"Heh kamu, sini!" Eka langsung kasar narik tangan Ais.
"Sakit Tante ...." Ais langsung meringis kesakitan. Sedikit pun Eka tak perduli dengan rintihan Ais. "Ibu kamu mau pulang. Awas ya, jangan ngomong macam macam kamu! Kamu harus diam dan nggak boleh ngadu!" ucap Eka dengan penuh penekanan. Ais menunduk, raut wajah gadis itu menunjukkan gurat kesedihan. Sepertinya dia begitu kaget sehingga terdiam beberapa saat. "Ibu mau pulang?" tanya Ais lagi dengan mata berbinar penuh harap.Melihat hal itu, Eka mendengus kasar. “Kamu kalau dikasih perintah, jawab iya aja susah banget sih!?” omelnya sembari menjewer telinga Ais. “Iya, Ibu jalang kamu itu mau pulang!”Karena jeweran kuat Eka, putriku itu makin meringis dan kembali mulai menangis."Yank, jangan keterlaluan. Jangan sampai ada bekas tertinggal," ucapku mengingatkan. Jangan sampai nanti Nisa jadi curiga karena ada lebam di tubuh Ais. Karena biasanya Eka jika sudah seperti ini, akan khilaf dan menghajar Ais. Biasanya sih aku biarkan saja, tetapi kali ini, jangan sampai dia membuat kesalahan yang fatal. Bahaya kalau ketahuan Nisa!Eka mendengus kasar, dan merengut, tetapi kemudian dia mau melepaskan cengkeraman di bahu Ais. "Sudah, jangan nangis lagi ya." Sekarang, aku lah yang harus turun tangan menghadapi Ais. "Nanti ibu sedih loh kalau lihat Ais seperti ini."Syukurlah Ais mau menuruti ucapanku, dia mulai menghentikan tangisnya."Anak pintar." Kuelus pipinya dan membenarkan sedikit rambutnya yang berantakan. Hal yang tak pernah lagi kulakukan setelah Nisa berangkat ke luar negeri."Kalau nanti lbu sudah sampai di rumah, Ais nggak boleh ngadu ya tentang apa yang dilakukan Tante Eka." Aku pun mulai manipulasi Ais. "Karena ibu itu capek, kasihan. Ibu harus banyak istirahat juga.""Bener tuh kata Bapak kamu. Kalo ibu kamu pulang dengerin kamu ngeluh, nanti dia nggak mau pulang lagi! Dia buang kamu!" Tiba-tiba saja Eka nyeletuk dengan sinis."Nggak!" Tak disangka, Ais malah teriak. Aku terbelalak. Baru kali ini kulihat Ais membantah ucapan Eka."Ibu nggak akan membuang Ais! Ibu itu baik dan nggak jahat kayak Tante!" Ais kembali berteriak. "Ngomong apa kamu tadi?!" Eka yang tak terima pun langsung mencengkeram dagu Ais. "Dasar anak setan!"Satu tangan Eka yang lain sudah terangkat siap memukul Ais.Tetapi."Ada apa ini?!"Aku dengan cepat menoleh.Itu Nisa!Pov Nisa“Oke. Pokoknya tolong urus semua dengan rapi ya. Saya tunggu kabar baik selanjutnya. Terima kasih.”Kutarik nafas panjang setelah mengakhiri panggilan itu, ada secuil rasa lega disini. Sekarang, aku berdiri tepat di depan rumah bercat orange minimalis. Rumah yang menyimpan banyak cerita tentang pernikahanku dengan Mas Asep, tempat dimana buah hatiku yang cantik bertumbuh.Tak terasa bulir-bulir air mata mulai berjatuhan, mengingat apa yang kini terjadi. Semua impian bahagia yang bertahun kurajut, nyatanya sudah musnah seketika karena pengkhianatan dua manusia sampah itu.Huaaa “Ais!” Tangisan keras Ais dari dalam rumah, membuatku tersadar. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah menghapus sisa air mata di pipi."Ada apa ini?!” ucapku dengan keras, sontak membuat seisi rumah yang sedang berkumpul itu menoleh ke arah pintu depan. Sepertinya mereka begitu kaget, karena saat ini aku memang sudah berada di ambang pintu. Saking ka
