Dear Sir,
Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?
Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya.
"Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."
Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap."
"Baiklah. Terima kasih."
"Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."
Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan.
"Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne dan menyambungkannya ke kamar?" sambung resepsionis itu lagi.
"Tidak, tidak perlu. Tolong sambungkan ke nomer ini saja," Eugene menulis sebaris nomor di kertas yang tersedia di meja resepsionis. "Catherina, dia ibuku," terangnya.
"Baik. Segera saya sambungkan ke kamar anda."
"Oke. Terima kasih. Jangan lupa nanti sore."
"Tentu tidak, Sir. Pak Udin akan siap sebelum jam empat."
Eugene tersenyum sekilas kemudian berlalu ke kamarnya.
Belum lama Eugene masuk, telepon kamarnya berdering.
"Halo Sir, sudah tersambung dengan Mrs. Catherina. Silahkan."
"Baik, terima kasih."
"Eugene? Hello, are you there? (Apakah kau di sana?" suara lembut dari seberang sana terdengar.
"Ya Mom, aku di sini. Bagaimana keadaanmu?"
"Aku baik-baik saja, hanya sedikit bosan. Kau sudah makan belum? Mengapa kau begitu sulit dihubungi? Kapan kau pulang?"
"Please Mom, Aku sudah terlalu tua untuk diingatkan. Aku akan makan ketika aku lapar, jangan khawatir aku baik-baik saja. Tentu aku sulit dihubungi karena kunjunganku ke Jakarta bukan untuk tidur di hotel tapi berkeliling kota." Eugene tertawa kecil, sebersit rindu menyusup dalam hatinya. Ah sudah hampir setahun Ia tak pulang ke Kanada.
"Lalu, kapan kau pulang? Aku bosan. Kakakmu pun sibuk dengan restoran yang kau percayakan padanya, ia jarang mengunjungiku kecuali akhir pekan. Itu pun hanya sebentar. Aku terus berfikir untuk menjual rumah ini dan pindah ke panti. Sehingga aku tidak kesepian lagi."
"Bersabarlah sedikit lagi, Mom. Aku akan segera pulang, kita diskusikan lagi nanti. Sementara ini ada beberapa hal yang harus Aku urus di sini dan di Taipei. Lalu aku akan pulang ke Kanada menemanimu."
"Kapan Kau menikah?!?" Tiba-tiba ibunya mengganti topik pembicaraan. Eugene selalu menghindari pertanyaan itu. Tapi ibunya tak pernah lalai menanyakan setiap kali ia punya kesempatan berbicara dengannya.
"Aku tak tau ..."
"Apa kau akan melajang seumur hidup? Sampai kapan kau akan bertualang dari satu perempuan ke lain perempuan? Usiamu saja yang bertambah tapi kelakuanmu tak bertumbuh, kekanakkan! Apa kau pikir kau bisa cukup bahagia dengan terus hidup bersenang-senang?"
"Mom, please ..." untuk sekali ini Eugene merasa tak kuasa membantah. Pencariannya empat hari ini sedikit banyak telah memberinya pelajaran.
Eugene terdiam. Ia bisa mendengar ibunya menghela nafas panjang dan sesekali terdengar isak pelan dari seberang sana.
"Andai ayahmu masih ada, Ia juga akan merasa kecewa. Ia menginginkan kau menjadi sosok yang bertanggung jawab dan menghargai hidup. Baik hidupmu sendiri, juga kehidupan orang-orang yang mencintaimu. Kau tidak sadar sedang merusak dirimu sendiri ..."
"Aku sedang berusaha, Mom. Untuk memperbaikinya.Percayalah padaku sekali ini. Aku perlu waktu sedikit lagi."
"Baiklah, Nak. Sekarang aku sedikit lelah."
"Beristirahatlah, Mom. Aku akan meneleponmu lagi nanti."
