Terima kasih sudah membaca cerita ini.
"Maaf Kartika. Aku minta maaf, memang itu adanya. Pilihan ada di tangan kamu. Aku ikut apapun keputusannya," ucap Mas Faiz dengan menggenggam kedua tangan ini. Matanya yang sendu menatapku, seolah ada penyesalan tergambar disana.Aku tepis tangannya dan segera berdiri dan mengambil tasku. Pilihan macam apa itu? Dimadu atau bercerai. Seakan-akan keputusan ada di tanganku. Terasa aku seperti masuk perangkap, sehingga harus bilang iya dengan apa yang mereka mau.Enak saja!Setelah pernikahan kami yang sudah tiga tahun seperti tidak berbekas. Apalagi melihat tatapan matanya. Huuff ....Dia seakan memposisikan dirinya adalah korban, dan seakan hidupnya ada ditanganku. Pura-pura tidak mau, padahal dia bisa menolak keputusan orang tuanya.Kalau dia mau."Kartika! Jangan pergi!" teriaknya dengan tangan direntangkan ingin menggapaiku. Berkelit aku dari tangannya. Beberapa tamu di restoran ini menoleh ke arah kami karena keributan ini. Aku segera berlari meninggalkannya dan sesekali menoleh
Pasti dia orang kota yang kesasar ke desa.Penampilannya lumayan. Akupun kembali ke kegiatanku yang mentotal hasil timbangan menyelesaikan pekerjaanku. Begitu pula Bulik Narti yang sibuk membuat nota untuk pengiriman sebentar lagi. Bagi kami, laki-laki model apapun sama saja. Sebagai janda harus ekstra hati-hati menjaga hati, pikiran terutama, mata.Mang Diman langsung berdiri menghampiri lelaki itu di depan, terlihat mereka berbincang sambil sesekali dia menunjuk-nunjuk jalan. Ah, mungkin dia bertanya bertanya arah jalan. Biasa, orang kota akan salah jalan kalau ke desa kami. Jalan-jalan kecil banyak sekali di sini sebagai penghubung lahan pertanian. Jalannya tidak beraspal, tetapi cukup kuat untuk dilalui truk pengangkut hasil bumi.Kalau tidak biasa ke daerah sini, bisa-bisa orang akan mutar-mutar terjebak di lahan pertanian itu saja.Orang itu dan Mang Diman menghampiriku."Mbak Kartika, Mas ini mau beli tomat. Apa masih ada yang bisa di beli ngecer?" tanya Mang Diman.Aku ya
Aduh! Malu, super malu!*Segera aku ambil tas kresek lagi. Dalam diam, kami mengambil tomat-tomat yang berceceran. "Tomat segini banyak untuk apa, Mbak? Untuk luluran? Atau, buat berendam?" tanyanya ketika memberikan tomat yang terakhir.Aku tersenyum dan tertawa kecil. Ternyata orang ini selain tampan juga lucu."Mas, mana ada luluran pakai tomat. Ini saya pakai untuk membuat saus tomat. Makanya saya tidak bisa bagi lebih dari setengah kilo. Karena, saya sudah ada pesanan," jelasku."Saus tomat? Home made?" tanyanya kaget. Matanya membulat ke arahku. "Kenapa tidak bilang dari tadi, Mbak!" teriaknya. "Saya juga mau buat saus tomat. Kalau begitu, saya beli sekarang ada?" tanyanya dengan girang."Ada, tetapi di rumah. Hanya ada lima botol saja," ucapku."Kalau begitu saya ambil sekarang, ya!""Tapi, Mas. Saya belum selesai.""Tidak apa-apa. Saya tunggu. Sebentar, ya!" ucapnya dan berjalan menjauh, dia menerima telpon. Samar-samar dia berbicara tentang tomat dan memberitahu bahwa me
"Mas, rumah kayu itu, ya!" Dia menepikan mobilnya dan parkir di depan rumahku. "Mari duduk dulu. Saya ambilkan sausnya," ucapku. Sengaja aku persilahkan di teras rumah. Statusku yang janda ini harus hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai menimbulkan dugaan yang tidak benar."Eh, ada tamu!" Tiba-tiba nylonong Lela, temanku sekolah dulu sekaligus tetangga pas di sebelah rumah. Kami seumuran, bedanya dia masih single sedangkan aku sudah janda. "Temannya Kartika, ya. Aduh cakep sekali, sudah putih, tinggi, ganteng lagi!" ucapnya dengan memberikan senyum termanisnya."Mas, punya teman yang seganteng Masnya? Kenalin dong! Kalau Masnya, aku tidak berani menggoda. Nanti aku dimakan sama dia," katanya sambil mengarahkan dagunya kepadaku."Apa-apaan sih, Lela. Sudah sana pergi!""Cie ... cie .... Yang tidak mau diganggu. Bener ya, Mas! Pesenanku yang tadi!" teriaknya sambil pulang ke rumah yang berada di balik tembok ini."Maaf, ya. Sebentar saya ke dalam."Dia mengangguk tersenyum.Aku
