Selamat membaca
"Hey Nisa, dari mana saja kamu!"Suara lantang itu sontak mengagetkan aku. Mas Asep ternyata berada di teras dengan wajah garangnya. Mata suamiku itu nampak melotot sempurna."Kelayapan saja kerjaan kamu!" Kembali dia berteriak dengan keras.Ais beringsut mendekat dan memeluk tubuhku. Kentara sekali jika putriku itu begitu takut.Begitu keras suara Mas Asep, untung saja, depan rumah dan samping kanan kiri aku tak punya tetangga. Jeda 2 rumah, baru ada tetangga."Katanya kamu tadi lagi kerja, Mas? Kok sekarang sudah ada di rumah?" tanyaku sambil mengelus kepala Ais. Aku harus terlihat tenang.Ketahuan sekali jika dia bohong sebenarnya. Pasti tadi di ada di rumah, bukannya kerja. Mau kerja apa? Memang tukang bohong seperti yang dikatakan Mbak Ira.Apa dia lupa ketika tadi dia mengemis meminta uang padaku? Mungkin dia sudah capek mengiba tapi tak membuahkan hasil. "Sudah pulang!" Matanya membelalak sempurna di depanku. "Kamu dari mana saja? Terus kelayapan tiap hari!"Playing Victim
"Semua pasti berubah, Mas. Aku berubah pun ada alasanya!" Nisa langsung masuk ke dalam rumah saat itu. Tentu saja saja hal itu membuat Asep yang marah semakin meradang. "Nisa! Kamu itu sekarang jadi istri pembangkang ya!" Asep pun mengikuti sang istri masuk ke dalam rumah. "Berhenti!" Sayangnya Nisa langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci dari dalam. Brakk Brakk Asep yang begitu marah langsung mebggebrak pintu kamar itu, dengan suara yang begitu keras. "Sial!" Pria tersebut akhirnya menyerah setelah pintu tetap tak terbuka. Dengan nafas memburu, membuat dadanya nampak naik turun. 'Aku harus bisa mendapatkan uang itu dari Nisa!' Tekadnya masih begitu bulat dalam hati. Si Eka yang sejak tadi mengintip, pun kini langsung mendekati sang suami. "Harusnya kamu tadi lebih keras lagi sama si Nisa itu, Mas!" Bukannya mencoba memenangkan Asep, tetapi wanita berambut merah itu malah mengibarkan api kemarahan di kepala Asep. Pria tersebut tak bersuara. Masih mengatur nafasnya.
"Bu, Ais mau ke kamar mandi." Suara halus Ais membuyarkan senyuman di wajah Nisa. "Ayuk," jawab Nisa sambil tersenyum manis. "Tapi Ais takut. Nanti Ayah masih marah lagi." Rona ketakutan terpancar jelas dari wajah gadis kecil itu. Wajar jika Ais masih takut, butuh waktu yang tidak sebentar saat Nisa mencoba memenangkan putrinya saat masuk ke dalam kamar tadi. Nisa mendekap kedua pipi putrinya. "Ada ibu, Sayang. Nggak boleh takut ya." Sembari menatap wajah itu dalam dalam kemudian memberikan kecupan di kening. Ais pun akhirnya menganguk, segera mereka pun keluar dari kamar. Hening suasana di luar. Nampak pintu depan pun tertutup. Nisa sudah bisa menebak dimana dua penghianat itu saat ini. Sembari menunggu Ais di kamar mandi, Nisa mengecek meja makan. Bersih, tak ada satu pun yang bisa disantap. Untung saja tadi dia sudah makan. Dan, tak lupa tadi dia membungkuskan makanan untuk Ais, yang sudah habis dimakan saat berada di kamar tadi. Nisa sebenarnya tidak takut dengan bentak
"Kerasin dia, yakin lah sama ibu, dia pasti takut kalau kamu jahat seperti dulu. Pasti nanti dia serahkan semua uangnya."Aku hanya tersenyum mendengar ucapan dari ibu mertua itu. Ternyata semua ini tetap berujung pada beliau. Seperti yang sejak tahunan dulu terjadi."Kamu itu pokonya harus terus nyuruh Nisa berangkat ke luar negeri." Suatu hari aku mendengar kalimat dari ibu mertua, tepatnya sebelum aku berangkat ke luar negeri."Tapi Nisa itu kan nggak mau, Bu," jawab Mas Asep saat itu. "Kasihan juga Ais juga masih kecil.""Ais itu sudah besar, biar dia bisa mandiri. Jangan terus dimanja." Entah mengapa ibu mertua memang sejak dulu tak pernah menyukai Ais. "Pokoknya dia harus kerja, ya gantian dong, masa dia yang selama ini hanya menghabiskan uang kamu saja!"Huft.Kuhembuskan nafas kasar jika mengingat hal ini. Mas Asep memang anak mama yang selalu menurut kemauan ibunya, terlepas itu benar atau salah.Bodohnya juga, saat itu kenapa aku harus menurut dan meninggalkan Ais bersama pa