Lalu terdengar nada telepon terputus. Eugene meletakkan gagang telepon ke tempatnya dan mengusap wajahnya. Di saat-saat seperti ini biasanya alkohol dan rokok menjadi pelampiasan. Tapi Al membuka babak baru, ia harus bisa menjadi teladan bagi Al. Ia tak ingin Al kecewa, sebagaimana ia mengecewakan ayahnya seperti kata ibunya tadi.
Eugene melihat ke arah jam dinding. Hampir pukul satu, perutnya lapar sejak pagi hanya terisi beberapa potong biskuit di sekolah Al tadi pagi.
Ia menelepon pelayanan kamar, dengan luwes menyebutkan menu khas Indonesia. Nasi putih, sop buntut dan teh tawar panas.
Tak menunggu lama makanannya terhidang di meja. Ia melahapnya dengan nikmat. Habis tak bersisa.
Setelah kurang lebih satu setengah jam mengistirahatkan badannya di atas pembaringan. Eugene bersiap-siap, ia tak mau lagi terlambat. Wajah dan badannya terasa segar sehabis mandi. Dikenakannya pakaian terbaik yang ia bawa. Siapa yang bisa menjamin ia tak bakal bertemu Elena.
"Pak Udin, ayo kita berangkat!" seru Eugene seketika sampai di lobi hotel. Ia melambai pada resepsionis yang membalasnya dengan mengangguk sambil tersenyum ramah. Pak Udin setengah berlari menyusulnya keluar pintu hotel, mobil sudah tersedia di depannya. Siap berangkat.
"Sudah sampai, mister"
Jam tangan yang dipakai Eugene menunjukkan pukul lima kurang dua puluh menit. Ia tiba lebih awal. Dilongokkan kepalanya keluar jendela mobil, memperhatikan sekitar. Suasananya begitu asri, ditumbuhi banyak pepohonan. Ia melihat sebuah rumah sederhana beraula terbuka cukup luas, dikelilingi pagar hijau setinggi paha orang dewasa. Agak jauh ke dalam lagi, dilihatnya berjejer beberapa bangunan rumah yang lebih kecil dari rumah utama.
"Pak Udin, bisakah kau menunggu sampai urusanku selesai? Aku khawatir agak sulit mencari taksi di sekitar sini."
"Baik mister, saya akan menunggu di sebelah sana ya," ia menunjukkan sebuah tempat teduh di bawah pohon rindang.
"Oke. Terima kasih."
Eugene keluar dari mobil. Berdiri hampir di bawah tiang nama yang terpancang selangkah di depannya, kepalanya sedikit mendongak berusaha membaca. Tertulis, BAITI QURAN Rumah Belajar Tahsin dan Tahfiz. Eugene mengerutkan dahi, satu-satunya kata yang ia tau artinya cuma Quran. Itu kitab suci umat Islam.
Dilangkahkan kakinya ragu-ragu, masuk ke dalam gerbang yang terbuat dari bata-bata yang disusun tinggi. Sayup-sayup terdengar suara anak-anak membaca sesuatu secara serentak. Tiga orang anak perempuan kecil seumuran Al, memakai penutup kepala berwarna cerah berlarian melintasinya. Sepertinya mereka terlambat akan sesuatu. Tak lama berselang lewat serombongan wanita dengan pakaian tertutup dari ujung rambut sampai kaki, menundukkan kepala dalam-dalam berjalan tergesa-gesa menuju salah satu rumah yang berjejer di ujung sana tanpa menoleh sedikitpun padanya.
Dahi dan tengkuk Eugene berkeringat. Ia merasa gelisah dan tidak nyaman dengan suasana asing di sekelilingnya. Tempat apa ini? Kepalanya dipenuhi pikiran macam-macam.
Langkah Eugen terhenti. Ia mulai ragu, hampir membalik badan ketika seorang remaja lelaki belasan tahun menghampirinya setengah berlari.
"Mister Eugene ya? Saya Asep, santri di sini. Mari masuk, Abah sudah menunggu di dalam," katanya dalam bahasa Inggris terpatah-patah bercampur logat sunda yang terdengar lucu di telinga Eugene.
"Baiklah. Senang bertemu denganmu, Asep. Terima kasih," Eugene mengulurkan tangannya, disambut hangat oleh Asep.
Keduanya berjalan beriringan. Masuk ke dalam rumah utama. Asep mempersilahkan Eugene duduk di ruang tamu, lalu ia menghilang di balik tirai.
Eugene memperhatikan sekitarnya. Tidak ada yang mewah di ruangan ini. Kursi dan mejanya terbuat dari anyaman rotan. Temboknya dicat putih yang terlihat agak sedikit kusam karena sudah terlalu lama. Beberapa pot dengan tanaman berdaun lebar diletakkan di sudut-sudut ruangan. Sebuah jam dinding ditempatkan di atas pigura yang bertuliskan ayat-ayat suci Al Quran. Semua berkesan sangat sederhana. Sedikit demi sedikit kegelisahan yang tadi merasukinya berganti rasa nyaman.
Seorang lelaki tua keluar dari balik tirai, dimana Asep masuk tadi. Rambut dan janggutnya putih. Dengan perkiraan usia lebih dari enam puluhan, tubuhnya terbilang bugar. Tidak gemuk pun tidak kurus. Wajahnya ramah dengan tatapan mata teduh. Lelaki tua itu menyodorkan tangannya.
"Eugene? Perkenalkan saya Abdullah. Para santri di sini memanggil saya dengan sebutan Abah. Kau pun boleh memanggilku begitu," terangnya.
Eugene terkaget-kaget, mendengar lelaki tua itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan fasih. Untuk beberapa saat ia tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Lelaki tua yang meminta dipanggil Abah itu tertawa renyah.
"Jangan heran begitu. Saya pernah tinggal di Kanada selama sepuluh tahun!" terangnya lagi sambil menyentuh bahu Eugene sambil tangannya mempersilakan duduk. Eugene tertawa canggung.
"Anda tinggal di mana sewaktu di Kanada?" tanya Eugene penasaran. Ia merasa senang ada seseorang yang bisa diajak berbincang-bincang lancar tanpa harus menebak-nebak maksud pembicara.
"Brampton, Ontario. Saya sempat menjadi imam di beberapa masjid di sekitar itu. Bagaimana denganmu?"
"Benar-benar suatu kejutan, saya tinggal di Toronto. Kami mengelola satu restoran di sana. Tapi sementara ini saya berdomisili di Taipei sampai kontrak kerja saya sebagai dosen bahasa Inggris di salah satu perguruan tinggi di Taipei selesai."
"Bagaimana pendapatmu ketika baru sampai tadi? Apakah kau merasa terintimidasi berada di lingkungan sini? Apa kau takut terjebak di sarang teroris???" Ia tertawa terkekeh-kekeh seperti bisa membaca kegelisahannya tadi.
Eugene ikut tertawa antara canggung dan malu. Dalam hati Eugene bertanya-tanya. Apa maksud ia diarahkan ke alamat ini, bertemu dengan orang yang sama sekali belum pernah dijumpainya. Keheranannya terjawab ketika seorang wanita keluar dengan membawa dua cangkir teh manis dan kudapan di atas nampan. Ibu Kepala Sekolah, ah sekarang ia menemukan benang merah.
"Ini istri saya, Izzatunnisa. Santri di sini memanggilnya Ummi Izza. Kau pasti sudah bertemu dengannya di sekolah tadi pagi."
Eugene mengiyakan dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tersenyum hormat sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke dada. Ummi Izza membalas serupa. Ia lalu duduk di kursi bersebelahan dengan suaminya lalu membuka suara.
"Abah yang akan menyampaikan maksud kami mengundang anda kemari," sahut ummi Izza tenang.
