anne kembali masih menggelayut manja di lengan Eugene.

"Tolong bukakan satu kamar lagi untuknya. Tagihannya atas namaku," pesan Eugene pada resepsionis yang menanggapinya dengan sigap dan ramah.

"Kita tidur di kamar terpisah? Kau bercanda ya?" Anne keheranan, matanya lekat menatap Eugene mencari jawaban.

"Aku lelah, Anne. Butuh istirahat," sahut Eugene cepat.

Resepsionis menyodorkan kunci kamar pada Anne sambil tersenyum lalu mengangguk ramah pada Eugene.

Mereka berdua berjalan menuju lift, ke kamar masing-masing. Anne sudah melepaskan gelayutannya dari lengan Eugene. Mukanya cemberut.

"Aku lapar ..."

"Pesan saja dari kamar, aku yang bayar."

"Kau tidak suka kedatanganku. Kita tidur di kamar terpisah. Dan sekarang kau bahkan tidak ingin menemaniku makan. Kau ini kerasukan apa sih?" cecar Anne.

"Aku tak mau makan di hotel. Aku mau makan di luar!"

"Oke. Oke. Terserah kau."

"Jemput aku di kamar ya jam delapan, kita makan malam di luar."

"Tidak. Kita bertemu di lobi saja supaya lebih cepat berangkat." Eugene berkata dengan ekspresi muka biasa, Anne terlihat kecewa.

Lift terbuka di lantai dua, di mana kamar Anne berada. Ia menyeret koper kecilnya keluar, "Jangan lupa jam delapan!"

※※※

Di sebuah kedai yang menyajikan makanan laut, tidak jauh dari hotel. Eugene dan Anne duduk berhadapan. Ini dulu tempat favorit Elena. Letaknya di pinggir jalan besar. Selain di dalam ruko, beberapa meja dan kursi ditata sedemikian rupa di lahan kosong di dekatnya. Tanpa tenda. Jadi jika tidak hujan, mereka bisa makan di bawah langit malam. Harga menu yang tersedia rata-rata lebih mahal daripada kedai-kedai serupa lainnya. Tapi tak mengapa, dengan ukuran kepiting, udang dan ikan yang dimasak dengan kelezatan ekstra maka harganya menjadi sepadan.

Eugene memesan seporsi besar udang bakar madu, lagi-lagi menu favorit Elena. Sementara Anne memesan calamary dan kepiting soka dimasak dengan saus tiram. Eugene menikmati makanannya dengan banyak diam. Sementara Anne ramai sekali berbicara, sesekali ia tertawa pada hal-hal yang dianggapnya lucu dan Eugene hanya menarik bibirnya sedikit, tersenyum tipis.

Dari meja kasir, dua insan itu tidak menyadari sepasang mata yang mengamati mereka dari jauh. Pandangan terluka namun tetap berusaha tegar. 'Can't find someone like me eh?' katanya dalam hati mencibir sinis.

Elena kebetulan sedang mampir juga ke kedai yang sama ketika matanya menangkap bayangan Eugene dan Anne. Malam itu Al ingin makan kerang dan udang rebus.

Setelah membayar pesanannya untuk dibawa pulang. Elena menuliskan sesuatu di secarik kertas lalu menyodorkannya pada seorang pelayan, "Tolong sampaikan ini pada lelaki bule yang duduk bersama perempuan berbaju hitam di meja luar sana."

"Baik, bu."

Elena menggandeng tangan Al yang tidak menyadari kehadiran Eugene, keluar dari kedai dan pulang.

Pelayan yang dititipi Elena mendekati meja Eugene. Menyerahkan dengan sopan secarik kertas yang digulung serupa sebatang rokok kepada Eugene sambil tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. Lalu berlalu pergi.

Eugene menatap punggung belakang pelayan itu lalu beralih pada kertas di genggamannya. Keheranan.

"Kau mengenalnya?" tanya Anne.

Eugene menggeleng pelan. Tangannya membuka gulungan kertas itu perlahan. 'Sudah kuduga tak sesulit itu mencari penggantiku. Aku senang akhirnya kita berdua bisa melanjutkan hidup masing-masing.'

Elena! Dalam sepersekian detik setelah membaca isi kertas itu, Eugene bangkit terburu-buru sehingga kursi yang didudukinya hampir saja terjungkal. Ia berlari keluar kedai, menghambur ke arah jalan raya.

"Elena! Elena! Elena!" Eugene memanggil-manggil Elena sambil mencari-cari ke segala arah. Ia tidak menemukan siapa-siapa.