“Iya … Dia menjadi pembantu disini Dek!”Mata Eka terbelalak mendengar ucapan Mas Asep. Dia tampak tidak menyangka pria itu akan menjadikannya kambing hitam hanya demi berbohong di depanku.Tak elak aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku sendiri saja terkejut melihat betapa pengecutnya pria itu, sampai-sampai mengorbankan seorang wanita demi menutupi aibnya sendiri.Kutatap bergantian wajah Mas Asep dan Eka bergantian. "Apa itu benar, Ka?"Eka spontan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "I-itu benar Nis. Aku sekarang bekerja jadi pembantu di rumah kamu."Dalam hati aku kembali tersenyum, melihat Eka yang tentu tak bisa berkutik saat ini.'Dasar dua orang bejat!' makiku tak tertahankan di dalam hati. Aku salut pada dua orang terdekat yang kompak berbohong ini. Berarti benar, pembohong tak pernah jauh dari pengkhianat."Kenapa? Kenapa harus jadi pembantu disini? Bukankah terakhir kali kita ketemu, kamu kerja di sebuah cafe?" Dengan senyum tipis aku bertanya, berusaha meyakinkan Eka, j
"Kamu pasti capek kan Dek, habis perjalanan jauh? Nggak mau istirahat dulu?" Setengah memaksa Mas Asep pun menggandeng tanganku. Sepertinya pria ini ingin segera membuatku tidur, sehingga dia bisa meminta maaf pada istri keduanya. Cara yang pintar, tapi aku pun sudah bisa membacanya. Namun dengan dengan secepat kilat aku menghempaskan tangan Mas Asep. "Nggak. Aku nggak capek kok." Lalu kugandeng Ais untuk duduk di sofa ruang tamu. Tanpa memperdulikan Mas Asep yang saat ini malah melongo. Suamiku itu sepertinya sangat kaget dengan sikap yang baru saja kutunjukkan, menghempas tangannya dengan kasar. Kareja dulu Nisa begitu manja dan sopan padanya. Tapi ketika pulang kampung ini, Nisa telah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua tentu bisa berubah bukan, seiring dengan perjalanan waktu. ‘Jika kamu bisa berbohong, maka tentu aku pun bisa Mas!’ Tetapi kemudian tatapan mata Mas Asep berpindah pada Ais. Yang saat ini duduk tepat di sampingku. Pria berkulit sawo matang itu mendekat
Dengan manik lurus aku menatap suamiku yang terperangah. Mulutnya tergagap. “D-Dek, kamu–” “Ha ha ha!” Tawa keras bergema di ruang tamu, membuat Mas Asep menatapku aneh. Aku tertawa hingga menangis, tapi tak ada yang benar-benar sadar kalau aku menangis bukan karena ada yang lucu, melainkan sakit hati. Bahkan, ketika ditembak kenyataan, Mas Asep hanya bisa terbengong seperti orang bodoh. Inikah pria yang telah kupilih untuk menjadi suamiku?! Inikah ayah dari putri malangku!? “D-Dek, kamu kenapa?” tanya Mas Asep. “Kamu … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” “Aku bercanda saja, Mas,” ucapku pada akhirnya setelah tenang. “Kenapa kamu kelihatan takut begitu? Kamu nggak benar-benar mengkhianatiku dengan Eka, bukan?” "E-enggak dong, Dek! Demi Tuhan, Dek. Cintaku tetap utuh terjaga hanya untuk kamu. Karena kamu itu wanita paling cantik dan sempurna bagiku." Asep meluncurkan rayuan gombalnya. “Mana mungkin aku suka sama Eka?” Klontang! Klontang! Tiba tiba saja dari arah dapur, terdengar sua
Kutinggalkan Eka yang sudah pasti masih menggerutu di dapur sana. Terserah saja, yang penting aku nanti tahu semua beres. Tanpa harus dibantu oleh Mas Asep. Dia harus merasakan seperti apa sulitnya menjadi seorang pembantu. Enak saja mau menjadi kaya dengan cara instant. Tidak bisa seperti itu Marimar! Kuhela nafas panjang saat menyaksikan Ais yang masih duduk di ranjang. Putri kecilku itu, masih sibuk dengan mainan barunya. "Eh ibu, mau ikut main?" Saat aku masih terus menatapnya, Ais malah menatapku terlebih dahulu. Segera kusuguhkan senyum paling manis, sembari melangkah mendekatinya dan kini duduk di depannya. "Boleh. Sudah lama sekali kan Ibu sama Ais tidak main bareng." Kuambil salah satu boneka dan mulai bermain bersama dengannya. Melihatnya tersenyum, sungguh sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Selain itu, ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan beberapa hal dengannya. "Saat Ibu ada di luar negeri, apa semua baik-baik saja?" Memulai obrolan, hal
