Dengan memegang ujung kaosnya, aku buka dengan perlahan. Kukompres luka memar yang selebar telapak tangan dengan perlahan. "Tika! Pelan-pelan, sakit!" teriaknya sambil mendesis menahan sakit."Mas, tahan sebentar, ini masih aku pegang. Saya tidak tekan, kok. Sabar, ya. Awalnya memang sakit, lama-lama akan hilang," ucapku dengan pelan dan tetap melanjutkan mengompres lukanya.."Auw ... ! ""Nanti enakkan, kok. Biar tidak bengkak dan darahnya tidak keluar."Sesekali dia meringis menahan sakit, terlihat tangannya yang terkepal erat memegang pinggiran kursi. "Iya, rasanya enak. Tidak sakit lagi. Loh, kok dilepas, Tik?" tanyanya sambil menoleh ke belakang."Sudah selesai, Mas."Sekarang tinggal aku oles anti septik di luka parutnya.BRAK...!Pintu kayu samping yang menghubungkan dengan rumah Lela, terbuka dengan tiba-tiba. Ada Lela, Bu Asih-ibunya Lela berdiri dengan wajah tegang dan mata melotot. Mereka menatap kami dengan pandangan aneh.Aku dan Mas Ilham kaget dan menoleh ke arah m
Baru kali ini aku bertemu orang baru kenal, tetapi sok ngatur. Seperti kemarin, sebelum pulang dia sudah melarang ini dan itu. Laki-laki kok ada yang cerewet, ya?"Kamu harus hati-hati dengan Pak Bambang. Mulai sekarang jangan pernah pergi sendirian," ucapnya."Tidak apa-apa, kok. Di kampung ini aman. Memang di kota. Orang saling cuek dan tidak kenal.""Kartika! Dibilangin selalu ngeyel, ya! Di tempat ramai saja, dia berani nyolek kamu! Apalagi di tempat sepi. Ngerti enggak, sih. Iih, anak ini!" ucapnya dengan mengatupkan giginya dengan keras.Melihat dia marah, justru membuatku tertawa, walaupun aku tahan. Lucu saja, ada orang yang berani marah-marah tidak jelas begini. Seperti tersulut, dia melanjutkan omelannya."Laki-laki kalau ada maunya akan menghalalkan segala cara! Ada aja akal-akalannya yang tidak aku pernah kamu pikirkan. Tiba-tiba sudah masuk jebakannya. Apalagi seperti Bambang Playboy kampung itu!" teriaknya dengan nada mulai meninggi."Ngomongnya biasa aja. Tidak usah t
"Siapa tamunya, Tika?" teriak Ibu dari dapur."Kang Bejo dari Kelurahan, Bu!"“Suruh tunggu sebentar!” teriak Ibu lagi. Kemudian Ibu keluar menemui kami, ditangannya sudah menenteng tas kresek kecil. "Ini buat kamu, Jo. Buat sarapan.” Ibu menyerahkan bungkusan itu."Terima kasih, Bu, Mbak Tika. Saya pamit."Kami mengangguk dan mengantarkannya sampai teras rumah."Surat apa, Tika? Kenapa Pak Lurah kirim surat?" tanya Ibu setelah Kak Bejo pergi.Aku menyerahkan surat itu, kemudian Ibu membacanya."Ini bagus, lo. Berarti dari Kelurahan melihat usahamu itu bisa berkembang. Besuk datang saja, apalagi nanti akan bertemu orang Dinas. Siapa tahu ketemu jodoh pegawai negeri. Biar tidak kelamaan menjanda!" Ibu tersenyum menggodaku."Ibu! Jangan mulai lagi!""Ibu bercanda," ucapnya sambil tertawa."Sekarang waktunya menggunakan ilmu yang kamu dapat dari kampus. Sejak wisuda, kamu belum ada kesempatan untuk itu. Apalagi ini untuk desa kita. Itu pahalanya besar, karena ilmu kita bermanfaat untuk
"Pak Yanto, total timbangannya pas lima puluh kilo, ya. Harga perkilonya dua ribu empat ratus, jadi totalnya seratus dua puluh ribu ya, Pak."Aku memberikan catatan kertas kepadanya. Kertas itu akan di sodorkan ke Bulik Surti untuk di buatkan nota beserta pembayarannya.Harga yang di bulatkan. Di pengepul lain harga perkilonya dua ribu tiga ratus tujuh puluh. "Kenapa Pak Yanto?" tanyaku melihat Pak Yanto masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. Dia membaca kertas yang aku berikan tadi sambil berguman lirih."Pak ... Pak Yanto!" teriakku.Dia kaget dan menatapku sambil tersenyum."E-endak, Mbak Tika. Saya cuma menghitung kebutuhan rumah. Mau bayar SPP anak saya," katanya lirih."Permisi, Mbak Tika. Saya ke Juragan dulu."Begitulah kehidupan petani. Kesuburan yang berlimpah tidak menular ke kehidupannya. Memang untuk makan sehari-hari bisa dipenuhi dengan hasil pertaniannya. Namun, untuk kebutuhan lainnya, sekolah, kesehatan dan kebutuhan sehari-hari memerlukan biaya.Menaikkan har