Dengan gontai Eugene kembali masuk ke dalam kedai. Melewati kasir dan beberapa orang pelayan juga belasan pasang mata pengunjung lainnya yang keheranan. Fix, lagi-lagi ia menjadi bahan tontonan. Kedua tangannya meremas rambutnya kesal sementara wajahnya terlihat kusut masai.

"Kau mencari siapa?" selidik Anne.

"Cepat selesaikan makanmu. Kita kembali ke hotel. Aku lelah!" Eugene tidak menggubris pertanyaan Anne, rahangnya mengeras menahan sesuatu dalam dadanya yang bergejolak.

※※※

Hampir semalaman Elena terjaga, ia benar-benar tidak menyangka melihat Eugene kembali ... dan tidak sendiri. Berbagai perasaan campur aduk dalam hatinya membuat napasnya sesak seolah apa yang di dalam rongga dadanya hampir meledak.

Menjelang adzan shubuh, diambilnya air wudhlu. Dirasakannya setiap bulir air dingin yang masuk ke dalam pori-porinya. Sejuknya sampai ke dalam dada, satu ikatan seperti terlepas menjadikan ia sedikit lebih lega.

Dihamparkannya sajadah, ia mendirikan sholat sunnah dua rakaat kemudian dilanjut sholat fardhu shubuh. Ia merasa satu lagi ikatan seolah terlepas dari dadanya. Semakin lega.

Elena mengambil kitab suci Al Quran, diciumnya beberapa kali sebelum akhirnya membukanya untuk melanjutkan tilawah. Ia ingat betul seseorang dalam hidupnya pernah berkata padanya, 'Al Quran itu melembutkan hati yang keras dan menyembuhkan hati yang luka'.

Sampai pada surat Az Zumar ayat 53, ia menemukan ayat yang menjadi salah satu motivasi terhebat ketika ia akhirnya memutuskan untuk bertobat.

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Elena tak sanggup lagi menahan perasaan. Disungkurkan wajahnya di atas sajadah, tangisnya pecah. Bahunya berguncang-guncang hebat, mulutnya terus-menerus beristighfar. Ia bergumam lirih, 'Ya Rabb, please don't put me back into what You once took me out from.'

Setelah menangis cukup lama, Elena tertidur di atas sajadah masih dengan mengenakan mukenah.

Seseorang masuk ke dalam kamar Elena, menyibakkan tirai. Cahaya matahari menerobos masuk dari jendela, hangatnya terasa di wajah Elena.

"Ibu. Ibu. Ayo bangun. Ibu bilang tidak baik tidur setelah sholat shubuh." Al mengelus pipi Elena, diperhatikannya bekas-bekas airmata yang mengering di wajah ibunya. Al memeluk Elena, matanya berkaca-kaca. Ia tak pernah sanggup melihat ibunya menangis.

"Al? Kau sudah bangun, Nak?"

"Ya, Bu. Ibu habis menangis ya?"

"Haha iya sedikit, Ibu merasa banyak dosa sama Allah jadi sedih. Al belajar terus jadi sholeh ya, Nak. Supaya kelak kau bisa menolong ibu dengan doa-doamu. Oya tadi shubuh sholat di rumah atau di masjid?"

"Iya, Bu insyaa Allaah Al jadi anak sholeh. Tadi Al sholat shubuh di masjid, berangkat naik sepeda bareng Athar sama Radit. Al udah pamit kok, Ibu tidak dengar ya?"

Elena menggeleng sambil tersenyum.

"Jam berapa ini Al? Kok belum siap-siap sekolah?"

"Ini Sabtu, Bu. Al kan libur. Ibu masih setengah tidur nih. Ayo bangun, Al mau kasih kejutan buat Ibu." Al menarik tangan Elena.

"Ya ya ya, sebentar Ibu lepas mukenah dulu."

"Aku tunggu di meja makan ya, Bu!" Al berlari kecil keluar kamar Elena yang tersenyum-senyum melihat tingkah Al. Sungguh Al adalah pelipur lara dan obat dari segala keletihannya.

"Tadaaaaaaaaa, kejutan sarapan untuk Ibu tercintaaaa!" teriak Al begitu Elena muncul.

Al menarik kursi, menuntun ibunya duduk. Sementara mata Elena terpaku melihat hidangan di atas meja. Segelas air jeruk. French Toast. Irisan strawberry dan madu. Hatinya berdesir mengingatkan ia pada seseorang tapi buru-buru ditepisnya. Ini hanya kebetulan.