"Pokoknya, apa yang dikatakan Ais jangan dipercaya ya, Dek." Nada bicara Mas Asep terdengar sedikit lebih tenang, karena aku pun hanya diam. "Aku tidak akan pernah menghianati janji suci pernikahan kita. Apa lagi hanya dengan seorang pembantu dan mantan purel murahan seperti Eka."Mas Asep mengucapkan kata katanya itu dengan penuh semangat. Apa aku percaya? Tentu saja tidak.Karena memang ini bukan untuk yang pertama kalinya sih. Terserah dia mau bilang apa, yang jelas untuk saat ini, apa pun yang keluar dari mulutnya tak bisa dipercaya.Apa sudah lupa jika tadi siang dia marah marah padaku? Sekarang, tanpa sedikit pun kata maaf, dia malah bersikap sok baik.Ah iya aku lupa, ini semua akan gara gara Ais yang keceplosan. Aku tersenyum dan sekilas menoleh pada Eka. Sahabatku itu sedang menunduk sambil menautkan ke sepuluh jarinya . Tanpa perlu melihat ekspresi wajahnya, aku tentu sudah bisa menebak, saat ini dia pasti marah. "Aku ... ke belakang dulu ya."Kali ini tanpa persetujuan
"Apa kamu tidak punya motor?" Ryan langsung bertanya seperti itu saat aku baru sampai di tempat makan yang sama saat kami bertemu dua hari yang lalu. "Ada, tapi dipakai sama Mas Asep." Memang benar begitu adanya. Seperti yang sudah aku katakan, jika aku bekerja hampir tiga tahun di negeri orang, dengan setiap bulan aku mengirimkan uang sekitar lima sampai tujuh juta, tak ada perubahan sedikit pun di rumah. Perabotan dan apa yang ada tetap seperti saat aku akan berangkat dulu. Memang karena uangnya habis digunakan untuk foya foya ketiga trio sampah itu. Motor pun tetap hanya ada satu. Sejak perbincangan sedikit panas di meja makan semalam, Mas Asep tak lagi kelihatan batang hidungnya. Saat pagi pun, dia sudah tak ada bersama motornya. Ryan seperti biasa hanya menanggapinya dengan wajah datar. Pria bule itu kemudian ganti menoleh pada Ais yang baru saja membenarkan posisi duduknya, tepat di sampingku. "Halo cantik. Apa mau jalan jalan hari ini?" tanyanya pada Ais dengan wajah
"Bu, Om Ryan baik ya?" ucap Ais sambil memainkan boneka barunya. "Iya, Sayang." Memang kenyataanya begitu, ketika dulu aku bekerja di rumahnya, dia begitu baik. "Ais suka sama Om Ryan." Polos sekali ucapan yang terlontar dari bibir putriku itu. Dia saat ini sedang memeluk erat boneka beruang berwarna coklat yang diberikan oleh Ryan tadi. Perhatian yang diberikan Ryan saat bertemu, sepertinya juga menjadi begitu berkesan bagi Ais. "Ibu, harusnya nikah sama Om Ryan. Bukan sama Ayah." Kembali Ais berucap dengan begitu polos. Mungkin memang hal itu lah yang ada di hatinya. "Om Ryan baik, Ayah jahat." Ketika disakiti fisik dan psikis oleh ayah kandungnya, dia tentu membutuhkan kasih sayang, saat itu Ryan datang. Meski baru dua kali bertemu, tapi sepertinya kedekatan itu telah terjalin. "Waktunya tidur siang dulu ya, Sayang." Sengaja kualihkan perkataannya. Memang benar yang dia katakan, tetapi semua tak semudah pikiran anak kecil bukan? Semua yang sepertinya indah, juga belum past
"Arrgh ... kurang ajar!"Beberapa saat kemudian, Eka sepertinya begitu marah hingga melempar semua bantal tanpa arah, selimut pun telah dibuangnya. "Awww ... aduh sakit!"Jeritan dari Eka kali ini, spontan membuatku bangkit dari tidur. Pasalnya wanita itu tengah meringis sambil memegang perut buncit nya."Apa dia akan melahirkan?" tanyaku lirih sambil menatap lekat layar ponsel. Tetapi kemudian rasa ragu menyelinap di hati. Takut jika sahabatku ini hanya bersandiwara saja. Tapi ... dia kan tidak tahu kalau ada cctv di kamar. Lebih baik aku melihat kelanjutan nya dulu."Aduh, ini perut kenapa sakit banget sih?" Eka kembali berteriak sambil terus memegang perutnya. "Apa aku mau melahirkan Ya?"Kali ini Eka pun langsung keluar dari kamar dengan masih berteriak. "Sakit!"Membangunkan Ais setelah melihat jika Eka saat ini tidak sedang bersandiwara. Untung saja putriku itu langsung bangun.Tok tok tok "Nisa. Tolong bantu aku. Aku mau melahirkan, Nis!"Suara ketukan yang lumayan keras
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak