Selamat pagi. selamat membaca ya
"Ka, tolong bersihkan rumah ya. Aku mau honeymoon dulu." Tanpa lagi memperdulikan ekspresi Eka yang masih merengut, segera kutarik lengan Mas Asep. "Aku kangen banget deh sama kamu, Mas." Ku ucapkan dengan lantang kalimat itu. Melihat Eka nampak kesal dan cemburu buta, tapi tak bisa berbuat apa apa, menimbulkan sedikit rasa puas di hati. "Kamu kangen nggak sama aku?" tanyaku lagi dengan suara manja. Saat ini kami masihlah ada di depan pintu, jadi Mas Asep pun masih serba salah. "K-kangen banget dong, Dek," jawabnya sambil menoleh ke belakang. "Tapi kan nggak enak dilihat Eka." "Ya sudah, ayo kita melepas rindu. Eka juga pasti ngerti kok." Kutarik lagi lengan Mas Asep, sebenarnya jijik sekali, tapi tak masalah sih. Di kepalaku sudah terlintas cara untuk menghindar dari Mas Asep nantinya. Setelah hampir sampai di depan kamar kami, ponsel Mas Asep berdering. Sontak saja pria itu mengambil dari dalam saku. "Dek, ini dari temanku. Boleh aku angkat dulu?" ucapnya sambil menunju
"Loh, kamu masih belum berangkat Mas?" tanyaku sambil berdiri di ambang pintu. "Em-eh itu, anu Dek. Ini sebentar lagi mau berangkat," jawab Mas Asep dengan wajah kikuk sembari membenarkan posisi duduknya. Waktu kurasa sudah hampir setengah delapan pagi, aku bahkan baru saja pulang dari mengantar Ais sekolah lagi, tapi Mas Asep malah belum berangkat kerja. Apa mereka baru saja melakukan sesuatu? Hmmm ... terserah deh! Aku sempat melihat bayangan Eka pergi dari kaca jendela, saat aku datang yang memang mendadak sekali tadi itu. "Memangnya masuk kerja jam berapa sih, Mas?" tanyaku lagi sembari duduk tepat di sampingnya. Mas Asep masih sedikit kelabakan. Pria itu menyesap kopinya dengan segera. "Jam setengah delapan, Dek. Hanya saja telat sedikit nggak apa apa." Pria itu menunjukkan deretan giginya yang sedikit kekuningan. Pagi tadi aku memang begitu bersemangat untuk datang ke sekolah Ais. Banyak hal yang harus kulakukan, yang paling penting bagiku kudulukan, Ais harus mendapat
"Wah ada ibu datang rupanya. Kejutan nih." Awalnya aku berpikir hanya akan menguping saja disini, mendengarkan apa rahasia yang mungkin nantinya akan membuatku lebih sakit lagi. Tapi ... rasanya tidak bisa, aku ingin melihat seperti apa reaksi ibu mertua ketika melihatku, si menantu yang paling tidak diinginkan. "N-nisa?" Spontan saja beliau langsung melepaskan telapak tangannya yang sejak tadi memang masih memegang Eka. Kutarik kedua sudut bibir, memberikan senyuman terbaik pada wanita setengah baya bernama Bu Nur itu. Sembari berjalan pelan ke depan. "Iya Bu. Ini Nisa," ucapku setenang mungkin. Sementara itu, Eka nampak khawatir dan sedikit menunduk. Aku terus berjalan, sedangkan ibu mertua sepertinya masih begitu shock, sehingga beliau menatapku terus dengan mulut sedikit terbuka. "Silahkan duduk, Bu." Kupersilahkan beliau setelah aku duduk terlebih dahulu. Sepersekian detik, kedua wanita yang sedang berdiri itu masih saja diam mematung, tetap pada posisinya. "Apa ibu t
"Rumah juga tetap seperti ketika saya belum berangkat. Lalu uang puluhan juta yang hampir tiap bulan saya kirim itu kemana? Takutnya sih, digunakan Mas Asep untuk memodali wanita lain." Lagi, ibu mertua dan Eka langsung saling pandang, tapi sejurus kemudian keduanya kembali langsung menunduk. "Bu ..." ucapku lagi memecah keheningan. Ibu mertua malah kembali mengangguk, apa mungkin mulai beliau kembali menciut? "Iya ... nggak lah Nis. Asep itu nggak pernah macem macem kok. Nggak ada di keluarga kami itu orang selingkuh. Semua setia," ucap beliau lirih, tetapi ada sinis juga. Mengeryitkan dahi, padahal aku kan tidak mengatakan tentang selingkuh. Kenapa beliau mengatakan seperti itu? Karena terlalu banyak kebohongan saja. "Sukurlah kalau begitu, Bu. Karena sampai kapan pun saya tidak akan pernah rela jika sampai hasil keringat digunakan untuk hal yang tidak benar!" Kembali kutekankan kalimat itu. Wanita ibu mertua nampak kembali pias. Sepertinya dia begitu kaget dengan perubahan s
“Iya. Sama juga dengannya.” Jawaban itu diberikan dengan cepat. Benar tebakanku. Dasar, Mas Asep! Bodohnya lagi, aku tak pernah mengetahui hal itu. Kukira aku telah mengenal dengan baik suami dan sahabatku ini, tetapi nyatanya, begitu banyak rahasia diantara mereka. Berarti hampir sepuluh tahun ini, aku seperti orang bodoh saja di depan mereka. "Berarti ini CLBK dong?" tanyaku lagi. Eka menarik salah satu sudut bibirnya. "Semacam itu. Sudah dikubur dalam, tetapi memang rasa itu tak bisa dibendung ketika kami bertemu lagi," ucap Eka dengan jelas. Kalau sudah begini, susah. Kukira memang Eka yang menggoda Mas Asep saat aku bekerja di luar negeri, tenyata mereka punya cinta yang belum kelar. Jika sejak dulu aku tahu Mas Asep punya hubungan dengan Eka, tentu aku tak mau menikah dengannya. "Apa kamu nggak takut ketahuan istri tuanya? Kira-kira dia tau nggak tentang hubungan kalian ini?" Lagi, aku pun masih memburu topik ini. Eka tak langsung menjawab, dia menatapku sebentar. "Tid
"Karena hamil besar nggak ada bapaknya? Atau karena malu hidup berdua dalam satu rumah bukan dengan muhrimnya?" Eka langsung menghentikan langkahnya ketika mendengar lontaran pertanyaanku itu, "Kenapa, Ka? Ada yang salah?" tanyaku berlagak seperti orang bodoh. Apa pertanyaanku tadi itu begitu kejam? Menyindir dirinya? Ah tidak, biasa saja Kok. Eka menggelengkan kepalanya lemah, dia masih belum ingin kembali berjalan seakrang. Oke, aku ikut saja kemauan dia. Kini kami berdua berdiri di depan pintu pagar. "Memangnya, selama kamu bekerja disini dan aku ada di luar negeri, siapa yang belanja? Kok kamu sepertinya takut banget untuk keluar rumah?" "Kami belanja bareng di pasar." Eka menjawab dengan spontan, tetapi sepersekian detik kemudian dia menutup mulutnya dan meralat ucapannya. "Maksudnya ak-aku yang ke pasar sendirian." Diakhiri dengan senyuman yang nampak sekali jika dibuat buat. Keceplosan kan? Makanya jangan suka berbohong. Ya begini ini nih jadinya. Untung saja aku punya
"Dek, bisa bagi uang nggak?" ucap Mas Asep dengan nada manja, seperti tanpa rasa bersalah. Saat ini kami berada di kamar, memang setelah makan malam, Mas Asep ikut masuk denganku dan Ais ke kamar. Sejak pulang kerja tadi, dia memang terus saja ngobrol dan main dengan Ais. Hanya sekedar untuk cari muka saja pastinya. Hingga aku pun belum berbincang apa apa dengannya. Kini ketika Ais baru saja terlelap, dia pun langsung melancarkan serangan. "Uang?" Mengeryitkan dahi. "Untuk apa lagi, Mas?" tanyaku sembari mengusapkan serum wajah. Mas Asep nyengir sembari mengusap tengkuknya. "Ya ... kan kamu pulang pasti bawa uang banyak." Aku segera mengangguk sembari menghentikan aktivitas dan menatap wajahnya intenst. "Terus?" Kembali pengkhianat itu tersenyum lebar, sembari menunjukan deretan giginya yang menguning. "Ya, masak sih Dek, kamu nggak ngasih aku sama sekali. Biasanya kan tiap bulan begitu." Ya ampun, nggak tahu malu banget sih nih pejantan, eh lelaki. Apa dia begitu yakin j
"Gampang itu, deh. Aku nggak akan menghabiskan uangnya kok. Hak kamu akan aku beri tiap gajian Mas. Karena aku bukan orang yang curang." Kutekankan sekali kata yang paling akhir itu, supaya dia merasa seperti apa yang aku rasakan saat ini. "T-tapi, Dek ----" Dia masih berusaha, tetapi aku pun segera memotong ucapannya. "Sudahlah Mas, pokoknya uang kamu akan aman di tanganku. Dan lagi, katanya kamu menyimpan uang yang kukirim selama ini ke ATM itu kan? Berarti itu milikku kan? Hakku." Aku masih terus saja bersikeras, nyatanya dia tidak main kasar, malah sepertinya merendah. Entah kenapa dia bisa berubah seperti ini, apa mungkin karena takut semua kebohongannya akan terbongkar? Terserah, toh aku sudah tahu semuanya. "Tapi, semua uangku juga ada disana, Dek. Bagaimana jika nanti aku perlu sesuatu yang mendadak di jalan?" Ada saja yang dia jadikan alasan agar bisa mendapatkan kartu itu, untungnya dia tak berusaha untuk merebut. Karena aku yakin jika dia melakukan hal itu. Pasti aku
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak