Selamat pagi, Sudah update ya. Selamat membaca
"Gampang itu, deh. Aku nggak akan menghabiskan uangnya kok. Hak kamu akan aku beri tiap gajian Mas. Karena aku bukan orang yang curang." Kutekankan sekali kata yang paling akhir itu, supaya dia merasa seperti apa yang aku rasakan saat ini. "T-tapi, Dek ----" Dia masih berusaha, tetapi aku pun segera memotong ucapannya. "Sudahlah Mas, pokoknya uang kamu akan aman di tanganku. Dan lagi, katanya kamu menyimpan uang yang kukirim selama ini ke ATM itu kan? Berarti itu milikku kan? Hakku." Aku masih terus saja bersikeras, nyatanya dia tidak main kasar, malah sepertinya merendah. Entah kenapa dia bisa berubah seperti ini, apa mungkin karena takut semua kebohongannya akan terbongkar? Terserah, toh aku sudah tahu semuanya. "Tapi, semua uangku juga ada disana, Dek. Bagaimana jika nanti aku perlu sesuatu yang mendadak di jalan?" Ada saja yang dia jadikan alasan agar bisa mendapatkan kartu itu, untungnya dia tak berusaha untuk merebut. Karena aku yakin jika dia melakukan hal itu. Pasti aku
"Sayang, kemarin Tante Eka nyakitin kamu lagi ya?" Sebelum berangkat sekolah, kali ini aku menanyakan pada Ais. Kemarin dia mendapatkan beberapa toyoran dan juga satu cubitan dari Eka, tak lupa ancaman yang pasti membuat mental anak sekecil ini menjadi down. Pantaslah kemarin sore itu, wajahnya sedikit murung dan banyak diam. Bodohnya aku yang tak menyadari perubahan sikapnya itu. Ais diam dan menggelengkan kepalanya. Wajahnya kembali tampak sendu. "Sayang, ngomong sama ibu ya. Jangan semua dipendam sendiri. Ais sekarang nggak sendiri lagi kok. Sudah ada ibu, nggak boleh takut lagi ya." Kukecup kening Ais dalam, kemudian kupeluk erat. Setelah apa yang dia alami beberapa tahun terakhir ini, memang akan begitu sulit untuk menanamkan rasa percaya diri itu lagi. Tetapi aku yakin pasti bisa mengubahnya sedikit demi sedikit. "Apa pun yang terjadi, Ais harus bilang sama ibu ya." Sepersekian detik kemudian, Ais mulai menceritakan apa yang kemarin sore dia alami. Sama persis seperti yan
[Nisa, aku di sini. Kerja sama yang kubicarakan, apakah bisa?]Kulebarkan mata demi membaca pesan di aplikasi hijau tersebut. Terutama pada nama kontak pengirim pesannya, sembari menghapus lelehan air mata di pipi.Saat aku masih belum percaya, sebuah pesan kembali masuk.[Aku sudah ada disini sekarang.]Pesan itu disertai dengan sebuah foto. Seorang bule ganteng keturunan China dan Belanda berusia 30 tahunan berdiri di Bandara Juanda, Aku masih hafal sekali dengan tempat itu. Karena beberapa hari yang lalu, aku sempat beristirahat sejenak disana, sebelum akhirnya menaiki taksi menuju ke kampung halaman.Mr. Sebastian Lei. Tak salah lagi, beliau adalah anak dari majikanku saat berada di luar negeri dulu. Tepatnya cucu tunggal dari nenek yang aku rawat selama ini. Wajahnya menampilkan perpaduan sempurna dari kedua keturunannya, ayah China dan ibu Belanda, dengan struktur tulang yang tegas dan rahang yang kuat khas Eropa, serta mata sedikit sipit dengan kelopak mata ganda yang me
"Nggak- nggak kok." Kali ini dia menjawabnya dengan begitu cepat. Mendengus kasar, menunggu kebohongan apa lagi yang akan dia buat. "Lalu?" "Aku, ingin berterus terang." What? Berterus terang? Aku yang tadi sempat malas menerima telepon Mas Asep, kini mulai bersemangat. Pengakuan apa yang kira kira akan dia buat? Setelah sejak pagi tak menyapaku sama sekali. Aku tahu dia mendiamkanku karena ATM nya telah kuambil semalam. Terserah saja mau ngambek sampai kapan. Aku tidak peduli, eh tiba tiba saja tidak ada angin tidak ada hujan, dia malah menelepon. "Tentang apa, Mas?" Datar, aku sengaja memamg bertanya dengan nada datar. Padahal sebenarnya aku sangat penasaran sekali. "Emmm ... Aku sebenarnya." Kembali dia menjeda ucapannya dan diam. Hanya membuat penasaran saja. "Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku Yang kembali sedikit kesal sembari menatap jam tangan. "Kerja, Dek. Ini Mas lagi ada di toilet." Di toilet? Ya ampun, aneh sekali pria yang satu ini. "Ya sudah sekarang cepat ngom