"Kamu block nomor ponselku?" katanya sambil menunjukkan ponsel ke arahku. "Tidak. Aku saja tidak tahu nomor Mas Ilham. Bagaimana bisa ngeblock?" tanyaku heran."Masih saja tidak ngaku, ya. Dari tadi pagi aku coba kirim pesan, telpon, juga tidak bisa. Kamu tahu tidak, saya kawatir. Saya takut si Bambang itu ganggu kamu. Apalagi jalan di kampung ini sepi. Itu tidak aman, Kartika!" katanya kesal.Aku bengong melihatnya ngomel tanpa jeda. Aneh saja."Iiih! Dibilangin malah bengong! Ngerti tidak yang aku maksud. Ngeyel sekali!" ucapnya dengan mengibaskan tangannya depan wajahku."Sudah, ayo pulang saja!" Dia langsung menarik tanganku."Lepaskan tanganku!"Aku kibaskan tanganku tetapi tidak terlepas. Terpaksa aku mengikutinya dengan tangan masih tergenggam.Dia membukakan pintu mobil untukku. Mobilnya yang tinggi membuatku kesusahan naik dengan rok yang aku kenakan. Kami segera pergi setelah melambaikan tangan ke Bulik dan Mang Diman."Lain kali jangan pakai rok kalau ke pondok!" ucapnya
"Kartika, ini tomat nya di taruh mana?!" teriak Mas Ilham di depan pintu.Dia menjinjing keranjang yang penuh dengan tomat segar berwarna merah. Kemeja lengan panjangnya di singsingkan sampai siku. Warna kemeja merah bata terlihat kontras dengan kulitnya yang putih."Mas Ilham, biarkan saya yang angkat!" teriakku langsung menghampirinya. Meninggalkan Ibu yang masih menatap kami dengan bingung."Ini berat, biar laki-laki yang angkat!" katanya tanpa memedulikan aku, dia langsung bergegas ke dalam rumah.Memang tomat segitu biasanya aku angkat berdua bersama ibu, itupun bertahan dengan dipindah ke keranjang. Kalau aku sendiri, mana kuat. Terpaksa aku mengantar dia ke dapur, tempat kami membuat saus tomat. Cara bawanya terlihat keberatan, tidak seperti Mang Diman yang dipanggul di pundak.Aku sibak tirai pembatas ruangan, dan badan tingginya masuk dengan menunduk."Berat, lo. Tadi aku bertemu sama Mang Diman dan Bulik di depan," ucapnya setelah menaruh keranjang tomat di lantai. Tangan
Dari balik tirai pembatas dapur aku mencoba mengintip apa yang terjadi di ruang tengah. Raut wajah Ibu menunjukkan keseriusan. Sedangkan lawan bicaranya terlihat mengangguk-anguk saja. Terlihat sesekali tangan Ibu menepuk lengan laki-laki yang baru aku kenal ini.Kudekatkan telinga, tetapi tidak aku tangkap percakapan mereka dengan jelas. Perubahan ekspresi Ibu yang menerbitkan senyuman lah, yang membuatku lega.Sekarang, aku bisa melanjutkan tugasku membuat minuman. Aku menilik isi di dalam kulkas, bahan yang aku butuhkan ada. Jeruk nipis, sere dan daun jeruk. Semua di cuci bersih. Jeruk nipis di peras dan beberapa diiris tipis, sere potong dan ada yang di geprek. Campur semua bahan dengan minuman bersoda tadi, tambahkan daun jeruk yang sudah di remas.Jadi deh. Minuman soda yang rasanya segar, manis, asam dan ada bau sere. Perpaduan yang menimbulkan sensasi berbeda. Aku sajikan di gelas tinggi termasuk slice buah jeruk, daun jeruk dan sere utuh. Terlihat menarik.Aku mengintip sek
Dibantu Ibu, aku membuat saus. Mencuci tomat, dan menghilangkan batangnya termasuk yang bagian putih. Setelah itu di rebus dengan sedikit air, yang nantinya terganti dengan air dari tomat itu sendiri.Setelah itu digiling dan disaring memisahkan sari tomat dengan kulitnya. Kemudiam dimasak kembali dan ditambahan racikan khusus buatan ibu. "Biar dingin dulu, nanti malam saja dimasukkan botol," kata Ibu dengan merapikan peralatan yang sudah dipakai."Aku bersih-bersih dulu, Bu. Gerah!" ucapku menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi."Jangan lupa luluran! Biar kinclong besuk ke Kelurahan!" Ibu teriak dari luar sambil menggedor pintu."Malas, Bu. Besuk saja!" "Anak ini dibilangin orang tua ngeyel! Masak kalah bening sama Nak Ilham!" teriaknya lagi, tanpa menghentikan menggedor pintu kamar mandi."Iya, Bu! Iya!" teriakku keras. Terpaksa menyerah dengan perintahnya.Dengan bersungut, aku raih lulur bengkoang yang teronggok di deretan sabun. Lulur yang masih tersegel dan sudah berbulan-