“Iya … Dia menjadi pembantu disini Dek!”
Mata Eka terbelalak mendengar ucapan Mas Asep. Dia tampak tidak menyangka pria itu akan menjadikannya kambing hitam hanya demi berbohong di depanku.Tak elak aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku sendiri saja terkejut melihat betapa pengecutnya pria itu, sampai-sampai mengorbankan seorang wanita demi menutupi aibnya sendiri.Kutatap bergantian wajah Mas Asep dan Eka bergantian. "Apa itu benar, Ka?"Eka spontan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "I-itu benar Nis. Aku sekarang bekerja jadi pembantu di rumah kamu."Dalam hati aku kembali tersenyum, melihat Eka yang tentu tak bisa berkutik saat ini.'Dasar dua orang bejat!' makiku tak tertahankan di dalam hati. Aku salut pada dua orang terdekat yang kompak berbohong ini. Berarti benar, pembohong tak pernah jauh dari pengkhianat."Kenapa? Kenapa harus jadi pembantu disini? Bukankah terakhir kali kita ketemu, kamu kerja di sebuah cafe?" Dengan senyum tipis aku bertanya, berusaha meyakinkan Eka, jika aku tetap Nisa yang polos dan gampang dibohongi. Yang tak mungkin berani untuk memberontak, bisanya hanya menangis saja. Nisa bodoh yang sepertinya saat ini sudah mati.Eka memang terakhir bekerja menjadi seorang pemandu lagu di sebuah cafe plus plus. Sebuah pekerjaan yang memang juga tak jauh dari menggoda suami orang hanya demi uang.Awalnya, aku merasa kasihan karena dia harus melakukan pekerjaan seperti itu guna melalui hidup. Namun, sekarang aku menyesal pernah merasakan hal tersebut karena suamiku yang berakhir digodanya!"I-iya, sudah nggak lagi Nis." Eka Sepertinya tak bisa memberikan banyak alasan. Sahabatku itu terlihat gusar, sembari menautkan jemarinya.Aku hanya ber O ria saja, sembari menganguk. Seorang wanita penggoda yang sedang naik tingkat ternyata dia."Eh tapi itu perut kamu kok buncit ya? Kamu hamil?" Aku masih terus memburu jawaban. "Bukanya kamu belum nikah?" Penasaran juga, dengan kebohongan yang akan dia buat berikutnya.Eka kali ini semakin bingung, matanya mengejar beberapa kali, tak berani menatap wajahku dan tak bisa menjawab. Hingga kemudian Mas Aseplah yang hadir sebagai dewa penyelamat. "Iya Dek. Eka ini sudah nikah siri, dan suaminya yang bangsat itu malah pergi ninggalin dia."'Bangsat? Bukannya itu kamu, Mas?' gumamku dalam hati mendengar kebohongan sang suami.Aku kembali ber O ria.Sekilas, kulihat gurat senyum di wajah Eka. Sepertinya dia kembali yakin jika saat ini aku mulai percaya dengan kebohongan murahan yang mereka buat."Kasihan juga ya nasib kamu, Ka. Biasanya sih lelaki bejat seperti itu sudah punya istri, tapi main gila sama perempuan lain!" ucapku yang nampak sedikit kesal sembari mendengus. “Lelaki seperti itu yang harusnya dilenyapkan dari muka bumi!”Aku memang sedikit terbawa suasana, hingga begitu emosi. Kutarik nafas panjang kemudian, agar aku tak kebablasan. Bisa hancur nanti semua rencanaku."Tapi Eka kan hamil tua, apa dia bisa bekerja Mas?" Pertanyaan kembali terlontar saat aku sudah bisa kembali menguasai diri.Mas Asep nampak kembali dibikin gelagapan. "B-bisa kok Dek. Meski hamil, Eka kerjanya giat kok." Mas Asep kembali mencoba menyakinkan. "Ka, tolong kamu angkat koper dan tas Nisa ya."Mata Eka terbelalak mendengar perintah dari Mas Asep itu. Sekilas dia menoleh pada tumpukan tas milikku. Sedangkan aku malah hampir cekikikan, melihat sandiwara dadakan dan ekspresi Eka yang nampak begitu terkejut. Sebuah hiburan yang tak boleh untuk dilewatkan."Heh ... kok malah diam? Cepat angkat dan bawa masuk ke kamar!" Mas Asep kembali berucap dengan wajah sok garang sambil membelalakkan mata."I-iya." Terpaksa, Eka melakukan perintah itu, tentu saja dengan penuh emosi. Wanita itu berjalan sembari menghentakkan kakinya dengan keras. Eka segera menyeret koper dan mengangkat tas itu dengan susah payah. Tetapi tentu saja dengan wajah yang cemberut.'Sandiwara kalian, lumayan bagus! Sayang, aku lebih mahir bersandiwara dibandingkan kalian!' batinku seraya mengepalkan tangan.Kuulas sebuah senyum manis, melihat sahabat jahatku yang tengah kepayahan menarik tas besar itu. Kasihan sebenarnya, terutama karena dia sedang hamil. Namun, kebencianku tidak semudah itu sirna setelah dia menusukku dari belakang.‘Sekarang, jangan salahkan aku jika bisa lebih jahat dari pada kamu, Eka.’"Kamu pasti capek kan Dek, habis perjalanan jauh? Nggak mau istirahat dulu?" Setengah memaksa Mas Asep pun menggandeng tanganku. Sepertinya pria ini ingin segera membuatku tidur, sehingga dia bisa meminta maaf pada istri keduanya. Cara yang pintar, tapi aku pun sudah bisa membacanya. Namun dengan dengan secepat kilat aku menghempaskan tangan Mas Asep. "Nggak. Aku nggak capek kok." Lalu kugandeng Ais untuk duduk di sofa ruang tamu. Tanpa memperdulikan Mas Asep yang saat ini malah melongo. Suamiku itu sepertinya sangat kaget dengan sikap yang baru saja kutunjukkan, menghempas tangannya dengan kasar. Kareja dulu Nisa begitu manja dan sopan padanya. Tapi ketika pulang kampung ini, Nisa telah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua tentu bisa berubah bukan, seiring dengan perjalanan waktu. ‘Jika kamu bisa berbohong, maka tentu aku pun bisa Mas!’ Tetapi kemudian tatapan mata Mas Asep berpindah pada Ais. Yang saat ini duduk tepat di sampingku. Pria berkulit sawo matang itu mendekat
Dengan manik lurus aku menatap suamiku yang terperangah. Mulutnya tergagap. “D-Dek, kamu–” “Ha ha ha!” Tawa keras bergema di ruang tamu, membuat Mas Asep menatapku aneh. Aku tertawa hingga menangis, tapi tak ada yang benar-benar sadar kalau aku menangis bukan karena ada yang lucu, melainkan sakit hati. Bahkan, ketika ditembak kenyataan, Mas Asep hanya bisa terbengong seperti orang bodoh. Inikah pria yang telah kupilih untuk menjadi suamiku?! Inikah ayah dari putri malangku!? “D-Dek, kamu kenapa?” tanya Mas Asep. “Kamu … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” “Aku bercanda saja, Mas,” ucapku pada akhirnya setelah tenang. “Kenapa kamu kelihatan takut begitu? Kamu nggak benar-benar mengkhianatiku dengan Eka, bukan?” "E-enggak dong, Dek! Demi Tuhan, Dek. Cintaku tetap utuh terjaga hanya untuk kamu. Karena kamu itu wanita paling cantik dan sempurna bagiku." Asep meluncurkan rayuan gombalnya. “Mana mungkin aku suka sama Eka?” Klontang! Klontang! Tiba tiba saja dari arah dapur, terdengar sua
Kutinggalkan Eka yang sudah pasti masih menggerutu di dapur sana. Terserah saja, yang penting aku nanti tahu semua beres. Tanpa harus dibantu oleh Mas Asep. Dia harus merasakan seperti apa sulitnya menjadi seorang pembantu. Enak saja mau menjadi kaya dengan cara instant. Tidak bisa seperti itu Marimar! Kuhela nafas panjang saat menyaksikan Ais yang masih duduk di ranjang. Putri kecilku itu, masih sibuk dengan mainan barunya. "Eh ibu, mau ikut main?" Saat aku masih terus menatapnya, Ais malah menatapku terlebih dahulu. Segera kusuguhkan senyum paling manis, sembari melangkah mendekatinya dan kini duduk di depannya. "Boleh. Sudah lama sekali kan Ibu sama Ais tidak main bareng." Kuambil salah satu boneka dan mulai bermain bersama dengannya. Melihatnya tersenyum, sungguh sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Selain itu, ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan beberapa hal dengannya. "Saat Ibu ada di luar negeri, apa semua baik-baik saja?" Memulai obrolan, hal
"Ya Allah, aku ketiduran." Suara kumandang azan sukses membuatku membuka mata. Seperti waktu magrib telah tiba, dari jendela nampak sudah gelap di luar. Karena begitu capek setelah dari perjalanan jauh, sepertinya aku tertidur cukup lama. Tidur bersama dengan Ais, membuatku menjadi lupa waktu juga. Segera aku pun bangun dan mengecup pipi Ais yang masih terlelap. Turun dari ranjang untuk mengambil air wudhu . Waktunya mengadukan seluruh keluh kesahku pada sang pencipta. Terdengar suara motor. "Sepertinya Mas Asep baru saja pulang." Senyum mengembang di bibir ini, sepertinya sebuah drama akan kembali dimulai. Kubuka sedikit pintu kamar, dan mulai menguping. Sebentar saja tak masalah bukan? "Lama banget sih kamu, Mas? Dari mana aja sih?" Tak salah bukan tebakanku? Eka langsung memberondong banyak pertanyaan pada Mas Asep. Meski sedikit lirih, tapi terdengar sekali jika sahabatku itu sedang begitu kesal. "Ya ampun, Yank. Ini tadi habis dari rumahnya si Johan." Mas Asep mulai be
Tak terasa tangan ini mengepal melihat kelakuannya sampah itu."Aku harus selangkah lebih maju dari mereka."Rasanya sudah cukup aku menguping. jika mereka punya rencana, maka aku pun punya dengan pemikiran yang lebih matang.**"Gimana, Ais senang nggak belanja tadi?" ucapku sembari duduk di ruang tamu dan menaruh beberapa tas belanjaan."Seneng banget dong, Bu." Ais langsung menyahut. Dia pun langsung duduk juga di sampingku.Sebenarnya tanpa ditanyakan, sudah bisa terlihat dari raut wajah Ais. Senyum terus terpancar disana.Sejak pagi tadi, saat Mas Asep berangkat kerja, aku memang keluar bersama dengan Ais. Berbelanja, banyak barang yang harus dibeli untuknya. Dan, untuk membuat hatinya senang. Pasti sudah lama dia tak sesenang ini."Besok, kita belanja dan jalan jalan lagi ya Sayang."Ais segera bersorak. "Asyik!"Kubelikan banyak sekali barang untuk Ais, termasuk perlengkapan sekolah yang baru."Eka!" seruku, memanggil Eka.Sebenarnya dari pantulan layar tv yang tidak menyala
"Panas ya Mas?" Saat Eka masih tertegun karena dibentak Mas Asep, aku berlagak sok simpati. Meniup tangan Mas Asep. "Ya ampun, Mas." Mengambil kesempatan dalam kesempitan, sepertinya itu yang harus aku lakukan. "Panas banget, Dek." Sepertinya yang dikatakan itu benar, dari wajahnya pun nampak kesakitan. "Harusnya kamu itu hati-hati. Kerja nggak becus! Jalan itu pakai mata dong!" Eh, tanpa diduga, Mas Asep malah masih terus membentak Eka. "M-maaf." Wajah Eka nampak semakin pias. Pelakor Itu sepertinya begitu kaget dengan kejadian ini. Feelingku mengatakan, sepertinya ini hal baru bagi Eka. Dibentak oleh Mas Asep. Mungkin selama ini yang dia terima hanya sikap manis saja. "Bisanya hanya maaf saja! Dasar nggak guna!" timpal Mas Asep lagi. Aku? Tentu senang dong menyaksikan kejadian seperti ini. Ini baru awal sih. "Lain kali kamu jangan ceroboh ya, Ka. Kasian banget loh ini Mas Asep baru pulang kerja, capek, haus. Eh malah kamu giniiin," ucapku sok perhatian. Tugasku disini, h
"Ibu punya banyak baju baru untuk Ais," ucapku setelah kembali sampai di rumah. Tentunya lebih dulu dari pada kedua sampah itu. Karena terlalu fokus pada Eka dan Mas Asep, aku sampai lupa telah membelikan banyak baju untuk Ais. "Asyik!" Ais langsung bersorak sembari melihat semua baju yang kukeluarkan dari koper. "Ais mau mandi dulu ya, Bu." Ais kembali bersorak, putri kecilku itu pun langsung pamit untuk mandi, sepertinya dia begitu bersemangat memakai baju barunya. Mulai sekarang, aku tak akan lagi meninggalkan Ais, dan kupastikan senyum akan selalu menghiasi wajahnya. Saat akan menutup koper, mataku menangkap sesuatu. "Ya ampun, sepertinya barang ini akan sangat berguna." Sebuah kebetulan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Saat masih berada di luar negeri, majikan memberikan satu buah kamera ini padaku. Benda mungil yang kupikir tak akan ada gunanya sama sekali. Tapi ternyata, saat ini menjadi begitu berguna. Senyum segera mengembang di pipiku. 'Mari kita letakkan di te
"Nisa, kamu ngapain disini?" Eh. Berjingkat juga aku karena mendengar suara dari Eka tersebut. "Nggak. Hanya mau ngecek!" Untung aku masih bisa menguasai keadaan dan menyembunyikan rasa gugup ini dan langsung menoleh ke samping, menyuguhkan sebuah senyum termanis untuk maduku ini. Memang ya, orang yang sedang berbohong atau menyembunyikan sesuatu, seperti aku saat ini, akan langsung gelagapan juga ditanya. Tapi tidak apa apa, karena aku kan berbohong demi kebaikan. Mengambil yang memang seharusnya menjadi hakku. "Ngecek apa, Nis?" tanya Eka lagi penuh selidik sambil matanya jelalatan ke arah pintu kamar. Sepertinya dia sudah menganggap jika ini adalah rumahnya sendiri, lupa dia kalau aku adalah pemilik sebenarnya. "Ngecek kamu udah pulang belum dari rumah sakit. Soalnya aku baru bangun tidur sih." Kebohongan akan selalu ditutupi oleh kebohongan yang lain juga kan? Tak masalah. Eka tak berkata, tetapi aku tahu sorot matanya masih penuh selidik. "Kenapa memangnya Ka?" Sediki