[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]
“Kenapa dia mendadak pulang!?”Tanpa dikomandoi, aku dan Eka spontan berucap secara bersamaan.Entah kenapa membaca pesan dari Nisa itu, rasanya badanku jadi panas dingin. Bukannya aku suami-suami takut istri, tapi karena aku sudah membuat begitu banyak sandiwara dan kebohongan. Jika sampai Nisa benar-benar pulang mendadak, bisa buyar semuanya! "Aduh, mati aku!" ucapku lagi sambil memukul dahi, tiba-tiba juga kepala jadi pening. "Yank, kita harus siap-siap banyak hal. Jangan sampai keduluan si Nisa!"Kalau benar Nisa pulang mendadak, bisa marah besar dia sama aku. Aku sudah mengkhianatinya, memeras tenaga dan menghabiskan uangnya. Belum lagi aku juga selalu mengabaikan Ais. Dia pasti akan sangat marah dan tidak bersedia menjadi ATM berjalanku lagi!Tidak, hal itu tak boleh terjadi!Tinggal selangkah lagi dari rencanaku merebut semua aset Nisa. Kalau dia tahu tentang perselingkuhanku dengan Eka, bisa hancur semua rencana yang kususun begitu lama!Tak menunggu Eka menanggapi perkataanku itu, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tujuanku adalah kamar, kamar utamaku dan Nisa yang kini telah beralih jadi kamar Eka. Aku harus segera membereskannya!"Yank cepat kesini!" teriakku ketika telah sampai di kamar, kini aku berkacak pinggang tepat di ambang pintu. "Cepat bantu aku!"Haduh, kenapa sih si Eka ini malah lelet banget? Apa dia nggak takut jika tiba-tiba saja Nisa sudah ada di depan pintu? Dasar nggak peka, untung cantik dan sexy!Kuacak kasar rambut ini ketika Eka tak juga datang. "Eka!!" teriakku dengan lebih kencang."Apaan sih pakai teriak segala?!" Menit kemudian Eka datang dengan wajah malas dan manyun. Istri mudaku ini malah bersedekap dada.Aku mendengus kesal. "Kamu ini gimana sih? Kok malah nyantai? Nisa ini dalam perjalanan pulang loh!" ucapku makin kesal.Saat genting seperti ini, harusnya dia mengerti dong.Tetapi, Eka malah menarik kedua sudut bibirnya, dia malah tertawa."Aduh Mas, kamu ini kok polos banget sih? Gampang banget dibohongi," ucap Eka sambil mengibaskan tangannya di depan mukaku.Aku melongo, "Maksud kamu?"Wanita cantik itu pun menggelengkan kepala, dan malah tertawa lebih keras. "Nisa itu nggak mungkin pulang cepat. Dia itu kan jadi TKW ada kontraknya kerjanya, nggak mungkin dong akan pulang dengan cepat dan tiba-tiba begitu. Jangan gampang percaya deh Mas."Aku diam sesaat, mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Eka. "Tapi ... untuk apa juga Nisa bercanda tentang kepulangannya?" Aku masih sedikit ragu. "Nggak lucu kan?"Eka malah kembali mencebik. "Berpikir positif aja dong. Siapa tahu dia hanya ingin ngasih kamu kejutan, Mas? Ayolah ... jangan panik begini."Kutekuk alisku ketat, masih merasa tidak masuk akal. Akhirnya, aku pun mengirimkan pesan pada Nisa.[Kamu pasti bercanda kan, Dek?]Segera Ku kirim chat, yang sejak tadi memang belum aku balas.Nampak Nisa pun sedang mengetik. Aku menunggu dengan rasa khawatir dan hati berdebar. Sebuah foto dikirim oleh Nisa, disertai dengan caption. [Aku sudah di sini Mas.]Gila!Itu kan sudah di depan rumah Bu Endang. Mataku terbelalak lebar, begitu pula dengan Eka yang saat ini matanya membulat.5 Menit lagi!Aku dan Eka langsung seperti orang kesurupan. Aku langsung memindahkan semua baju Eka ke kamar tamu. Seperti orang kesurupan, kami bekerja dengan kilat, karena setiap detik begitu berharga saat ini."Apa lagi, Mas? Semua sudah beres kan?" tanya Eka dengan nafas seperti orang yang baru saja lari maraton.Kutengok kanan kiri, untuk memastikan jika semua sudah terkondisikan dengan baik."Sepertinya semua sudah siap."Tak ada yang perlu dicemaskan lagi, kondisi rumah sepertinya sudah tak ada lagi yang mencurigakan. "Hufft ... syukurlah." Eka berucap sambil menghapus keringat yang ada di keningnya.Sekarang kami sedikit bisa bernafas lega, meski hati masih tak karuan.Mendadak, terdengar suara Ais. "B-Bapak ... Ais lapar ...."Putriku menghampiri kami, sontak aku dan Eka langsung saling berpandangan. Saking paniknya, kami sampai lupa jika ada satu masalah yang paling besar, Ais bisa ngomong semua ini ke ibunya!"Heh kamu, sini!" Eka langsung kasar narik tangan Ais."Sakit Tante ...." Ais langsung meringis kesakitan. Sedikit pun Eka tak perduli dengan rintihan Ais. "Ibu kamu mau pulang. Awas ya, jangan ngomong macam macam kamu! Kamu harus diam dan nggak boleh ngadu!" ucap Eka dengan penuh penekanan. Ais menunduk, raut wajah gadis itu menunjukkan gurat kesedihan. Sepertinya dia begitu kaget sehingga terdiam beberapa saat. "Ibu mau pulang?" tanya Ais lagi dengan mata berbinar penuh harap.Melihat hal itu, Eka mendengus kasar. “Kamu kalau dikasih perintah, jawab iya aja susah banget sih!?” omelnya sembari menjewer telinga Ais. “Iya, Ibu jalang kamu itu mau pulang!”Karena jeweran kuat Eka, putriku itu makin meringis dan kembali mulai menangis."Yank, jangan keterlaluan. Jangan sampai ada bekas tertinggal," ucapku mengingatkan. Jangan sampai nanti Nisa jadi curiga karena ada lebam di tubuh Ais. Karena biasanya Eka jika sudah seperti ini, akan khilaf dan menghajar Ais. Biasanya sih aku biarka
Pov Nisa“Oke. Pokoknya tolong urus semua dengan rapi ya. Saya tunggu kabar baik selanjutnya. Terima kasih.”Kutarik nafas panjang setelah mengakhiri panggilan itu, ada secuil rasa lega disini. Sekarang, aku berdiri tepat di depan rumah bercat orange minimalis. Rumah yang menyimpan banyak cerita tentang pernikahanku dengan Mas Asep, tempat dimana buah hatiku yang cantik bertumbuh.Tak terasa bulir-bulir air mata mulai berjatuhan, mengingat apa yang kini terjadi. Semua impian bahagia yang bertahun kurajut, nyatanya sudah musnah seketika karena pengkhianatan dua manusia sampah itu.Huaaa “Ais!” Tangisan keras Ais dari dalam rumah, membuatku tersadar. Tanpa berpikir panjang lagi, aku pun langsung masuk ke dalam rumah. Tentunya setelah menghapus sisa air mata di pipi."Ada apa ini?!” ucapku dengan keras, sontak membuat seisi rumah yang sedang berkumpul itu menoleh ke arah pintu depan. Sepertinya mereka begitu kaget, karena saat ini aku memang sudah berada di ambang pintu. Saking ka
“Iya … Dia menjadi pembantu disini Dek!”Mata Eka terbelalak mendengar ucapan Mas Asep. Dia tampak tidak menyangka pria itu akan menjadikannya kambing hitam hanya demi berbohong di depanku.Tak elak aku tertawa dalam hati. Sungguh, aku sendiri saja terkejut melihat betapa pengecutnya pria itu, sampai-sampai mengorbankan seorang wanita demi menutupi aibnya sendiri.Kutatap bergantian wajah Mas Asep dan Eka bergantian. "Apa itu benar, Ka?"Eka spontan menganggukkan kepalanya beberapa kali. "I-itu benar Nis. Aku sekarang bekerja jadi pembantu di rumah kamu."Dalam hati aku kembali tersenyum, melihat Eka yang tentu tak bisa berkutik saat ini.'Dasar dua orang bejat!' makiku tak tertahankan di dalam hati. Aku salut pada dua orang terdekat yang kompak berbohong ini. Berarti benar, pembohong tak pernah jauh dari pengkhianat."Kenapa? Kenapa harus jadi pembantu disini? Bukankah terakhir kali kita ketemu, kamu kerja di sebuah cafe?" Dengan senyum tipis aku bertanya, berusaha meyakinkan Eka, j
"Kamu pasti capek kan Dek, habis perjalanan jauh? Nggak mau istirahat dulu?" Setengah memaksa Mas Asep pun menggandeng tanganku. Sepertinya pria ini ingin segera membuatku tidur, sehingga dia bisa meminta maaf pada istri keduanya. Cara yang pintar, tapi aku pun sudah bisa membacanya. Namun dengan dengan secepat kilat aku menghempaskan tangan Mas Asep. "Nggak. Aku nggak capek kok." Lalu kugandeng Ais untuk duduk di sofa ruang tamu. Tanpa memperdulikan Mas Asep yang saat ini malah melongo. Suamiku itu sepertinya sangat kaget dengan sikap yang baru saja kutunjukkan, menghempas tangannya dengan kasar. Kareja dulu Nisa begitu manja dan sopan padanya. Tapi ketika pulang kampung ini, Nisa telah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua tentu bisa berubah bukan, seiring dengan perjalanan waktu. ‘Jika kamu bisa berbohong, maka tentu aku pun bisa Mas!’ Tetapi kemudian tatapan mata Mas Asep berpindah pada Ais. Yang saat ini duduk tepat di sampingku. Pria berkulit sawo matang itu mendekat