Lelaki tua yang dipanggil Abah itu melihat ke arah Eugene, diperhatikannya dengan seksama. Eugene salah tingkah. Ia lalu berdiri, berjalan ke arah tirai yang membatasi ruang tamu dengan aula yang terdapat di samping rumah.
"Kemarilah!" panggil Abah.
Eugene mendekat ragu-ragu. Sedikit canggung ketika harus melewati kursi di mana Ummi Izza duduk, "Permisi Mam."
Abah menyibakkan tirai sedikit, mereka berdua seperti sedang mengintip. Eugene melihat sebuah aula luas dengan selembar kain hijau di tengahnya yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Di dalam sana anak-anak kecil dan para remaja duduk berkelompok-kelompok membentuk setengah lingkaran. Di tengah-tengah mereka duduk seorang dewasa.
Di bagian laki-laki, matanya menangkap sosok yang ditemuinya pagi tadi. AL! Senyumnya terkembang melihat anak itu duduk dengan takzim menyimak penjelasan seorang pemuda usia dua puluh lima tahunan yang duduk di tengah.
"Di sana," bisik Abah.
Eugene mengalihkan perhatiannya ke arah yang ditunjuk Abah. Dalam sepersekian detik Eugene menemukan Elena, ia duduk di tengah membacakan sesuatu kemudian diikuti oleh perempuan-perempuan remaja yang duduk mengelilinginya. Wajahnya polos dan tenang dengan baju panjang dan penutup kepala berwarna hitam. Tanpa sadar ia membisikkan namanya perlahan 'Elena' ...
"Menemukan yang kau cari?" tanya Abah pelan.
Eugene hanya bisa mengangguk tanpa suara matanya lekat menatap Elena. Abah tiba-tiba menutup tirai kembali, "Sudah cukup ya."
Abah mempersilahkan Eugene duduk dan meminum teh nya. Eugene menurutinya, masih dalam diam.
"Bolehkah aku menemui dan berbicara dengannya?" Eugene membuka suara setelah berhasil menetralisir perasaannya.
"Tidak," sahut abah singkat.
"Sebentar saja," Eugene memohon.
"Tidak!" tegas Abah.
Eugene menghela nafas kecewa, "Lalu untuk apa saya diundang datang ke sini???" Sekarang ia paham yang dimaksud 'kami' di surat itu adalah ummi Izza dan Abah saja. Sedang Elena tidak termasuk diantaranya.
"Maksud kami mengundangmu kemari adalah agar kau bisa melihat dengan mata kepalamu sendiri bahwa Elena baik-baik saja. Justru pencarianmulah yang bisa melukainya lagi. Kau tidak akan mengerti proses panjang menyakitkan yang ia lalui untuk dapat mencapai keadaannya seperti sekarang ini. Karenanya kami minta pengertianmu agar kau menjauh dari Elena."
"Saya tidak bisa ... Saya mencintainya."
"Cinta saja tidak cukup. Kau takkan bisa meraihnya, Eugene. Kau takkan mampu bersaing dengan Rabb-nya."
"Apa maksudmu? Apakah ia masih menikah?"
"Kau tak perlu tau apakah Elena masih menjadi istri orang atau tidak. Karena lepas dari hal itu, akidah kami melarangnya."
"Saya tidak mengerti maksudmu."
Abah menghela nafas panjang, sedikit banyak ia prihatin dengan lelaki di depannya ini.
"Maaf, Eugene, apa agamamu?"
"Saya ... saya ... saya tidak yakin ..." tiba-tiba suara Eugene tercekat nyaris hilang. Kepalanya ditundukkannya dalam-dalam. Ia jelas terlihat kacau. Ia tau betul ibunya adalah seorang kristen yang taat. Tapi seiring berjalannya waktu, ia banyak mempertanyakan hal-hal yang menurutnya tidak masuk akal. Maka kemudian sedikit demi sedikit keyakinannya memudar sampai akhirnya ia sepenuhnya tersesat tak tau arah.
Abah tidak heran, sepuluh tahun tinggal di luar negeri cukup memberinya pengetahuan betapa banyak orang-orang yang hidup tanpa pegangan. Bahkan mengingkari adanya Tuhan.
"Berapa usiamu?"
"Empat puluh dua tahun Juli akan datang."
"Menurutmu kehidupan yang ada di sekitarmu ini, di bumi ini saja misalnya. Bisa tercipta dengan sendirinya? Tanpa ada maksud dan tujuan? Tidakkah dengan usiamu membuka keingintahuan tentang penciptamu?
Kami menemukan Elena dalam keadaan terluka jiwa dan raga. Kami membawanya kemari, mencoba mendekatkannya lagi pada agamanya.
Di tempat ini ia mulai belajar mengenal dan mencintai Rabb-nya dengan berusaha mematuhi aturan-aturan yang tertulis dalam Al Quran dan hadits. Dan salah satu aturan yang harus ia taati adalah tidak berzina dan juga tidak menikah dengan yang tidak seakidah.
Itulah mengapa saya mengatakan, kau tidak akan sanggup bersaing dengan Rabb-nya."
"Jadi apa yang harus saya lakukan?" desah Eugene kebingungan.
"Pulanglah, tinggalkan Elena. Kami akan menjaganya untukmu."
"Satu hal lagi, apakah Al anakku?" tanya Eugene serak.
"Kami tak berhak menjawabnya. Untuk saat ini biarkanlah takdir yang akan membawamu kelak pada jawabannya. Saya harus memimpin sholat maghrib sebentar lagi. Mari saya antar sampai keluar."
Eugene berpamitan pada Ummi Izza, wanita itu benar-benar diam seribu bahasa. Tapi sekali lagi, Eugene melihat dari matanya bahwa wanita itu tau lebih banyak dari sekedar yang diucapkannya.
Abah mengantarkan Eugene sampai gerbang. Mata Eugene sesekali mencari-cari sosok Elena atau Al. Abah hanya tersenyum tipis.
"Mereka sudah pulang, jam belajar mengaji selesai setengah jam lalu," ujar Abah mengerti sekali apa yang Eugene cari.
"Baiklah ... bolehkah aku sesekali menelepon kemari?"
"Tentu saja, tapi kau hanya bisa berbicara dengan saya. Bahkan tidak dengan ummi Izza."
"Baiklah, saya hanya ingin tau tentang keadaan Al ..."
"Eugene, ini ... nomor saya. Dan di balik kartu nama itu saya tuliskan sebuah nama dan nomor telepon orang yang bisa kau hubungi jika kau butuh teman untuk berdiskusi. Namanya Ibnu, seorang muslim yang tinggal di Kanada dan ia dapat dipercaya."
Eugene menerimanya lalu menjabat erat tangan Abah, "Terima kasih. Saya sangat menghargainya."
Abah menarik tangan Eugene dan memeluknya. Ditepuk-tepuknya pundak Eugene, "Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, jangan sampai terlambat!"
Eugene tak yakin benar apa maksud perkataan itu tapi ia merasakan kesungguhan dan ketulusan di dalamnya.
Mobil yang dikendarai Pak Udin berhenti di depan mereka berdua. Eugene masuk ke dalam mobil lalu menganggukan kepala sebelum akhirnya mobil melaju meninggalkan tempat itu.
Belum seperempat perjalanan suara adzan maghrib terdengar, Pak Udin meminta ijin untuk berhenti di sebuah masjid. Ia mengabulkannya. Dari dalam mobil, dipejamkan matanya ia menyimak suara adzan. Tak paham, tapi hatinya terasa sejuk dan damai. Ia sedikit penasaran apakah yang adzan sampaikan?
Kurang dari sepuluh menit, pak Udin kembali ke dalam mobil. Melanjutkan perjalanan pulang ke hotel. Kepala Eugene terasa penuh sesak. Pengalaman sore ini terasa sedikit berat, ia butuh istirahat.
