Share

Bab 4. Nisa dan Eka

POV Asep

"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.

Plakkk

"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih.

"Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.

Hufft ...

Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah.

"Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.

Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.

Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan.

"Memangnya dia kenapa?"

Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak selesai selesai. Padahal kan cucian piring di belakang juga numpuk." Eka mulai nyerocos seperti biasanya. "Kamu tahu kan jika aku itu nggak suka rumah yang jorok?"

Aku mendengus kasar. "Ais kan masih kecil, Ka. Dia belum bisa bekerja cepat."

Mulut Eka nampak semakin mengerucut. "Masih kecil apa? Dulu saat aku masih berumur tujuh tahun, aku sudah mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan cepat. Harusnya Ais juga bisa dong!" Eka berucap masih dengan suara lantangnya.

Alasan seperti ini yang selalu diucapkan oleh Eka. Kadang aku berpikir, dia trauma dengan masa kecilnya, dan saat ini malah ingin melampiaskannya pada Ais.

"Sudahlah, ngapain marah-marah. Nggak bagus buat kehamilan kamu juga.” Aku melirik Ais sesaat, lalu kembali pada Eka. “Udah, sekarang ayo kita masuk, aku tadi bawa makanan. Biarkan Ais lanjutin kerjanya," bujukku agar dia tak lagi berteriak. Pusing mendengarnya.

"Nggak ah, Mas. Aku malas makan nih, masih emosi sama anak setan ini!" Eka menggeleng dan malah kini menendang Ais yang masih terduduk menangis. "Heh pemalas. Jangan akting menangis ya kamu. Cepat kerja! Atau kamu nggak akan dapat makan hari ini!" 

Sontak saja tubuh Ais limbung, tetapi kemudian dia berusaha bangkit. "Jangan Tante ... Ais mau makan, Ais lapar sekali," ucap Ais lirih dan serak. "Dari kemarin malam belum makan."

Sedikit kaget aku mendengar pengakuan Ais. "Kamu nggak ngasih Ais makan dari kemarin, Yank?"

"Nggak!" Eka menjawab dengan spontan. "Mending dimakan tikus dari pada dimakan dia!" ucap Eka sambil menjewer kuping Ais.

"Sakit ..." Kembali putri kecilku itu merintih.

Meski setiap hari pulang ke rumah, tapi aku memang jarang perhatian pada Ais. Pulang kerja, capek, diservis sama Eka, sudahlah tidur. Menikmati hidup intinya.

"Tapi harusnya kamu tetap ngasih dia makan, Yank. Kalau dia sampai kenapa Napa gimana? Bisa kacau," ucapku kemudian.

Ais adalah darah dagingku dengan Nisa, wanita yang aku nikahi karena dia punya rumah warisan dan juga jago cari uang.

Akan tetapi, kemudian aku mengenal Eka dan jatuh cinta padanya yang lebih sexy, cantik serta pintar memanjakanku di ranjang. Karena aku begitu mencintai Eka, maka aku tak begitu menggubrisnya. Terserah saja Eka mau ngapain sama Ais. Tetapi jangan sampai keterlaluan, karena aku nggak mau berurusan dengan pihak berwajib.

Eka kembali menoleh ke arahku dengan tatapan tajam.

"Kenapa memangnya Mas? Kamu takut dia kelaparan terus mati? Iya? Kamu takut kalau anak kamu mati?"

Tatapan mata Eka seperti menantang ke arahku.  

"Biar saja dia mati. Biar kamu nggak terus mikiran si Nisa itu! Biar aja dia mati!"

Sembari mengatakan hal itu, Eka malah seperti kesetanan, dia memukuli Ais dengan sandal.

Jeritan dari mulut mungil Ais mulai terdengar, beradu dengan suara sandal karet yang menyapa tubuhnya.

Haduh ... Eka memang selalu cemburu pada Nisa. Jika tak aku selamatkan, bisa bisa Ais mati beneran ini.

"Sudah, Yank. Sudah."

Kutarik dengan lembut tangan Eka. "Wanita yang hamil tua, nggak boleh terlalu emosi ya," bujukku. "Aku nggak mau anak kita kenapa-napa."

Beberapa saat Eka masih kekeuh, namun akhirnya istri mudaku itu mau berhenti juga setelah aku berkata, “Daripada marah-marah, mending kamu pikirin mau cincin seperti apa. Dikit lagi jadwal Nisa kirim uang, jadi aku ada uang lebih. Kamu ingat ‘kan aku mau beliin kamu cincin baru?”

Eka langsung melirikku. "Serius, Sayang?" Suara Eka kembali terdengar manja.

"Iya Sayang, setelah ini kita berangkat ya," ucapku sembari melirik ke arah Ais yang nampak ketakutan.

"Mauu!"  Eka yang beberapa detik tadi emosi, sekarang sudah berubah.

Tak masalah, apa sih yang nggak buat Eka? Toh jika uangku habis, kan bisa minta kiriman dari Nisa lagi?

Hidup ini memang begitu indah, punya dua istri. Yang satu jadi pohon uang, yang satu jadi pemuas ranjang. Nikmat mana yang kau dustakan?

Drrt

Baru saja ingin masuk rumah dengan Eka dalam pelukan, mendadak ponsel di sakuku berdering.

Kulihat layar, dan wajahku pun berubah keruh. 

“Dari siapa, Mas?” Eka melirik layar ponselku, lalu mukanya berubah masam lagi. "Ish! Dari si Babu." Eka langsung mencebik.

Ya … pesan yang baru saja kuterima, berasal dari Nisa.

Aku pun langsung membukanya, lalu membaca isi pesannya. Seketika, aku pun melotot.

[Mas, aku dalam perjalanan pulang.]

“Kenapa dia mendadak pulang!?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status