Dengan manik lurus aku menatap suamiku yang terperangah. Mulutnya tergagap. “D-Dek, kamu–” “Ha ha ha!” Tawa keras bergema di ruang tamu, membuat Mas Asep menatapku aneh. Aku tertawa hingga menangis, tapi tak ada yang benar-benar sadar kalau aku menangis bukan karena ada yang lucu, melainkan sakit hati. Bahkan, ketika ditembak kenyataan, Mas Asep hanya bisa terbengong seperti orang bodoh. Inikah pria yang telah kupilih untuk menjadi suamiku?! Inikah ayah dari putri malangku!? “D-Dek, kamu kenapa?” tanya Mas Asep. “Kamu … kamu nggak apa-apa, ‘kan?” “Aku bercanda saja, Mas,” ucapku pada akhirnya setelah tenang. “Kenapa kamu kelihatan takut begitu? Kamu nggak benar-benar mengkhianatiku dengan Eka, bukan?” "E-enggak dong, Dek! Demi Tuhan, Dek. Cintaku tetap utuh terjaga hanya untuk kamu. Karena kamu itu wanita paling cantik dan sempurna bagiku." Asep meluncurkan rayuan gombalnya. “Mana mungkin aku suka sama Eka?” Klontang! Klontang! Tiba tiba saja dari arah dapur, terdengar sua
Kutinggalkan Eka yang sudah pasti masih menggerutu di dapur sana. Terserah saja, yang penting aku nanti tahu semua beres. Tanpa harus dibantu oleh Mas Asep. Dia harus merasakan seperti apa sulitnya menjadi seorang pembantu. Enak saja mau menjadi kaya dengan cara instant. Tidak bisa seperti itu Marimar! Kuhela nafas panjang saat menyaksikan Ais yang masih duduk di ranjang. Putri kecilku itu, masih sibuk dengan mainan barunya. "Eh ibu, mau ikut main?" Saat aku masih terus menatapnya, Ais malah menatapku terlebih dahulu. Segera kusuguhkan senyum paling manis, sembari melangkah mendekatinya dan kini duduk di depannya. "Boleh. Sudah lama sekali kan Ibu sama Ais tidak main bareng." Kuambil salah satu boneka dan mulai bermain bersama dengannya. Melihatnya tersenyum, sungguh sebuah kebahagiaan tersendiri bagi seorang ibu. Selain itu, ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan beberapa hal dengannya. "Saat Ibu ada di luar negeri, apa semua baik-baik saja?" Memulai obrolan, hal
"Ya Allah, aku ketiduran." Suara kumandang azan sukses membuatku membuka mata. Seperti waktu magrib telah tiba, dari jendela nampak sudah gelap di luar. Karena begitu capek setelah dari perjalanan jauh, sepertinya aku tertidur cukup lama. Tidur bersama dengan Ais, membuatku menjadi lupa waktu juga. Segera aku pun bangun dan mengecup pipi Ais yang masih terlelap. Turun dari ranjang untuk mengambil air wudhu . Waktunya mengadukan seluruh keluh kesahku pada sang pencipta. Terdengar suara motor. "Sepertinya Mas Asep baru saja pulang." Senyum mengembang di bibir ini, sepertinya sebuah drama akan kembali dimulai. Kubuka sedikit pintu kamar, dan mulai menguping. Sebentar saja tak masalah bukan? "Lama banget sih kamu, Mas? Dari mana aja sih?" Tak salah bukan tebakanku? Eka langsung memberondong banyak pertanyaan pada Mas Asep. Meski sedikit lirih, tapi terdengar sekali jika sahabatku itu sedang begitu kesal. "Ya ampun, Yank. Ini tadi habis dari rumahnya si Johan." Mas Asep mulai be
Tak terasa tangan ini mengepal melihat kelakuannya sampah itu."Aku harus selangkah lebih maju dari mereka."Rasanya sudah cukup aku menguping. jika mereka punya rencana, maka aku pun punya dengan pemikiran yang lebih matang.**"Gimana, Ais senang nggak belanja tadi?" ucapku sembari duduk di ruang tamu dan menaruh beberapa tas belanjaan."Seneng banget dong, Bu." Ais langsung menyahut. Dia pun langsung duduk juga di sampingku.Sebenarnya tanpa ditanyakan, sudah bisa terlihat dari raut wajah Ais. Senyum terus terpancar disana.Sejak pagi tadi, saat Mas Asep berangkat kerja, aku memang keluar bersama dengan Ais. Berbelanja, banyak barang yang harus dibeli untuknya. Dan, untuk membuat hatinya senang. Pasti sudah lama dia tak sesenang ini."Besok, kita belanja dan jalan jalan lagi ya Sayang."Ais segera bersorak. "Asyik!"Kubelikan banyak sekali barang untuk Ais, termasuk perlengkapan sekolah yang baru."Eka!" seruku, memanggil Eka.Sebenarnya dari pantulan layar tv yang tidak menyala