Sesampainya di hotel, ia berterima kasih pada pak Udin. Diselipkannya beberapa lembar uang sebagai tanda terima kasih. Lalu melambai ke arah resepsionis hendak langsung naik ke kamarnya ketika resepsionis itu memanggilnya.
"Sir, maaf."
Eugene menghentikan langkahnya, resepsionis tersebut meninggalkan tempat dan menghampirinya.
"Ya, ada apa?"
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi. Lalu ia kembali ke tempatnya.
Tamu perempuan? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Kamu dan KenanganAir muka Elena pucat di depan kasir, dia baru menyadari dompetnya tak ada di dalam tasnya. Sekilas ditatapnya si kecil Al yang jongkok di dekat kakinya menikmati es krim yang baru saja dibuka dan belum terbayar ...Elena merogoh setiap sudut tas dan saku gamisnya berharap menemukan selembar uang untuk membayar es krim yang terlanjur dilahap anaknya. Wajahnya makin pias, dia tidak menemukan apa-apa."Mbak, maaf. Dompet saya ketinggalan di rumah berikut isinya. Apa bisa saya meninggalkan sesuatu untuk jaminan? Insyaa Allaah segera saya balik lagi menebusnya." ujarnya pelan pada kasir."Aduh, gimana ya Bu. Saya takut salah. Sebentar saya panggil manajer toko saja ya." jawab perempuan muda bermake-up tebal yang menjadikannya malah terlihat lebih tua."I'll pay! (Aku yang bayar!)" sahut seseorang dari arah pintu masuk mini market.Mereka berdua serentak menoleh ke pintu masuk dan demi melihat sosok itu seketika Elena
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
"Safitri dulu pun seperti ini ketika minggu-minggu pertama mengandung Maryam ..." Ibnu berujar hati-hati.Elena kaget setengah mati mendengar perkataan Ibnu. Ia tidak pernah terpikir sampai ke sana. Mungkinkah?Dua garis merah, positif. Elena menyandarkan tubuhnya di dinding kamar mandi, gelisah. Bayangan malam itu bersama Eugene menghantuinya. Meskipun ia juga telah melalui banyak malam dengan Ibnu namun bagaimana jika janin yang di rahimnya ini adalah ... tubuh Elena melorot sampai pada posisi jongkok, ia tak kuasa membayangkannya.Ketika Ibnu mengetahui kehamilan Elena dan kondisi Elena yang terus-terusan muntah, ia memutuskan Elena harus berhenti bekerja dan beristirahat di rumah. Elena langsung menyetujuinya, selama ini pun ia merasa was-was setiap hari khawatir Eugene nekad tiba-tiba mendatanginya di kantor setelah tidak pernah berhasil menghubunginya.Trimester pertama yang sangat berat untuk Elena, bukan hanya karena mual muntah serta hilang
Elena membuka lipatan kertas yang disodorkan Ibnu, dibacanya perlahan sambil sesekali menahan napas.Untuk:Ibnu, suamiku tercinta danElena, sahabatku tersayangAssalamualaykum warrohmatullaahi wabarokatuh.Aku menulis surat ini, atas nama cinta yang besarnya hanya Allah saja yang tahu. Saat kalian baca ini kemungkinan besar aku sudah tidak ada diantara kalian. Doakan aku.Ketahuilah kalian adalah dua orang istimewa dalam hidupku yang kucintai karena Allah, selain Maryam, Abah dan Ummi.Suamiku sayang, aku tahu permintaan ini terasa berat. Percayalah aku bukan tak yakin akan kesetiaan dan cintamu padaku. Hanya saja aku tak ingin kebahagiaan yang pernah aku rasakan bersamamu ini cuma milikku sendiri. Aku ingin berbagi dengan sahabatku, Elena.Kau pasti bertanya-tanya, kenapa Elena? Karena aku yakin ada kebaikan luar biasa pada dirinya, hanya ia belum menyadarinya. Sebagaimana aku melihatmu pada saat orangtuamu datang ke
