Selamat pagi,
[Nisa, aku di sini. Kerja sama yang kubicarakan, apakah bisa?]Kulebarkan mata demi membaca pesan di aplikasi hijau tersebut. Terutama pada nama kontak pengirim pesannya, sembari menghapus lelehan air mata di pipi.Saat aku masih belum percaya, sebuah pesan kembali masuk.[Aku sudah ada disini sekarang.]Pesan itu disertai dengan sebuah foto. Seorang bule ganteng keturunan China dan Belanda berusia 30 tahunan berdiri di Bandara Juanda, Aku masih hafal sekali dengan tempat itu. Karena beberapa hari yang lalu, aku sempat beristirahat sejenak disana, sebelum akhirnya menaiki taksi menuju ke kampung halaman.Mr. Sebastian Lei. Tak salah lagi, beliau adalah anak dari majikanku saat berada di luar negeri dulu. Tepatnya cucu tunggal dari nenek yang aku rawat selama ini. Wajahnya menampilkan perpaduan sempurna dari kedua keturunannya, ayah China dan ibu Belanda, dengan struktur tulang yang tegas dan rahang yang kuat khas Eropa, serta mata sedikit sipit dengan kelopak mata ganda yang me
"Nggak- nggak kok." Kali ini dia menjawabnya dengan begitu cepat. Mendengus kasar, menunggu kebohongan apa lagi yang akan dia buat. "Lalu?" "Aku, ingin berterus terang." What? Berterus terang? Aku yang tadi sempat malas menerima telepon Mas Asep, kini mulai bersemangat. Pengakuan apa yang kira kira akan dia buat? Setelah sejak pagi tak menyapaku sama sekali. Aku tahu dia mendiamkanku karena ATM nya telah kuambil semalam. Terserah saja mau ngambek sampai kapan. Aku tidak peduli, eh tiba tiba saja tidak ada angin tidak ada hujan, dia malah menelepon. "Tentang apa, Mas?" Datar, aku sengaja memamg bertanya dengan nada datar. Padahal sebenarnya aku sangat penasaran sekali. "Emmm ... Aku sebenarnya." Kembali dia menjeda ucapannya dan diam. Hanya membuat penasaran saja. "Kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku Yang kembali sedikit kesal sembari menatap jam tangan. "Kerja, Dek. Ini Mas lagi ada di toilet." Di toilet? Ya ampun, aneh sekali pria yang satu ini. "Ya sudah sekarang cepat ngom
"Terdengar bagus sih rencana kamu itu, Mas. Tapi maaf, baru saja tadi uang dalam Atm Itu aku ambil. Dan, langsung aku masukkan deposito. Baru bisa diambil tiga tahun lagi. Maaf banget ya, Mas." Diam sesaat. Kubayangkan, saat ini Mas Asep pasti sedang melongo kaget, atau bisa juga saat ini dia sedang ngamuk. Terserah. "Mas, kamu masih disana?" tanyaku sambil menahan tawa. Tadi dia bilang sedang ada di toilet. Kenapa rasanya aku tak yakin ya? Sepertinya nanti juga aku harus mengecek cctv di rumah. Para pembohong itu, rasanya untuk saat ini sangat tidak bisa dipercaya. "Masih, Dek. Kenapa uangnya malah kamu depositokan?" Mas Asep masih terus mengejar. "Bukankah lebih enak dijadikan modal usaha? uangnya bisa bertambah banyak, tiga tahun lagi, bahkan uang itu bisa jadi seratus kali lipat loh. Kalau masukin di bank. Bunganya itu dikit." Mas Asep berkata panjang lebar, berusaha untuk mempengaruhiku. "Biar dikit asli aman," jawabku sedikit ketus. "Aku sih trauma aja, Mas. Dari pada ua
Tiba tiba saja, rasanya ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. "Nisa kan?" Sontak saja aku kaget mendengar suara seorang perempuan itu. Menoleh ke belakang. Seorang wanita dengan rambut di cat merah dan tubuh sedikit tambun, sedang tersenyum padaku. "Mbak Ira, ya?" tanyaku setelah sepersekian detik mengingat. "Ya ampun, panglig aku Mbak." Kupersilahkan wanita yang sepantaran denganku itu untuk duduk. Tepat di sampingku. "Ya ampun Nisa. Kamu makin cantik dan bersih loh, aku juga pangling banget," ucap Mbak Ira sambil membenarkan posisi duduknya. "Kapan kamu pulangnya?" Mbak Ira ini adalah tetangga dari ibu mertua, sekaligus teman sekolah Mas Asep. Ternyata katanya, sejak beberapa menit yang lalu dia sudah memperhatikan aku. Maklum lama sekali tak pernah ketemu. Dulu aku selalu berbincang dengannya saat ke rumah mertua. Orang baik dan ramah. Banyak hal yang kami bicarakan tentang kepulanganku dan juga tentang kondisinya saat ini, yang ternyata baru saja keguguran anak