"Terdengar bagus sih rencana kamu itu, Mas. Tapi maaf, baru saja tadi uang dalam Atm Itu aku ambil. Dan, langsung aku masukkan deposito. Baru bisa diambil tiga tahun lagi. Maaf banget ya, Mas." Diam sesaat. Kubayangkan, saat ini Mas Asep pasti sedang melongo kaget, atau bisa juga saat ini dia sedang ngamuk. Terserah. "Mas, kamu masih disana?" tanyaku sambil menahan tawa. Tadi dia bilang sedang ada di toilet. Kenapa rasanya aku tak yakin ya? Sepertinya nanti juga aku harus mengecek cctv di rumah. Para pembohong itu, rasanya untuk saat ini sangat tidak bisa dipercaya. "Masih, Dek. Kenapa uangnya malah kamu depositokan?" Mas Asep masih terus mengejar. "Bukankah lebih enak dijadikan modal usaha? uangnya bisa bertambah banyak, tiga tahun lagi, bahkan uang itu bisa jadi seratus kali lipat loh. Kalau masukin di bank. Bunganya itu dikit." Mas Asep berkata panjang lebar, berusaha untuk mempengaruhiku. "Biar dikit asli aman," jawabku sedikit ketus. "Aku sih trauma aja, Mas. Dari pada ua
Tiba tiba saja, rasanya ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. "Nisa kan?" Sontak saja aku kaget mendengar suara seorang perempuan itu. Menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan rambut di cat merah dan tubuh sedikit tambun, sedang tersenyum padaku. "Mbak Ira, ya?" tanyaku setelah sepersekian detik mengingat. "Ya ampun, panglig aku Mbak." Kupersilahkan wanita yang sepantaran denganku itu untuk duduk. Tepat di sampingku. "Ya ampun Nisa. Kamu makin cantik dan bersih loh, aku juga pangling banget," ucap Mbak Ira sambil membenarkan posisi duduknya. "Kapan kamu pulangnya?" Mbak Ira ini adalah tetangga dari ibu mertua, sekaligus teman sekolah Mas Asep. Ternyata katanya, sejak beberapa menit yang lalu dia sudah memperhatikan aku. Maklum lama sekali tak pernah ketemu. Dulu aku selalu berbincang dengannya saat ke rumah mertua. Orang baik dan ramah. Banyak hal yang kami bicarakan tentang kepulanganku dan juga tentang kondisinya saat ini, yang ternyata baru saja keguguran anak
'Lihat saja, Mas. Akan kuberikan kalian pelajaran berharga, yang tak bisa kalian lupakan sampai kapan pun!' Ngobrol dengan Mbak Ira tadi, tak terasa aku telah menghabiskan segelas teh hangat. Segera aku pun akan kembali memesan minuman, dengan tergesa menuju ke meja kasih. "Aduh, maaf!" Karena tak melihat jalan, akhirnya aku menabrak seseorang. "Hati-hati." Suara bariton dengan logat khas itu, sungguh aku sangat mengenalnya. "Mr. Tian?" ucapku sontak. Pria berhidung mancung itu membuka matanya lebar karena terkejut, alisnya terangkat tinggi. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengucapkan sesuatu namun terdiam karena kaget. Pipi dan wajahnya sedikit memerah, menunjukkan rasa canggung dan bingung. Tak salah lagi, dia adalah putra majikanku, yang kini diam mematung sambil menatapku lekat. "Mr Tian?" Kata itu kembali terucap dari bibirku. Sesaat kemudian Tian tersenyum tipis dan mengangguk. Entah kebetulan macam apa lagi yang akan kudapatkan hari ini. Bukankah tadi dia
"Kamu sendiri?" Pertanyaan dari Ryan itu sontak membuyarkan lamunanku. Menganggukan kepala dan menyuguhkan senyum manis. "Tadi baru saja mengantarkan Ais sekolah." Ryan ganti yang menganggukan kepalanya saat ini. Sampai detik ini, pikiranku masih belum sampai. Bagaimana dia bisa tahu aku disini? Apa memang dia begitu berkuasa? Mau bertanya lebih lanjut lagi, rasanya tak sopan. Mataku sesaat menyapu sekitar rumah makan ini, beberapa pengunjung lain, yang entah kenapa siang ini lebih banyak dari kaum hawa. Keberadaan Ryan yang begitu mencolok di tempat ini, benar benar membuat mereka sering kali mencuri pandang. Usia Ryan hampir sama denganku, tetapi memang menurut mamanya, masih belum ingin berkeluarga. Masih fokus pada bisnisnya yang memang sedang berkembang pesat. Hampir tiga tahun bekerja di rumahnya, aku malah tak pernah melihat dia membawa pulang seorang wanita. Apa jangan jangan dia punya kelainan? Aduh, kenapa aku malah berpikiran yang tidak tidak sih? Itu kan buka
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak