"Nis, kalau aku jadi kamu, sudah aku laporkan mereka ini ke polisi. Biar lahiran di penjara! Atau ... sekarang tinggalin aja di pinggir jalan! Biar tahu rasa!" Semua yang dikatakan oleh Bu Nana memang benar sekali. Orang gila mana yang mau mengantar si pelakor ke rumah sakit untuk melahirkan? Sepertinya hanya aku saja. Meski kini aku jahat karena sudah dikhianati, tetapi aku masih punya hati nurani. Bukan untuk mendapatkan pujian dari orang lain, tetapi ini murni dari hati kecilku. Tak akan bisa aku membiarkan siapa pun dalam keadaan terjepit seperti ini. Eka, setelah mendengar ucapan dari Bu Nana itu, entah apa yang dia pikirkan, yang pasti dia lebih memendam rintihannya, tak seperti tadi. Matanya terpejam sembari mendesis dan terus mengelus perut buncit nya. Aku mendengus kasar, seolah memang baru mengerti semua ini dari Bu Nana. "Pantas saja. Seperti ada yang janggal dari cerita Mas Asep dan Eka. Ternyata mereka." Kutatap wajah yang kesakitan itu. Sesaat mata kami bertemu, la
"Ya Allah, kenapa bayinya Eka begini?"Dengan tanpa dikomando, telapak tangan ini langsung menutup mulut. Ketika suster menunjukkan wajah seorang hati mungil yang baru saja di bersihkan.Cantik, cantik dengan kulit begitu bersih. Bentuk hidung dan mata itu, persis seperti Eka. Melihat wajah mungil itu, aku seperti teringat dengan seseorang. Entah siapa otu, saat ini aku tak bisa mengingatnya.Sedikit pun kurasa tak memiliki kesamaan dengan Mas Asep. Tetapi bukan karena itu yang membuat aku harus sedikit memekik dan kaget. Melainkan karena bayi cantik ini memiliki sebuah cacat bawaan. Sumbing. "Apa ini benar anak Eka?" Aku kembali bertanya sembari menggendong bayi itu, mata ini lekat pada dari wajah si bayi."Benar sekali, Bu. Ini bayi yang baru saja dilahirkan oleh Bu Eka dengan cara induksi." Akhirnya suster berkulit coklat itu pun bersuara. " Semua organ tubuh lengkap dan sehat. Hanya saja memiliki kelainan bentuk bibir yang disebut sumbing."Mau tetap tidak percaya, tetapi sudah
"Kenapa? Kamu sepertinya kaget banget Mas?" Aku pun mulai berucap. "Nggak perlu sandiwara lagi deh, aku sudah tahu semuanya kok. Aku sudah tahu jika selama ini kamu dan Eka telah menusukku dari belakang."Tak tahan juga aku untuk tak berucap, kurasa ini adalah momen yang tepat. Sangat menunggu reaksi seperti apa yang diperlihatkan oleh Mas Asep."Ka - Kamu ngomong apa sih, Nis?" Tetapi ternyata yang memberikan jawaban malah ibu mertua. Mas Asep terlihat makin bingung. Mungkin karena lebih senior, dalam urusan berbohong, maka sang ibu lah yang berani menjawab terlebih dahulu."Apa yang saya ucapkan tadi kurang jelas, Bu?" Aku mengalihkan pandangan kini.Tak masalah mengulur waktu sebelum mereka bertemu dengan Eka. Toh keadaan Eka dan bayinya sudah bagus menurutku.Bu Nana, tetap berada di sampingku, sepertinya beliau ingin langsung menimpali, tetapi dicegah oleh sang suami."Dari mana kamu dapat berita bohong seperti itu?" Ibu mertua berkata dengan begitu lembut padaku. Sebuah hal yan
"Enak saja, itu rumah gono gini ya. Bukan hanya rumah kamu, punya Asep juga. Jangan serakah Nisa!"Wah, ibu mertuaku akhirnya maju juga, setelah melihat anaknya kalah telak. Suaranya juga ditinggikan, beda sekali dengan beberapa menit yang lalu, saat bersuara begitu lembut padaku."Bu, tolong jangan terlalu keras bicaranya. Kita ada di rumah sakit. Jangan sampai Pak Satpam datang," ucapku sambil menaruh jari telunjuk di depan bibir. Ibu mertuaku itu langsung mendengus kasar. "Tahu nggak Nis. Asep seperti ini, itu karena kamu yang nggak pecus jadi istri!"Wah kenapa malah merembet ke sana? Apa ibu mertuaku ini hilang ingatan Ya?"Bu ... bagaimana mungkin saya bisa melakukan semua pekerjaan seorang istri, kan saya hampir tiga tahun ini bekerja jadi TKW di luar negeri?" Aku kini tersenyum. "Bukankah yang nyuruh dulu ibu dan Mas Asep sendiri? Bukankah semua hasil kerja kerasku, kalian pakai untuk foya foya?"Saking kesalnya, kuuraikan juga semua rincian uang yang aku kirim dan kemana p
"Cari tahu tentang si Eka!"ucap seseorang yang sejak tadi, ternyata terus mengikuti keributan yang terjadi di rumah sakit kecil itu."Siap, bos!"Asisten Ryan itu pun langsung beranjak pergi. Melakukan apa yang diinginkan oleh bos besarnya. Yang memang sangat tak suka membuang waktu.Sementara itu, Ryan tetap pada tempatnya semula. Melihat apa yang selanjutnya terjadi."Nisa, kamu menyimpan banyak kesakitan."Kalimat lirih itu keluar dari mulut Ryan. Pria itu duduk tak jauh dari tempat kerumunan Nisa dan yang lain. Hanya saja saat ini dia menggunakan masker dan kaca mata, sehingga tak dikenali oleh Nisa.Ryan terus menajamkan pendengaran dan melihat apa yang tejadi dari balik lensa hitamnya. "Sekarang temui istri muda kamu yang baru melahirkan itu, Mas. Dia pasti sangat butuh kamu. Dan, mulai sekarang, anggap saja kita tak lagi punya hubungan." Nada bicara Nisa terdengar begitu santai. "Tunggu surat dari pengadilan ya. Kita bertemu lagi di ruang sidang."Mendengar ucapan dari istri
Akhirnya ... semua selesai sudah, dengan peristiwa yang malah tidak aku duga sama sekali.Semua akan terungkap secepat ini, padahal sebelumnya aku sudah merencanakan beberapa hal, yang bahkan aku sempat memikirkan bagaimana jika rencanaku itu berhasil pasti akan seru. Tetapi tak masalah jalan Tuhan selalu lebih indah. Semua pasti datang di saat yang sangat indah. Teringat juga aku dengan wejangan yang diberikan oleh Bu Nana dan Pak Heri, saat mengantarkan pulang tadi."Nis, pokoknya kamu harus kuat ya. Jangan sampai tertipu bujuk rayu Asep lagi." Bu Nana berucap sambil MEMELUK Ais tadi.Pak Heri pun menimpali. "Benar Nisa. Seorang lelaki yang pembohong dan berselingkuh, sangat sulit untuk disembuhkan. Jika kamu sampai menerimanya, suatu hari, kemungkinan besar hal yang sama akan terjadi lagi."Benar, kurasa memang itu sangat benar sekali.Tetapi sebenarnya meski pun tak ada yang mengingatkan tentang hal itu, aku pun bukan perempuan bodoh yang akan kembali menerima pengkhianat dan p
Setelah Asep dan Bu Rika menyusun sebuah rencana untuk bisa mendapatkan Nisa lagi, pasangan ibu dan anak itu pun langsung menuju ke ruangan, menemui Eka yang baru saja melahirkan."Eka, bagaimana kabar kamu?" Bu Rika langsung bertanya pada menantu kesayangannya yang saat ini masih terbaring dan nampak sedikit lemas. Bayi Eka masih dibawa oleh perawat, karena ada yang harus diobservasi. Akan tetapi, Eka sedikit pun tak menoleh pada ibu mertuanya itu, dia malah menatap tajam pada Asep yang berjalan di samping Bu Rika."Kamu dari mana aja sih, Mas?!" Suara Eka lumayan melengking. "Dari semalam nggak pulang, kelayapan aja!"Nafas wanita yang baru saja melahirkan itu nampak naik turun, sepertinya dia begitu emosi. "Eka, jangan berteriak ya. Apa lagi kan kamu baru saja melahirkan, Nak."Saat Asep masih terdiam, Bu Rika mencoba memenangkan Eka.Bu Rika memang begitu suka pada Eka, dari pada Nisa. Padahal dari segi apa pun, Nisa justru memiliki banyak kelebihan. Tetapi hal tersebut tetap t
"Eka, ini anak siapa?" Asep langsung bereaksi saat melihat wajah putranya. "Kenapa dia begitu menjijikkan!"Asep yang tadinya ingin menggendong sang bayi, akhirnya mengurungkan niatnya. "Apa bayinya nggak ketukar, Sus?" Segera, pria berwajah pas pasan itu bertanya dengan wajah tak percaya. "Saya sendiri yang membantu persalinan Bu Eka, jadi tidak ada yang salah disini,Pak." Sang Suster nampaknya juga kurang bersahabat. "Ini bukan sinetron ya Pak, pakai acara anak yang tertukar untuk menaikkan rating."Tanpa berbicara lagi, si suster pun langsung pergi dari ruangan itu, meninggalkan Asep yang masih tertegun.Eka yang beberapa menit lalu sempat begitu emosi, kini malah lebih memilih untuk menunduk. Seperti tak mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh suaminya itu."Asep, kamu ini kenapa sih?" Bu Rika mendekat setelah kepergian si suster. "Jangan nuduh macam macam ya, urusannya bisa panjang!"Bu Rika mengira jika sang anak masih emosi karena kejadian tadi. Tetapi ketika menengok ke
“Ryan, aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar,” Nisa membuka percakapan sambil menggenggam secangkir teh di tangannya. Mereka duduk di teras rumah Nisa, suasana malam yang tenang membuat percakapan mereka terdengar lebih dalam.Ryan menatapnya lembut, senyum kecil terlukis di wajahnya. “Apa yang membuatmu ragu, Nisa? Aku pikir kita sudah melewati begitu banyak hal bersama.”Nisa menghela napas, menatap lurus ke depan. “Aku khawatir tentang Ais. Dia sudah terlalu banyak melihat perubahan dalam hidupnya. Aku nggak ingin membuat keputusan yang salah dan menyakitinya lagi.”Ryan mengangguk, memahami sepenuhnya perasaan Nisa. “Aku mengerti, Nisa. Ais adalah prioritas kita. Aku juga sudah memikirkan ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin memastikan bahwa kita semua, termasuk Ais, siap untuk melangkah ke tahap ini.”Nisa terdiam sejenak, merenung. Ryan selalu membuatnya merasa aman, dan Ais pun tampak begitu dekat dengan Ryan. Sejak mereka kembali dari Taiwan, Ais tidak henti-hentiny
Sore itu, suasana desa terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari mulai tenggelam, menciptakan pemandangan yang indah di atas sawah-sawah yang hijau. Nisa dan Ryan duduk di bawah pohon besar dekat rumah Nisa, menikmati teh hangat sambil memandangi Ais yang bermain dengan anak-anak desa lainnya. Suasana damai ini adalah sesuatu yang sudah lama dirindukan oleh Nisa."Aku nggak percaya kita sudah melalui semua ini, Ryan," kata Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. "Rasanya seperti mimpi."Ryan tersenyum, menatap Nisa dengan penuh kasih sayang. "Aku juga, Nisa. Tapi ini nyata. Kita di sini, bersama-sama, dan itu yang paling penting."Nisa mengangguk pelan. "Ya, kamu benar. Aku bersyukur atas semua ini."Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kedamaian yang jarang mereka rasakan. Namun, suasana itu tiba-tiba terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat. Nisa menoleh dan melihat Andi berjalan ke arah mereka, wajahnya tampak sedikit canggung."Selamat sore," sapa Andi sambil tersenyum
Malam itu, Nisa sedang duduk di teras rumah keluarga Ryan di Taiwan. Angin sejuk berhembus pelan, membawa aroma bunga-bunga yang mekar di taman. Ais sedang bermain di dekat kolam ikan, tertawa ceria sambil menunjuk-nunjuk ikan-ikan yang berenang. Nisa merasa damai, seolah-olah semua beban hidupnya mulai berkurang sejak dia tiba di tempat ini. Namun, ketenangan itu tiba-tiba terganggu oleh dering telepon di sakunya.Nisa mengambil ponsel dan melihat nama yang terpampang di layar. Asep. Hatinya seketika merasa tidak nyaman. Dia tahu, setiap kali Asep menghubunginya, selalu ada masalah yang dibawanya.Dengan sedikit ragu, Nisa mengangkat telepon itu. “Halo?”Suara Asep terdengar dingin di seberang sana. “Nisa, kamu di mana sekarang? Aku tahu kamu sama Ryan di luar negeri. Jangan berpikir kamu bisa lari dari aku.”Nisa menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Asep, aku sedang bersama Ais. Aku nggak lari dari siapa pun. Aku hanya ingin tenang dan fokus merawat anak kita.”“Apa maksud
“Ais, udah siap? Nanti kita terlambat!” Nisa memanggil putrinya sambil melipat beberapa pakaian terakhir ke dalam koper. Suaranya terdengar setengah berteriak, mencerminkan kegugupan yang dirasakannya sejak pagi.“Iya, Bu! Sebentar lagi!” sahut Ais dari kamar sebelah. Suara ceria anaknya menenangkan sedikit kekhawatiran di hati Nisa. Meskipun ini bukan perjalanan pertamanya ke Taiwan, kali ini terasa berbeda. Kali ini, dia tidak berangkat sebagai seorang pekerja migran, tetapi sebagai tamu istimewa keluarga Ryan, orang yang semakin dekat dengannya setiap hari.Ryan muncul di pintu, senyum khasnya menenangkan Nisa yang masih sibuk memastikan semuanya tertata rapi. “Jangan khawatir, Nisa. Kita punya banyak waktu sebelum pesawat lepas landas. Kamu udah siap?”Nisa mengangguk, meski masih ada rasa cemas di wajahnya. “Aku cuma nggak mau ada yang ketinggalan, Ryan. Ini perjalanan yang penting, aku harus memastikan semuanya sempurna.”Ryan tertawa kecil dan berjalan mendekat, meletakkan tang
Suasana sore yang cerah menyelimuti desa, membuat pepohonan yang rindang tampak lebih hijau dari biasanya. Di sebuah rumah sederhana di ujung desa, Nisa sedang duduk di ruang tamunya, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk sejak pesta desa beberapa hari yang lalu. Andi sudah mengungkapkan perasaannya, dan meskipun Nisa menghargai kejujurannya, dia masih belum bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.Tiba-tiba, pintu rumahnya diketuk. Nisa segera berdiri dan membuka pintu, menemukan Ryan berdiri di ambang pintu dengan senyuman ramah."Ryan? Silakan masuk," ujar Nisa, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.Ryan tersenyum lebar, mengangguk sopan sebelum melangkah masuk. "Terima kasih, Nisa. Aku nggak ganggu, kan?"Nisa menggeleng cepat. "Nggak sama sekali. Ada yang bisa aku bantu?"Ryan duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu. Matanya yang biru menatap Nisa dengan lembut. "Sebenarnya, aku datang un
Mentari pagi mulai menyinari desa, menerangi pepohonan dan rumah-rumah yang masih tampak tenang. Di sudut desa, di sebuah warung kecil yang dikelola oleh Bu Sri, Andi duduk sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baru saja diseduh. Pikirannya melayang, memikirkan Nisa dan bagaimana akhir-akhir ini dia merasa semakin jauh dari wanita yang diam-diam dia cintai sejak lama.Setelah melihat kedekatan Nisa dengan Ryan, Andi mulai merasa tersisih. Dia melihat bagaimana Nisa tersenyum lebih sering saat bersama Ryan, bagaimana matanya berbinar saat Ryan berbicara dengannya, dan bagaimana Nisa tampak nyaman berada di dekat pria itu. Hati Andi mencelos setiap kali dia melihat itu, tapi dia bukan tipe orang yang mudah menyerah.Andi tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar dan tidak biasa, jika dia ingin mendapatkan hati Nisa. Selama ini, dia hanya diam dan mengamati dari jauh, tetapi kali ini dia bertekad untuk bertindak. Dia tidak bisa membiarkan Ryan merebut Nisa begitu sa
"Nisa, tolonglah, ini demi Ais. Dia butuh ayahnya," suara Asep terdengar serak dan penuh kepalsuan saat dia berdiri di depan rumah Nisa. Matahari siang menyinari wajahnya yang tampak lelah, tetapi di balik ekspresi simpatinya, ada niat tersembunyi yang Nisa kenal dengan sangat baik.Nisa berdiri di ambang pintu, menatap mantan suaminya dengan tatapan yang tak lagi goyah. Sudah terlalu banyak air mata yang dia tumpahkan karena Asep, terlalu banyak kebohongan dan manipulasi yang dia terima. Kali ini, Nisa tidak akan membiarkan Asep mempengaruhi dirinya lagi, terutama ketika menyangkut Ais."Asep, aku tahu apa yang kamu coba lakukan," kata Nisa dengan suara tegas. "Jangan gunakan kesehatan Ais sebagai alasan untuk membuat aku kembali padamu. Ais baik-baik saja sekarang, dan aku nggak butuh campur tanganmu untuk merawatnya."Asep menghela napas panjang, mencoba bersikap seolah dia benar-benar peduli. "Nisa, aku ini ayahnya. Aku punya hak untuk ada di hidupnya, apalagi saat dia sedang saki
"Ais sudah mulai makan lebih banyak hari ini, Alhamdulillah," ujar Nisa dengan suara lembut, sambil menutup pintu kamar putrinya. Senyum tipis terukir di wajahnya, namun kelelahan yang tertinggal jelas tampak di matanya. Ryan, yang sedang duduk di ruang tamu kecil rumah Nisa, menoleh dengan ekspresi lega. "Syukurlah. Aku sudah khawatir banget. Dia butuh banyak istirahat untuk pulih sepenuhnya." Nisa duduk di samping Ryan, menghela napas panjang. "Iya, aku juga khawatir. Melihat dia sakit parah kemarin benar-benar bikin aku merasa tak berdaya. Untung ada kamu yang selalu siap membantu, Ryan. Aku nggak tahu bagaimana aku bisa melewati semua ini tanpa kamu."Ryan tersenyum hangat, menatap Nisa dengan penuh perhatian. "Aku senang bisa membantu, Nisa. Kamu nggak usah merasa terbebani sama sekali. Kamu tahu, Ais itu udah kayak anakku sendiri. Aku akan selalu ada buat dia dan buat kamu."Kata-kata Ryan itu membuat hati Nisa terasa hangat. Selama Ais sakit, Ryan selalu berada di sisinya, me
“Bagaimana, Nisa?” Suara lembut Ryan memecah kesunyian. Dia berdiri di pintu kamar rumah sakit, membawa secangkir teh hangat untuk Nisa.“Dia belum juga membaik,” jawab Nisa pelan, suaranya parau karena terlalu banyak menangis. Dia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar, menatap teh itu sebentar sebelum meletakkannya di meja kecil di samping tempat tidur. “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Ryan. Rasanya aku ingin menggantikannya saja, biar dia nggak perlu merasakan sakit ini.”Ryan menarik kursi ke dekat Nisa, duduk di sampingnya. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, Nisa. Ais anak yang kuat, dia akan melewati ini. Kita harus percaya itu.”Nisa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tetap merasa bersalah, Ryan. Kalau saja aku lebih memperhatikannya, mungkin ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sibuk dengan masalah-masalahku sendiri...”Ryan menghela napas, lalu menatap Nisa dengan penuh pengertian. “Kamu nggak