"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."
Sesak.Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.“Ibu bercanda, ‘kan?”“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan Bu Endang memberikan minuman kepadaku."Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati ini.Dalam hati tak lupa sejak tadi kusebut nama Tuhan. Maha pemberi kekuatan pada umat-Nya.“Lihatlah … ini foto pernikahan Asep dengan istri barunya itu.”Bu Endang mengeluarkan ponsel tuanya. Dari layar yang tak begitu jernih itu, memang terlihat Mas Asep yang mengenakan pakaian pernikahan sederhana bersama dengan seorang perempuan. Hanya saja, perempuan itu tak begitu terlihat jelas wajahnya, karena terpotret dari belakang."Maafkan ya, Nis. Bukannya aku ingin membuat kamu sedih. Tapi justru ini karena aku menganggap kamu anak. Nggak tega rasanya kamu diginiin sama Asep.”Saat aku masih terdiam, Bu Endang kembali berucap. Terlihat sekali raut bersalah di wajahnya. Kutarik nafas dalam-dalam sebelum mulai berbicara."Justru saya berterima kasih, Bu." Sebisa mungkin kucoba untuk bersikap tenang. "Apa kejadian itu sudah lama Bu?"Hancur dan remuk hati ini, emosi juga meluap seketika. Tetapi aku tak ingin bertindak gegabah sebelum semua terlihat nyata.Bu Endang mendengus pelan. "Mungkin sekitar enam bulan yang lalu, Nis."Enam bulan yang lalu?Masih terekam jelas di pikiranku, tepat enam bulan yang lalu, Mas Asep meminta kiriman uang sebesar dua puluh juta, hampir dua bulan gajiku sebagai pahlawan devisa. Dia bilang saat itu jika ingin memulai sebuah usaha dengan temannya, entah aku lupa usaha apa itu."Memangnya selama ini kamu nggak nabung dikit-dikit Mas dari uang yang aku kirim tiap bulan?" tanyaku melalui sambungan telepon kala itu. "Uang lima juta yang kamu kirim tiap bulan itu, nggak sampai akhir bulan sudah habis Dek. Jadi kutambahi sendiri. Ais itu tiap hari jajannya nggak kira-kira Dek. Semua dia minta!" kilah Mas Asep. "Nah, kali ini aku mau join usaha baru dengan temanku. Jika berhasil, nanti uang kamu disimpan saja, buat nabung. Biar aku yang biayain si Ais."Aku saat itu manut saja. Sebagai istri, tentu aku begitu mendukung inovasi yang akan dibuat oleh suami.Mas Asep bekerja menjadi buruh pabrik selama ini, gajinya tidak seberapa dan belum cukup untuk menafkahi keluarga kami, terlebih dengan keberadaan orang tua Mas Asep yang masih perlu sokongan. Oleh karena itu, sekarang dia mau buka usaha, aku dukung-dukung saja. Siapa tahu usaha yang akan dia jalankan bersama temannya sukses dan cukup membantu menafkahi keluarga kami.Tapi ternyata, dia begitu busuk. Meminta uang banyak untuk menikahi selingkuhannya. Kurang ajar! Tak terasa tanganku mengepal mengingat peristiwa ini. Aku bekerja banting tulang di negeri orang, tapi hasilnya malah digunakan untuk main gila!"Pernikahannya … digelar seperti apa, Bu?" Kutanyakan lebih lanjut, karena aku ingin mengetahui semua dengan gamblang, tentunya sebelum memutuskan langkah selanjutnya.Tak ingin juga aku terlihat begitu emosi dan lemah di hadapan orang lain. Aku harus terlihat kuat.Bu Endang dengan cepat menggeleng. "Biasa, Nis. Nggak mewah. Nggak mungkin juga mewah, mengingat istrinya sudah hamil duluan, jadi ya hanya siri biasa saja," ucapnya sambil mencebik. Mataku membulat.Hamil?Astaga! Berarti Mas Asep sudah mengkhianatiku sekian lama?Mataku berkaca-kaca. Betapa bajingannya pria yang kunikahi itu!?Ingin sekali aku marah, tapi logikaku masih bekerja, menenangkan diri yang sudah hampir menangis histeris ini."Sebenarnya Ibu sudah ingin mengabarkan hal ini padamu sejak lama. Tetapi tak ada seorang warga pun yang punya nomer kamu, kecuali Asep. Tiap kali Ibu minta, dia tidak pernah memberikan."Hal ini sudah ingin aku tanyakan sebenarnya, kenapa tak ada yang memberiku kabar? Tapi ternyata, sepertinya semua memang sudah diatur oleh Mas Asep. "Siapa perempuan yang dinikahi oleh Mas Asep, Bu? Apa dari kampung sini juga?" Pertanyaan yang vital lagi kuutarakan. Bu Endang dengan cepat menggeleng. "Bukan, sepertinya perempuan kecamatan sebelah. Sebentar, aku punya fotonya."Dengan cekatan Bu Endang masuk ke dalam dan beberapa menit kemudian datang lagi dengan membawa sebuah ponsel."Lihat, Nis. Ini foto istrinya Asep yang baru."Kutajamkan penglihatan ke arah layar benda pipih itu."Eka?!"Bu Endang terkejut melihatku menyebutkan nama wanita itu. “Kamu kenal, Nis!?”Kenal? Bukan hanya kenal! Wanita itu adalah sahabat dekatku sendiri!Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"Terdengar b
POV Asep"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak se
[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]“Kenapa dia mendadak pulang!?”Tanpa dikomandoi, aku dan Eka spontan berucap secara bersamaan.Entah kenapa membaca pesan dari Nisa itu, rasanya badanku jadi panas dingin. Bukannya aku suami-suami takut istri, tapi karena aku sudah membuat begitu banyak sandiwara dan kebohongan. Jika sampai Nisa benar-benar pulang mendadak, bisa buyar semuanya! "Aduh, mati aku!" ucapku lagi sambil memukul dahi, tiba-tiba juga kepala jadi pening. "Yank, kita harus siap-siap banyak hal. Jangan sampai keduluan si Nisa!"Kalau benar Nisa pulang mendadak, bisa marah besar dia sama aku. Aku sudah mengkhianatinya, memeras tenaga dan menghabiskan uangnya. Belum lagi aku juga selalu mengabaikan Ais. Dia pasti akan sangat marah dan tidak bersedia menjadi ATM berjalanku lagi!Tidak, hal itu tak boleh terjadi!Tinggal selangkah lagi dari rencanaku merebut semua aset Nisa. Kalau dia tahu tentang perselingkuhanku dengan Eka, bisa hancur semua rencana yang kususun begitu lama!T
"Heh kamu, sini!" Eka langsung kasar narik tangan Ais."Sakit Tante ...." Ais langsung meringis kesakitan. Sedikit pun Eka tak perduli dengan rintihan Ais. "Ibu kamu mau pulang. Awas ya, jangan ngomong macam macam kamu! Kamu harus diam dan nggak boleh ngadu!" ucap Eka dengan penuh penekanan. Ais menunduk, raut wajah gadis itu menunjukkan gurat kesedihan. Sepertinya dia begitu kaget sehingga terdiam beberapa saat. "Ibu mau pulang?" tanya Ais lagi dengan mata berbinar penuh harap.Melihat hal itu, Eka mendengus kasar. “Kamu kalau dikasih perintah, jawab iya aja susah banget sih!?” omelnya sembari menjewer telinga Ais. “Iya, Ibu jalang kamu itu mau pulang!”Karena jeweran kuat Eka, putriku itu makin meringis dan kembali mulai menangis."Yank, jangan keterlaluan. Jangan sampai ada bekas tertinggal," ucapku mengingatkan. Jangan sampai nanti Nisa jadi curiga karena ada lebam di tubuh Ais. Karena biasanya Eka jika sudah seperti ini, akan khilaf dan menghajar Ais. Biasanya sih aku biarka
Pov Nisa“Oke. Pokoknya tolong urus semua dengan rapi ya. Saya tunggu kabar baik selanjutnya. Terima kasih.”Kutarik nafas panjang setelah mengakhiri panggilan itu, ada secuil rasa lega disini. Sekarang, aku berdiri tepat di depan rumah bercat orange minimalis. Rumah yang menyimpan banyak cerita tentang pernikahanku dengan Mas Asep, tempat dimana buah hatiku yang cantik bertumbuh.Tak terasa bulir-bulir air mata mulai berjatuhan, mengingat apa yang kini terjadi. Semua impian bahagia yang bertahun kurajut, nyatanya sudah musnah seketika karena pengkhianatan dua manusia sampah itu.Huaaa “Ais!” Tangisan keras Ais dari dalam rumah, membuatku tersadar. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah menghapus sisa air mata di pipi."Ada apa ini?!” ucapku dengan keras, sontak membuat seisi rumah yang sedang berkumpul itu menoleh ke arah pintu depan. Sepertinya mereka begitu kaget, karena saat ini aku memang sudah berada di ambang pintu. Saking ka
“Iya … Dia menjadi pembantu disini Dek!”Mata Eka terbelalak mendengar ucapan Mas Asep. Dia tampak tidak menyangka pria itu akan menjadikannya kambing hitam hanya demi berbohong di depanku.Tak elak aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku sendiri saja terkejut melihat betapa pengecutnya pria itu, sampai-sampai mengorbankan seorang wanita demi menutupi aibnya sendiri.Kutatap bergantian wajah Mas Asep dan Eka bergantian. "Apa itu benar, Ka?"Eka spontan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "I-itu benar Nis. Aku sekarang bekerja jadi pembantu di rumah kamu."Dalam hati aku kembali tersenyum, melihat Eka yang tentu tak bisa berkutik saat ini.'Dasar dua orang bejat!' makiku tak tertahankan di dalam hati. Aku salut pada dua orang terdekat yang kompak berbohong ini. Berarti benar, pembohong tak pernah jauh dari pengkhianat."Kenapa? Kenapa harus jadi pembantu disini? Bukankah terakhir kali kita ketemu, kamu kerja di sebuah cafe?" Dengan senyum tipis aku bertanya, berusaha meyakinkan Eka, j
"Kamu pasti capek kan Dek, habis perjalanan jauh? Nggak mau istirahat dulu?" Setengah memaksa Mas Asep pun menggandeng tanganku. Sepertinya pria ini ingin segera membuatku tidur, sehingga dia bisa meminta maaf pada istri keduanya. Cara yang pintar, tapi aku pun sudah bisa membacanya. Namun dengan dengan secepat kilat aku menghempaskan tangan Mas Asep. "Nggak. Aku nggak capek kok." Lalu kugandeng Ais untuk duduk di sofa ruang tamu. Tanpa memperdulikan Mas Asep yang saat ini malah melongo. Suamiku itu sepertinya sangat kaget dengan sikap yang baru saja kutunjukkan, menghempas tangannya dengan kasar. Kareja dulu Nisa begitu manja dan sopan padanya. Tapi ketika pulang kampung ini, Nisa telah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua tentu bisa berubah bukan, seiring dengan perjalanan waktu. ‘Jika kamu bisa berbohong, maka tentu aku pun bisa Mas!’ Tetapi kemudian tatapan mata Mas Asep berpindah pada Ais. Yang saat ini duduk tepat di sampingku. Pria berkulit sawo matang itu mendekat
Dengan manik lurus aku menatap suamiku yang terperangah. Mulutnya tergagap. “D-Dek, kamu–” “Ha ha ha!” Tawa keras bergema di ruang tamu, membuat Mas Asep menatapku aneh. Aku tertawa hingga menangis, tapi tak ada yang benar-benar sadar kalau aku menangis bukan karena ada yang lucu, melainkan sakit hati. Bahkan, ketika ditembak kenyataan, Mas Asep hanya bisa terbengong seperti orang bodoh. Inikah pria yang telah kupilih untuk menjadi suamiku?! Inikah ayah dari putri malangku!? “D-Dek, kamu kenapa?” tanya Mas Asep. “Kamu … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” “Aku bercanda saja, Mas,” ucapku pada akhirnya setelah tenang. “Kenapa kamu kelihatan takut begitu? Kamu nggak benar-benar mengkhianatiku dengan Eka, bukan?” "E-enggak dong, Dek! Demi Tuhan, Dek. Cintaku tetap utuh terjaga hanya untuk kamu. Karena kamu itu wanita paling cantik dan sempurna bagiku." Asep meluncurkan rayuan gombalnya. “Mana mungkin aku suka sama Eka?” Klontang! Klontang! Tiba tiba saja dari arah dapur, terdengar sua