*masih flashback tujuh tahun lalu*Masih seperti mimpi. Sampai akhirnya pada waktu yang ditentukan Elena benar-benar menemukan namanya dan nama lelaki itu terpajang besar-besar di sejumlah papan rangkaian bunga.'Selamat atas PernikahanIBNU dan ELENA'Dan begitulah pernikahan Elena dan Ibnu didasari niat yang berbeda diawali. Keshalihan dan kesabaran Ibnu belum menyentuh kalbu Elena sama sekali. Sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah Elena malah terseret kembali pada lelaki yang dicintainya. Eugene. Mereka tetap berhubungan diam-diam sampai akhirnya terjebak dalam zina yang sempurna.Elena mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair. Ingatannya dipenuhi kebaikan-kebaikan suaminya. Ibnu selalu memperlakukannya dengan kelembutan dan tak pernah memaksakan ia menjadi shalihah secara instant. Ia ingat bagaimana setiap shubuh sepulang dari masjid, suaminya membangunkannyadengan d
***masih flashback tujuh tahun yang lalu***Sepanjang perjalanan pulang Elena merasakan sakit kepala. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis. Satu setengah jam kemudian ia sampai di rumah.Bergegas dibukanya kunci pintu, ia ingin segera masuk dan merebahkan badannya. Begitu pintu terbuka, Elena terkejut setengah mati mendapati seseorang duduk bertopang kaki persis di hadapannya.Lelaki itu terlelap di kursi. Wajahnya terlihat letih. Secangkir kopi yang hanya bersisa ampasnya serta beberapa buku yang tergeletak di meja seperti menceritakan bahwa ia telah menunggu semalaman. Elena mengutuk dirinya sendiri, istri macam apa yang membiarkan suaminya tertidur di kursi sementara ia tidur dengan lain lelaki?Elena memperhatikan wajah teduhnya. Alisnya hitam tebal dan saling bertaut. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh. Bibirnya kemerahan tak tersentuh rokok. Janggutnya terawat rapih. Sungguh bukan lelaki dengan kriteria ketampanan di bawah rata-rata.
"Maaf, Sir. Ada tamu wanita yang menunggu Anda di sana," ujar resepsionis itu sopan sambil ibu jarinya mengarah ke restoran yang ada di sebelah lobi hotel. Lalu ia kembali ke tempatnya.Tamu wanita? Siapakah? Dahi Eugene berkerut.Ia berjalan ke arah restoran. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tak ada seorangpun yang dikenalnya. Hampir berbalik badan ketika sepasang lengan melingkari pinggang, memeluknya dari belakang. Eugene mengenalinya.Mary Anne. Perempuan asia berkulit kuning, usia dua puluh delapan tahun, perawakan sedang, rambut lurus hitam legam dengan panjang sebahu. Kelopak matanya kecil khas etnis Tionghoa dengan bibir tipis kemerahan. Bentuk dan ukuran hidungnya menambah kesempurnaan. Ia mengenakan dress selutut hitam polos tanpa lengan yang membalut ketat setiap lekuk tubuhnya. Dengan alas kaki model terbuka berhak tinggi, ia terlihat seumpama boneka porselen yang mungil, cantik dan seksi."Rindu padaku?" Pemilik lengan ramping itu b