Tring!Suara ponselku tanda ada pesan masuk.[Pagi! Jangan lupa senyum yang cantik]Entah dari siapa, mungkin orang iseng, dari nomor ponsel yang belakangnya angka tujuh dua. Aku abaikan saja, pesan tidak penting.Ponselku memang tidak berhenti ada pesan masuk, tetapi itu pesan dari marketplace tempat aku jualan saus. Ada tiga marketplace yang aku pakai.Alhamdulillah, orderan masuk dengan lancar. Stok selalu habis terjual, padahal aku setiap hari membuatnya. Sengaja tidak lebih dari satu panci besar, selain keterbatasan tenaga, aku lebih menekankan kualitas. Sebelum pengemasan, dipastikan rasa tetap sesuai standart yang aku tetapkan.Padahal baru dua bulan aku memulai usaha ini, aku sudah kewalahan. Menyesal aku membuang waktu empat bulan sebelumnya, setelah menikah. Di waktu itu kegiatanku hanya di dalam rumah saja, meratapi nasib berpisah dengan Mas Faiz. Berpacaran dalam waktu lama, tidak menjamin suatu pernikahan tidak gagal. Seperti aku ini, pacaran selama dua tahun, menikah cu
Hari ini hari minggu, waktunya libur.Sengaja setiap hari minggu pagi, jualanku di marketplace, aku off. Begitu juga produksi, hari minggu aku tidak membuat saus.Hari libur ini aku gunakan untuk olah raga, perawatan tubuh dan malas-malasan. Me Time.Sebutan keren jaman sekarang.Seperti sekarang ini, lari-lari kecil dengan tujuan Serabi Solo Mbok Darmi, sebelah pasar. Yang penting niat awalnya olah raga walaupun terdampar di tempat makanan.Rasa gurih serabi yang dikasih taburan potongan nangka di atasnya, dan bau santan kentalnya terbayang di memoriku. Menggerakkan kakiku untuk berlari dengan sendirinya.Awalnya, kegiatan pagiku ini terlihat aneh di mata para tetangga. Kalau di kota sudah biasa, setiap minggu jalan dipenuhi orang lari pagi, kalau di kampung mana ada. Pertama-tama mereka rajin bertanya kepadaku, kenapa dan mau kemana. Lama kelamaan mungkin sudah bosan.Hanya yang membuatku heran, semakin hari pengikut lariku semakin bertambah. Walaupun mayoritas mas-mas dan bapak-ba
"Mas, Lepaskan tanganku."Aku berusaha menarik lepas dari genggamannya. Dia berhenti dan berbalik menghadapku. Wajah mengeras dengan alis bertaut."Aku kan sudah bilang itu kerumunan tidak aman! Aku temani tidak mau! Dasar keras kepala!" ucapnya sambil mendengus kesal."Kenapa marah?" tanyaku dengan memberikan tatapan heran ke arahnya. "Kamu tidak bisa dibilangin!"Aku semakin heran, memang dia siapa. Kenalan saja baru, sudah sok ngatur.Namun, melihat wajahnya yang tegang membuatku tersenyum. Lucu saja, melihat orang kok tiba-tiba protektif tidak jelas gitu."Kenapa senyum-senyum!" "Enggak apa-apa. Aku naik angkot saja. Capek!"Aku berlari menuju angkutan umum yang berhenti di perempatan jalan, terserah dia ikut atau tidak. Sudut mataku menangkap dia berlari mengejarku sambil bergumam entah apa.Kemudian lelaki yang belum lam aku kenal ini, duduk di depanku. Bangku angkutan ini berhadap-hadapan."Tika, kamu pindah sini!" katanya, lebih tepatnya memerintah ketika ada penumpang lak
Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m