"Siapa yang menyiapkan ini semua?"

"Aku!" Al mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. Matanya berbinar bangga.

"Masa?" Elena masih terpana tak percaya.

"Iya, betul! Al belajar dari sekolah. Al minta tolong Ummi Izza untuk membeli bahan-bahannya dari uang tabungan Al."

"Masyaa Allaah, Al. Ibu bangga dan bahagia sekali. Jazakallaahu khayr ya, Nak." mata Elena berkaca-kaca, diraihnya Al ke dalam pelukan dan menciuminya bertubi-tubi. Al terkekeh-kekeh geli. Lalu mereka mulai makan bersama-sama.

"Kau tahu ini namanya apa Al?" Elena menunjuk pada lembaran roti di piringnya.

"Namanya susah, Al tidak ingat. Hahaha. Al kasih nama roti goreng cinta saja." Elena ikut tertawa mendengarnya.

"Ini namanya French Toast. Ibu penasaran bagaimana kau membuatnya?"

"Mudah, Bu. Al tinggal masukin semua jadi satu saja. Bahan-bahannya kan sudah ditakar Ummi Izza. Pertama Al kocok dua butir telur ayam. Lalu masukkan susu full cream, bubuk kayu manis dan garam. Aduk. Masukin roti tawar, digoreng deh pake margarine. Tunggu sampai kecoklatan, dibalik sekali terus diangkat. Sebenarnya ditambah coklat, selai atau keju pasti lebih enak. Tapi ada yang bilang kalau Ibu lebih suka dioles madu tipis-tipis."

"Siapa yang bilang?"

"Eh, siapa yang bilang ya? Al yang bilang tadi kan ... barusan." Al salah tingkah. Al tahu Eugene menyukai ibunya, tapi ia tak yakin ibunya merasakan hal yang sama.

Elena tertawa. Pikirannya ke mana-mana, menaruh curiga. Tapi ia berusaha menepisnya jauh-jauh.

Selesai sarapan, Elena membawa piring dan gelas ke belakang. Ia hampir pingsan mendapati dapurnya hancur berantakan. Elena melotot ke arah Al yang tertawa cengengesan.

※※※

Sarapan pagi yang dibuat Al menyeret ingatan Elena ke sarapan terakhir yang disajikan Eugene lebih dari tujuh tahun yang lalu.

Elena yang masih meringkuk di tempat tidur terbangun mendengar suara alat masak beradu di dapur. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam dan terkejut sendiri saat mendapati keadaan dirinya yang polos di balik selimut. 'Ya Tuhan, apa yang telah aku lakukan?'

Eugene datang dengan senampan sarapan, meletakkannya di hadapan Elena. Segelas jus jeruk, beberapa lembar french toast, irisan stawberry dan madu. Harumnya menggoda tapi mengingat kejadian semalam Elena mendadak tak berselera.

"Selamat pagi, sleeping beauty. Breakfast is ready" sapa Eugene sambil mengecup pipi Elena.

"Aku tak lapar ..." Elena menarik selimut yang menutup tubuhnya lebih tinggi. Ia duduk bersandar di kepala tempat tidur.

"Ayolah, kau makan terlalu sedikit. Apa kita ulang yang terjadi semalam supaya kau cukup merasa lapar untuk makan?" Eugene senang sekali mencandainya seperti itu. Lagi-lagi muka Elena memerah tapi kali ini antara malu dan marah. Ia memalingkan mukanya dari Eugene.

"Aku mau mandi." Elena menyeret selimutnya supaya tubuhnya tetap tertutupi.

Selesai mandi, ia menemukan sarapannya sudah berpindah ke meja makan. Eugene duduk di sana sambil menyeruput kopi. Elena duduk di hadapannya. Dengan sigap Eugene mengambilkan selembar french toast mengolesnya tipis dengan madu kemudian menaruh beberapa iris strawberry di atasnya.

Elena memakannya perlahan dengan diam. Eugene memperhatikannya.

"Kau menyesal?"

Elena masih diam, hati dan akalnya tidak sinkron. Harusnya ia menyesal, ini gila. Tidak seharusnya sampai sejauh ini. Tapi di lain sisi, ia juga menginginkannya. Elena menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, mulai terisak.

Eugene bangkit, memeluk Elena lembut. "Maafkan aku ..."

Elena bergeming. Eugene setengah berjongkok, diputarnya kursi Elena sehingga ia berhadapan dengannya. Eugene meraih kedua tangan Elena, mengecupnya berkali-kali. Ia bisa merasakan ketakutan yang dirasakan Elena.

"Belum terlambat untuk berubah fikiran. Pergilah bersamaku, Elena. Penghasilanku cukup untuk menghidupi kita berdua. Aku mohon ..."

Elena menggeleng lemah. Airmata Elena semakin deras, ingin rasanya ia mengiyakan tapi serusak apapun dirinya saat ini ia masih cukup waras untuk tidak hidup dengan orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

Eugene menghela nafas berat. Lalu bangkit kembali duduk di kursinya.

"Pesawatku berangkat jam satu siang. Kau kerja hari ini?"

"Tidak. Aku ingin pulang saja setelah ini. Aku merasa tidak enak badan."

"Baiklah. Kuantar kau pulang ya?" tanya Eugene khawatir.

"Tidak usah, aku baik-baik saja."

"Maukah kau mengantarku ke bandara?"

"Baiklah. Tapi aku tidak turun dari taksi ya, aku langsung pulang setibanya kau di bandara."

"Oke. Sekarang habiskan sarapanmu. Aku bersiap-siap dulu."

Eugene mengembalikan kunci apartemen ke kantor pengelola. Lalu menggandeng tangan Elena masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu.

"Kau meninggalkan apartemen berantakan begitu saja?"

"Oh aku sudah mengupah seseorang untuk membersihkannya," sahut Eugene sambil tertawa kecil.

"Oh ..."

Sepanjang perjalanan Eugene menggenggam erat tangan Elena. Ia seperti mencium hal-hal yang tidak ia sukai akan terjadi. Dan takut hal itu akan menyebabkan ia kehilangan Elena.

"Dengarkan aku baik-baik, Elena. Aku mencintaimu. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Aku akan meneleponmu setiba di Kanada. Sekarang berjanjilah satu hal padaku ..." Eugene menyentuh pipi Elena, mengarahkan pada wajahnya sehingga ia bisa melihat jauh ke dalam bola mata Elena.

"Berjanjilah padaku kau tidak akan meninggalkan aku ..."

Elena bergeming, dari sudut-sudut matanya berjatuhan buliran bening. Eugene meraih Elena dalam dadanya memeluknya erat.

Tiba di bandara, Eugene memberikan sejumlah uang pada supir. Memintanya untuk berhati-hati berkendara dan mengantarkan Elena pulang dengan selamat. Dikecupnya beberapa kali rambut Elena. Dan membisikkan, "Aku akan kembali liburan akhir tahun nanti."

Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.

Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.

— — — bersambung — — —

*can't find someone like me, eh?

(tidak bisa menemukan penggantiku, ya?)

*ya Rabb, please don't put me back into what you once took me out from.

(ya Allah, aku mohon jangan biarkan aku kembali pada apa yang telah Kau selamatkan aku daripadanya.)

*sleeping beauty (putri tidur)

*breakfast is ready (sarapan sudah siap)

Bab terkait

  • Ketika cinta harus memilih   Masa lalu menyedihkan

    ***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.

  • Ketika cinta harus memilih   Ibnu, si penyabar.

    *masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d

  • Ketika cinta harus memilih   Surat wasiat Safitri

    Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke

  • Ketika cinta harus memilih   Kelahiran Al.

    "Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang

  • Ketika cinta harus memilih   Kamu dan Kenangan

    Kamu dan KenanganAir muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibuka dan belum terbayar ...Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang terlanjur dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa."Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya." ujarnya pelan pada kasir."Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya." jawab perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua."I'll pay! (Aku yang bayar!)" sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena

  • Ketika cinta harus memilih   Dia Eugene!

    ※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju

  • Ketika cinta harus memilih   Saya temannya Al.

    Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan

  • Ketika cinta harus memilih   Perjanjian sesama lelaki

    "Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw

Bab terbaru

  • Ketika cinta harus memilih   Kelahiran Al.

    "Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang

  • Ketika cinta harus memilih   Surat wasiat Safitri

    Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke

  • Ketika cinta harus memilih   Ibnu, si penyabar.

    *masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d

  • Ketika cinta harus memilih   Masa lalu menyedihkan

    ***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.

  • Ketika cinta harus memilih   Kejutan cinta dari Al

    "Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b

  • Ketika cinta harus memilih   Mantan yang kembali

    Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne

  • Ketika cinta harus memilih   Perjanjian sesama lelaki

    "Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw

  • Ketika cinta harus memilih   Saya temannya Al.

    Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan

  • Ketika cinta harus memilih   Dia Eugene!

    ※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju

DMCA.com Protection Status