"Ya Allah, aku ketiduran." Suara kumandang azan sukses membuatku membuka mata. Seperti waktu magrib telah tiba, dari jendela nampak sudah gelap di luar. Karena begitu capek setelah dari perjalanan jauh, sepertinya aku tertidur cukup lama. Tidur bersama dengan Ais, membuatku menjadi lupa waktu juga. Segera aku pun bangun dan mengecup pipi Ais yang masih terlelap. Turun dari ranjang untuk mengambil air wudhu . Waktunya mengadukan seluruh keluh kesahku pada sang pencipta. Terdengar suara motor. "Sepertinya Mas Asep baru saja pulang." Senyum mengembang di bibir ini, sepertinya sebuah drama akan kembali dimulai. Kubuka sedikit pintu kamar, dan mulai menguping. Sebentar saja tak masalah bukan? "Lama banget sih kamu, Mas? Dari mana aja sih?" Tak salah bukan tebakanku? Eka langsung memberondong banyak pertanyaan pada Mas Asep. Meski sedikit lirih, tapi terdengar sekali jika sahabatku itu sedang begitu kesal. "Ya ampun, Yank. Ini tadi habis dari rumahnya si Johan." Mas Asep mulai be
Tak terasa tangan ini mengepal melihat kelakuannya sampah itu."Aku harus selangkah lebih maju dari mereka."Rasanya sudah cukup aku menguping. jika mereka punya rencana, maka aku pun punya dengan pemikiran yang lebih matang.**"Gimana, Ais senang nggak belanja tadi?" ucapku sembari duduk di ruang tamu dan menaruh beberapa tas belanjaan."Seneng banget dong, Bu." Ais langsung menyahut. Dia pun langsung duduk juga di sampingku.Sebenarnya tanpa ditanyakan, sudah bisa terlihat dari raut wajah Ais. Senyum terus terpancar disana.Sejak pagi tadi, saat Mas Asep berangkat kerja, aku memang keluar bersama dengan Ais. Berbelanja, banyak barang yang harus dibeli untuknya. Dan, untuk membuat hatinya senang. Pasti sudah lama dia tak sesenang ini."Besok, kita belanja dan jalan jalan lagi ya Sayang."Ais segera bersorak. "Asyik!"Kubelikan banyak sekali barang untuk Ais, termasuk perlengkapan sekolah yang baru."Eka!" seruku, memanggil Eka.Sebenarnya dari pantulan layar tv yang tidak menyala
"Panas ya Mas?" Saat Eka masih tertegun karena dibentak Mas Asep, aku berlagak sok simpati. Meniup tangan Mas Asep. "Ya ampun, Mas." Mengambil kesempatan dalam kesempitan, sepertinya itu yang harus aku lakukan. "Panas banget, Dek." Sepertinya yang dikatakan itu benar, dari wajahnya pun nampak kesakitan. "Harusnya kamu itu hati-hati. Kerja nggak becus! Jalan itu pakai mata dong!" Eh, tanpa diduga, Mas Asep malah masih terus membentak Eka. "M-maaf." Wajah Eka nampak semakin pias. Pelakor Itu sepertinya begitu kaget dengan kejadian ini. Feelingku mengatakan, sepertinya ini hal baru bagi Eka. Dibentak oleh Mas Asep. Mungkin selama ini yang dia terima hanya sikap manis saja. "Bisanya hanya maaf saja! Dasar nggak guna!" timpal Mas Asep lagi. Aku? Tentu senang dong menyaksikan kejadian seperti ini. Ini baru awal sih. "Lain kali kamu jangan ceroboh ya, Ka. Kasian banget loh ini Mas Asep baru pulang kerja, capek, haus. Eh malah kamu giniiin," ucapku sok perhatian. Tugasku disini, h