Dear Sir,Datanglah ke alamat berikut.Kami akan menemuimu.Di bawahnya tertera alamat. Setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Singkat sekali. Eugene mengerutkan dahi, 'KAMI'? Kami siapa? Mungkinkah ... ?Sampai di hotel, Eugene menghampiri meja resepsionis dan bertanya."Bisakah Pak Udin mengantar saya ke alamat ini nanti sore? Saya harus sampai di tempat pukul lima."Sejenak resepsionis mengamati alamat tersebut, "Lokasinya agak ke pinggir kota. Butuh waktu sekitar satu jam lebih untuk tiba di sana. Lebih baik berangkat sebelum pukul empat. Pak Udin akan saya minta siap-siap.""Baiklah. Terima kasih.""Oya, Mary Anne beberapa kali menelepon. Ia meminta anda segera menghubunginya."Eugene terdiam sesaat. Ia menghela nafas berat. Entah sudah berapa belas kali Anne meninggalkan pesan. Eugene merasa terganggu tapi tak ada yang ingin ia lakukan selain mengabaikan."Apakah anda ingin kami menghubungi Mary Anne
"Maaf mister, tidak bisa masuk bertemu Al. Kecuali Anda membawa bukti persetujuan dari orangtuanya." Ujar satpam itu tegas."Ya Tuhan ..." Eugene meremas rambutnya kesal.Kehadiran Eugene mulai menarik perhatian beberapa wali murid, sebagian anak-anak malah menjadikan ia seperti tontonan gratis. Tidak setiap hari ada bule nyasar ke sekolah mereka."Ada apa ini?" seorang wanita berusia sekitar enam puluh tahunan menghampiri. Cara berpakaiannya mirip Elena.Kedua satpam tersebut mundur selangkah dengan postur tubuh agak membungkuk. Eugene langsung paham sosok ini disegani."Tamu ini memaksa bertemu Al," ujar salah seorang satpam menunjuk Eugene sopan dengan mengarahkan ibu jarinya.Wanita itu menoleh pada Eugene dengan pandangan menyelidik. Lalu beralih kembali pada kedua satpam."Pak Iwan, tolong panggilkan Ibu Guru Dewi dan Al. Minta mereka ke ruangan saya sekarang. Pak Ade silahkan kembali ke pos," instruksinya berwibaw
Eugene mengamati sekelilingnya, kedai soto betawi ini cukup ramai. Ia selalu menyukai makan di kedai-kedai pinggir jalan tanpa merasa risih saat terkadang menjadi pusat perhatian. Entah sudah berapa banyak tempat kuliner yang ia kunjungi bersama Elena. Baginya orang-orang Indonesia sangat ramah dan menyenangkan. Dan aneka ragam kulinernya tak habis membuat ia berdecak nikmat.Dulu, ia pernah beberapa kali makan di sini. Bersama Elena. Ia seringkali menghabiskan porsi Elena karena daya tampung perempuan itu kecil sekali. Katanya nafsu makannya selalu berkurang setiap kali makan di dekatnya, sesekali Eugene berseloroh mungkin nafsu yang lain yang bertambah. Dan ia tak tahan untuk tidak tersenyum mengingat wajah Elena yang bersemu merah karena malu.Selain karena menyukai tempat dan menu-menu yang luarbiasa nikmat menurutnya. Juga karena ia hobi memasak. Baginya berwisata kuliner merupakan salah satu cara yang menyenan
※Elena※Elena masih memeluk Al di dalam taksi, seolah takut kehilangan."Ibu, kenapa kita terburu-buru pergi? Al sampai tak sempat pamit ke Om tadi." tanya Al keheranan.Elena tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sambil menciumi rambut Al. Dipejamkan matanya mendapati aroma Eugene masih tertinggal."Stop di sini, Pak." ujar Elena."Di sini, Bu? Ternyata dekat ya tujuannya." kata pak supir sambil tersenyum masam.Elena keluar dari taksi masih dengan menggandeng tangan Al, tanpa mengatakan apa-apa. Bergegas membuka pintu rumah dan menemukan dompetnya tergeletak di atas sofa. Ia mengambil selembar uang seratus ribu dan kembali menghampiri taksi."Iya, maaf ya Pak. Saya sedang buru-buru. Ini, ambil saja kembaliannya.""Ah terima kasih, Bu." mata pak supir berbinar."Alhamdulillaah sampai rumah." gumam Elena."Ibu ... siapa nama Om tadi?" Al kembali membuka percakapan sambil melepaskan sepatu dan baju