'Lihat saja, Mas. Akan kuberikan kalian pelajaran berharga, yang tak bisa kalian lupakan sampai kapan pun!' Ngobrol dengan Mbak Ira tadi, tak terasa aku telah menghabiskan segelas teh hangat. Segera aku pun akan kembali memesan minuman, dengan tergesa menuju ke meja kasih. "Aduh, maaf!" Karena tak melihat jalan, akhirnya aku menabrak seseorang. "Hati-hati." Suara bariton dengan logat khas itu, sungguh aku sangat mengenalnya. "Mr. Tian?" ucapku sontak. Pria berhidung mancung itu membuka matanya lebar karena terkejut, alisnya terangkat tinggi. Mulutnya sedikit terbuka, seperti ingin mengucapkan sesuatu namun terdiam karena kaget. Pipi dan wajahnya sedikit memerah, menunjukkan rasa canggung dan bingung. Tak salah lagi, dia adalah putra majikanku, yang kini diam mematung sambil menatapku lekat. "Mr Tian?" Kata itu kembali terucap dari bibirku. Sesaat kemudian Tian tersenyum tipis dan mengangguk. Entah kebetulan macam apa lagi yang akan kudapatkan hari ini. Bukankah tadi dia
"Kamu sendiri?" Pertanyaan dari Ryan itu sontak membuyarkan lamunanku. Menganggukan kepala dan menyuguhkan senyum manis. "Tadi baru saja mengantarkan Ais sekolah." Ryan ganti yang menganggukan kepalanya saat ini. Sampai detik ini, pikiranku masih belum sampai. Bagaimana dia bisa tahu aku disini? Apa memang dia begitu berkuasa? Mau bertanya lebih lanjut lagi, rasanya tak sopan. Mataku sesaat menyapu sekitar rumah makan ini, beberapa pengunjung lain, yang entah kenapa siang ini lebih banyak dari kaum hawa. Keberadaan Ryan yang begitu mencolok di tempat ini, benar benar membuat mereka sering kali mencuri pandang. Usia Ryan hampir sama denganku, tetapi memang menurut mamanya, masih belum ingin berkeluarga. Masih fokus pada bisnisnya yang memang sedang berkembang pesat. Hampir tiga tahun bekerja di rumahnya, aku malah tak pernah melihat dia membawa pulang seorang wanita. Apa jangan jangan dia punya kelainan? Aduh, kenapa aku malah berpikiran yang tidak tidak sih? Itu kan buka
"Tentu." Dengan cepat aku langsung memberikan jawaban, karena penawaran itu begitu menguntungkan bagiku. Seperti mendapatkan durian runtuh. Hanya saja, jangan sampai Mas Asep tahu tentang hal ini. "Tentu?" Ryan malah balik bertanya dengan menautkan kedua alisnya yang tebal. Dengan cara bicaranya yang kadang terlihat lucu. Aku mengangguk. "Iya, saya mau berkerja sama dengan Anda untuk proyek ini." "Oke." Kali ini Ryan tersenyum sembari mengangguk. Sepertinya dia baru mengerti apa yang aku katakan. Sebenarnya aku masih tidak menyangka jika Ryan akan menawarkan kerja sama seperti ini padaku. Tidak sama sekali. Dulu ketika bercerita, aku pikir hanya ingin sharing saja sih. Apa mungkin ini jawaban dari Tuhan? Ketika mengetahui kecurangan yang dibuat oleh Mas Asep dan Eka, aku berpikir untuk membuat sebuah usaha. Yang nantinya akan dikembangkan, berharap bisa menjadi penopang hidup aku dan Ais. Bingung memilih usaha apa yang nantinya akan dibuat, dengan budget yang tersedia.
"Ibu." Seperti biasa, Ais akan begitu sangat girang ketika aku menjemputnya. Kuciumi wajah cantik itu dan segera mengajaknya keluar. Mata gadis kecil itu nampak terbelalak ketika melihat sosok Ryan yang membukakan pintu mobil untuk kami. "Siapa dia, Bu? Apa ayah baru Ais?" Perkataan Ais sontak membuatku berhenti melangkah. Apa yang baru saja dia katakan? Ayah baru? Duh, kenapa sih dia bisa berkata seperti itu? Ssst ... Segera kutempelkan telunjuk di depan bibir. Ais tersenyum sembari menunjukan deretan gigi putihnya dan mengangguk, sepertinya dia mengerti. "Halo, siapa nama kamu?" Ryan yang tadi berdiri, saat ini malah nenyondongkan tubuhnya agar sejajar dengan putriku itu. "Ais, Aisyah." Putriku menjawab dengan cepat. Wajahnya nampak begitu bahagia saat ini. "Nama yang cantik seperti wajahnya," ucap Ryan sembari menekan pelan ujung hidung Ais . "Mari silahkan masuk," ucap Ryan lagi seperti seorang pelayan pada kami. Kami pun masuk ke bagian belakang mobil. Karena tak in